Sabtu, 25 Mei 2013

Intensifikasi Pemeliharaan Ayam Kampung

AdiDharma17

download pdf here



MAKALAH
PRODUKSI TERNAK UNGGAS
Intensifikasi Pemeliharaan Ayam Kampung
(Intensifikasi Pemilihan Sistem Pemeliharaan, Bibit, Pakan
dan Penanganan Penyakit Ayam Kampung di NTT)





                                   
NAMA                     : I MADE ADI SUDARMA
NIM                         : 1211010006
SEMESTER             : II (DUA)
PRODI                     : ILMU PETERNAKAN



PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2013

                                             

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, karena atas berkat dan pertolongan-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah berjudul intensifikasi pemeliharaan ayam kampung di Nusa Tenggara Timur hingga pada tahap ini.
Makalah ini disusun guna mengetahui profil umum pemeliharaan ternak ayam kampung di NTT dan permasalahan utama dalam pengembangan ternak tersebut sehingga dapat diberi pilihan intensifikasi kepada masyarakat dalam pengembangan ternak ayam kampung yang dimilikinya.
Dengan segala kerendahan hati saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu segala saran dan kritik dari berbagai pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan laporan praktikum ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.  Terima kasih.
                                                                                                                
Kupang, April 2013
Penulis






DAFTAR ISI

 Halaman
KATA PENGANTAR .........................................................................................    i
DAFTAR ISI .......................................................................................................    ii
DAFTAR TABEL ................................................................................................  iii
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................  iv
PENDAHULUAN .............................................................................................     1
Latar Belakang ......................................................................................     1
Tujuan ...................................................................................................     1
PEMBAHASAN ................................................................................................     2
Ternak Ayam Kampung ........................................................................     2
Pemeliharaan Ternak Ayam Kampung di NTT .....................................     3
Pemilihan Bibit .....................................................................................     5
Pemilihan Pakan ....................................................................................     6
Penanganan Penyakit ............................................................................     7
Diskusi ..................................................................................................     9
PENUTUP  .........................................................................................................   10
Simpulan ...............................................................................................   10
Saran .....................................................................................................   10
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................   11







DAFTAR TABEL

Tabel                                                                                                                      Halaman
Performans Ternak Ayam Kampung dengan Sistem Pemeliharaan Berbeda ......    4






















BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah terutama dalam pengembangan ternak di daerah tersebut. Salah satu ternak potensial yang umum dimiliki oleh masyarakat di NTT adalah ternak ayam kampung. Menurut Ditjen Peternakan dalam Zulkarnain (2008) menyebutkan bahwa dari 52,9 juta rumah tangga pertanian di Indonesia, 60,9% (32,2 juta) diantaranya merupakan rumah tangga peternakan. Dari jumlah tersebut 65,7% nya adalah rumah tangga yang melakukan ternak unggas. Lebih lanjut dikemukakan bahwa ternyata 98,5% atau 21,5 juta adalah rumah tangga yang memiliki ternak ayam kampung sedangkan yang beternak ayam ras hanya 1,5% saja atau 317.500 orang dimana dari jumlah tersebut 90% nya hanya sebagai pekerja di peternakan bukan sebagai pemilik murni. Hal ini menandakan bahwa ternak ayam kampung sangat menyentuh kehidupan masyarakat di Indonesia termasuk di NTT dibandingkan dengan ternak ayam ras.
Pemeliharaan ternak ayam kampung di NTT saat ini masih bersifat ekstensif tradisional. Menurut Henuk (2013), ternak ayam kampung yang dipelihara dengan sistem ekstensif tradisional tidak membutuhkan biaya dalam proses pemeliharaannya karena peternak hanya membiarkan ternak ayam kampungnya berkeliaran disekitar rumah untuk mencari makan dengan jumlah kepemilikan setiap rumah tangga berkisar antara 2 hingga 20 ekor. Menurut zulkarnain (2008) dan Piay dkk., (2011) menyatakan bahwa produksi telur ayam buras/ayam kampung yang dipelihara secara tradisional umumnya rendah yakni berkisar 30-60 butir/tahun, selain itu untuk mendapatkan berat 1 kg memerlukan waktu 6 bulan dan bobot 2 kg dicapai pada umur 12-16 bulan, serta ayam kampung rentan terhadap penyakit Newcastle Disease sehingga tingkat mortalitasnya tinggi terutama pada anak ayam yang dapat mencapai 100%. Oleh karena itu dibutuhkan suatu pengintensifikasi usaha ternak ayam kampung agar tercapai peningkatan populasi, produksi serta produktivitas dan efisiensi usaha ayam kampung.
1.2.       Tujuan
Untuk mengetahui teknik intensifikasi ternak ayam kampung yang dapat dipraktekkan oleh masyarakat di NTT.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.       Ternak Ayam Kampung
Ternak ayam kampung atau yang biasa disebut juga dengan nama ayam bukan ras (buras) merupakan salah satu ternak unggas yang sudah banyak dipelihara terutama didaerah pedesaan, karena selain dagingnya yang enak dimakan, juga karena memainkan peranan penting sebagai sumber protein manusia dalam bentuk telur maupun dagingnya (Aswanto, 2010 dan Henuk, 2013). Keberadaan ayam kampung sangat penting bagi peningkatan pendapatan petani maupun pemenuhan gizi keluarga masyarakat di pedesaan. Hal ini terlihat dari hasil pengkajian Ditjen Peternakan dalam Zulkarnain (2008) yang menyebutkan bahwa dari 52,9 juta rumah tangga pertanian di Indonesia, 60,9% (32,2 juta) diantaranya merupakan rumah tangga peternakan. Dari jumlah tersebut 65,7% nya adalah rumah tangga yang melakukan ternak unggas. Lebih lanjut dikemukakan bahwa ternyata 98,5% atau 21,5 juta adalah rumah tangga yang memiliki ternak ayam kampung sedangkan yang beternak ayam ras hanya 1,5% saja atau 317.500 orang dimana dari jumlah tersebut 90% nya hanya sebagai pekerja di peternakan bukan sebagai pemilik murni yang dikarenakan usaha peternakan ayam ras mulai dari hulu sampai hilir dikuasai segelintir orang yang membentuk kartel dimana usaha tersebut sangat tergantung dengan impor dan dimiliki oleh perusahaan asing. Hal ini menandakan bahwa peternak ayam kampung sangat menyentuh kehidupan masyarakat di Indonesia termasuk di NTT dibandingkan dengan peternak ayam ras.
Ternak ayam kampung memiliki kelebihan dibandingkan ternak unggas lainnya karena potensinya yang cukup besar untuk dikembangkan di Indonesia terutama di NTT. Menurut Zulkarnain (2008) dan Maryuki (2012), menyatakan bahwa ternak ayam kampung memiliki beberapa kelebihan / potensi dibandingkan ternak unggas lainnya yaitu (1) memiliki cita rasa dan tekstur yang khas sehingga permintaan pasar lebih tinggi dari pasokan, (2) konsumen ayam kampung adalah masyarakat menengah ke atas terutama karena kesadaran akan kesehatan (ayam kampung lebih alami dan bebas dari antibiotik kimiawi serta rendah kolesterol), (3) memiliki harga yang relatif lebih tinggi (harga premium 3-4 kali harga ayam ras), (4) memiliki kandungan nutrisi yang lebih tinggi dalam daging dan telurnya terutama dengan kandungan lemak yang rendah, (5) pemeliharaan ayam kampung lebih mudah (secara umum lebih tahan terhadap penyakit unggas dan tahan terhadap perubahan lingkungan/cuaca/ stress), (6) perkembangan ayam kapung cukup merata, dan (7) ayam kampung termasuk dalam ternak multi fungsi. Dari kelebihan tersebut dapat dilihat bahwa harga ternak ayam kampung tidak dipengaruhi oleh para pelaku tataniaga tetapi langsung oleh para peternak sehingga peternak tidak dirugikan.
 Namun, selain memiliki kelebihan tersebut diatas, ternak ayam kampung juga memiliki kekurangan yang perlu diantisipasi oleh para peternak. Menurut Zulkarnain (2008), Piay dkk. (2011) dan Maryuki (2012) menyatakan bahwa ternak ayam kampung memiliki kekurangan seperti (1) waktu pemeliharaan ayam kampung relatif lebih lama yang disebabkan oleh sistem pemeliharaan yang ekstensif tradisional, (2) mortalitas anak ayam kampung cukup tinggi dapat mencapai 100%  karena kurangnya penanganan oleh peternak terutama karena penyakit ND (3) produktifitas ayam kampung masih rendah karena sistem pemeliharaan yang ekstensif, (4) ayam kampung masih belum memiliki standar bibit dan kebutuhan nutrisi yang baku dan (5) ayam kampung memiliki sifat usil/liar dan berisik. Hal ini menjadikan usaha ternak ayam kampung masih belum berkembang dengan pesat seperti ayam ras.
2.2.       Pemeliharaan Ternak Ayam Kampung di NTT
Ternak ayam kampung memainkan peran yang fundamental bagi masyarakat di NTT terutama dalam adat istiadat masyarakat maupun dalam budaya yang sudah menjadi kebiasaan umum yang dipraktekkan. Ternak ayam kampung bagi  masyarakat NTT sangat penting dalam acara agama marapu terutama ayam kampung berbulu hitam dan merah. Selain itu, ayam kampung juga memainkan peran sebagai penambah pendapatan keluarga baik dalam bantuk ternak ayam maupun telurnya. Dalam hal konsumsi keluarga, masih sebagian kecil masyarakat yang menggunakan ayam kampung untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang mana ternak ayam tersebut lebih diarahkan sebagai ternak yang paling pertama siap dipotong ketika ada tamu atau keluarga dari daerah lain yang datang berkunjung. Sebagian besat pemeliharaan ayam kampung di NTT tidak membutuhkan biaya selama hidupnya kecuali pembuatan tempat untuk bertelur sehingga dapat dikategorikan sebagai sistem pemeliharaan ekstensif.
Menurut Nataamijaya (2000), Bailey dkk. (2010), Telupere dkk. (2013) dan Henuk (2013) menyatakan bahwa ayam kampung yang dipelihara di Indonesia umumnya dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe sistem pemeliharaan yaitu sistem pemeliharaan ektensif tradisional, sistem semi intensif dan sistem intensif. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sistem ekstensif tradisional memiliki karakteristik dari umur satu hari hingga mati, ternak tersebut dibiarkan hidup bebas tanpa ada intervensi dari petani sehingga aktifitas ternak ayam kampung tersebut adalah secara alami. Ternak ayam kampung tersebut biasanya berkeliling mencari makanan disekitar rumah peternak maupun ditempat lain dan pulang ketika matahari terbenam dan tidur diatas pohon atau di dapur. Pada sistem ini, peternak tidak mengeluarkan uang sama sekali dan umumnya hanya mampu memeliki 2-20 ekor ternak. Sistem manajemen ini cukup banyak dipraktekkan oleh masyarakat peternak yang umumnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah, tidak memiliki sejumlah uang atau akses yang cukup untuk membeli pakan maupun obat-obatan.
Sistem semi intensif lebih efisien dan banyak digeluti oleh peternak, guru, dosen, pegawai pemerintahan dan lain-lain sebagai usaha sambilan. Ternak ayam kampung dipelihara di lahan terbuka yang tersedia ranch serta pagar dan biasanya dibangun dibelakang rumah. Peternak memberi pakan dan minum secara teratur tetapi tidak dengan pengobatan yang hanya dilakukan sekali-kali. Sistem ini dapat tersedia cage atau kandang tempat tidur dan bertelur maupun tidak sehingga ternak dibiarkan tidur dimana saja dalam farm tersebut. Pada sistem ini, peternak dapat memelihara 25 hingga beberapa ratus ekor ternak yang dipelihara bukan untuk tujuan komersial melainkan untuk kebutuhan mendasar dan mendadak seperti uang sekolah dan hampir tidak terdapat teknologi yang diintroduksi dalam sistem ini. Sedangkan sistem intensif memiliki manajemen yang lebih professional seperti populasi yang dipisahkan oleh periode hidup misalnya periode starter (1-2 bulan), periode grower (2-4 bulan) dan periode finisher (>4,5 bulan-culling). Ternak ayam kampung dikandangkan dan diberi pakan, minuman, suplemen dan pengobatan secara teratur. Produksi ternak lebih diarahkan ke tujuan komersial dan berorientasi bisnis. Dalam sistem ini, peternak lebih berpengalaman dan biasanya memiliki jaringan global dimana efisiensi dan produktifitas merupakan hal utama yang sangat diperhatikan. Jumlah pemeliharaan ternak dapat mencapai seratus hingga ribuan ekor tergantung sumber daya modal. Hanya beberapa peternak saja yang mampu berusaha dalam skala ini.
Table 1. performans ayam kampung dengan sistem pemeliharaan yang berbeda
(Diwyanto dkk., 1996 dalam Henuk, 2013)
Ukuran produksi
Sistem produksi ayam kampung
Ekstensif
Semi intensif
Intensif
Produksi telur/ekor/tahun
Produksi telur (%)
Frekuensi bertelur (kali/tahun)
Persentasi tingkat penetasan telur (%)
Berat telur (gram)
Konsumsi pakan harian (gram)
Konversi pakan
Tingkat kematian dibawah umur 6 minggu (%)
Total tingkat kematian (awal - akhir produksi)
47
13
3
74
39-48
<60
>10
50-56
>15
59
29
6
79
39-48
60-68
8-10
34-42
15
146
40
7
84
39-43
80-100
4,9-6,4
<27
<6
2.3.       Pemilihan Bibit
Pemilihan bibit yang akan dipelihara perlu diperhatikan karena bibit yang baik akan menghasilkan produksi yang lebih optimal dengan perlakuan yang sama dibanding bibit yang kurang baik. Dalam Permentan no 49 tahun 2006 telah dikeluarkan persyaratan teknis minimal ternak bibit ayam buras termasuk ayam kampung dimana bibit ayam kampung yang dijual dipasaran baik hasil pengeraman oleh induk maupun melalui mesin penetasan harus sehat, tidak cacat, ukuran tubuh seragam, bulu boleh bermacam-macam dan berasal dari induk yang sehat dimana pada umur dewasa dapat mencapai bobot minimal 2,4 kg bagi jantan dan 1,5 kg bagi betina dengan sistem pemeliharaan intensif.
Bibit yang akan dipelihara harus sesuai dengan tujuan produksi yang diinginkan peternak. Misalnya tujuan produksi dapat berupa penjualan ternak ayam bibit atau ternak ayam pedaging. Menurut Wibowo dkk. (2010) menyatakan bahwa usaha pembibitan ayam kampung dengan tujuan penjualan DOC di tingkat petani sangat layak untuk dikembangkan di Indonesia saat ini hingga 6 tahun yang akan dating. Menurut Alex (2011), pemilihan bibit ayam kampung pedaging dapat menggunakan bibit ALPU baik tipe medium maupun berat yang memiliki karakteristik seperti pertumbuhan yang cepat (6 minggu sudah bisa panen), produksi seragam (80%), otot dada dan paha yang lebih tebal, warna kaki kuning cerah dan bersih, warna bulu dominan lebih spesifik (warna merah hitam dan coklat abu-abu), serta pertumbuhan karkas yang cepat dan besar. Dalam memperbaiki kualitas genetik dalam suatu populasi ayam kampung dapat digunakan bibit ayam kampung yang sejenis dengan tingkat produktifitas yang tinggi maupun yang berbeda (persilangan) seperti ayam pelung yang memiliki bobot badan yang lebih besar dimana pada saat dewasa minimal jantan memiliki berat 4 kg dan betina 2,9 kg (Permantan, 2006). Menurut Iskandar dkk. (1998) dan Yunus (2003) dalam Iskandar (2006) menyatakan bahwa ayam hasil persilangan Pelung dan Kampung dapat mencapai bobot jual pasaran dalam waktu 12 minggu dimana pbb (844 g/ekor), konsumsi ransum (3348 g/ekor) dan konveri ransum (4,2) serta % karkas (64,93%) yang lebih baik dibandingkan ayam kampung yang memiliki pbb (704 g/ekor), konsumsi ransum (3245 g/ekor) dan konversi ransum (4,79) serta % karkas (62,89%) sehingga PT CP juga mengembangakan final stock ayam kampung super KS 808 yang merupakan persilangan dari ayam Pelung untuk memperoleh ayam potong rasa ayam kampung dengan pertumbuhan yang tinggi. Pemilihan perkawinan juga dapat dilakukan melalui IB maupun kawin alam yang tentu saja memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing dimana menurut Alex (2011) perbandingan ayam jantan dan betina dalam suatu populasi yang baik adalah 1 : 10.
2.4.       Pemilihan Pakan
Pemilihan jenis pakan yang digunakan dalam pemeliharaan ternak ayam kampung perlu diperhatikan persyaratan minimal yang ada. Menurut Permentan (2006) menyatakan bahwa standar minimal pakan yang digunakan dalam usaha ayam kampung harus sesuai dengan kebutuhan minimal gizi ayam kampung/lokal tersebut yang telah tercantum dengan kisaran protein kasar 15-21%, energi 2750-2900 kkal ME/kg ransum, Kalsium 1-2,5%, Phospor 0,6-0,7%, aa Lysine 0,4-0,9 dan aa Methionin 0,4, kandungan aflatoksin dalam pakan tidak lebih dari 20 ppb. Menurut Gufroni (2010) menyatakan bahwa ternak ayam kampung umur 4 minggu pertama masa hidup ayam akan menentukan perkembangan selanjutnya sehingga dibutuhkan ransum dengan kandungan nutrisi yang cukup yakni protein kasar minimal sebesar 17% dan energi metabolis sebesar 2600 kkal/kg. Sedangkan pada umur ayam dewasa diteliti oleh Ariesta (2011) dan Dewi dkk. (2011) yang menyatakan bahwa pemeliharaan ayam kampung hingga umur 10 minggu dapat menggunakan level energi 3100-2900 kkal/kg dan 22-18 % protein untuk pertumbuhan dan produksi karkas dimana kebutuhan energi untuk pertumbuhan diperoleh 2,73 kkal/1 gram kenaikan berat badan sedangkan kebutuhan proteinnya adalah 0,31 gram protein setiap kenaikan 1 gram berat badan.
Pemilihan pakan bagi ayam kampung dapat menggunakan bahan pakan tunggal atau ganda yang tersedia melimpah di lingkungan kita, menyusun ransum komplit sendiri maupun membeli ransum komplit yang dijual ditoko. Dalam hal penelitian mengenai ransum ayam kampung sudah banyak diteliti sekarang ini. Menurut Iskandar (2006) dan Iskandar (2012) menyatakan bahwa ransum ayam Pelung Kampung dapat menggunakan ransum tunggal dengan kandungan protein 19 % dengan BB akhir 1134 g/ekor pada umur 12 minggu maupun dengan ransum ganda yang lebih efisien dengan kandungan protein 19% pada ransum starter (1-6 minggu) dan 15 % pada ransum finisher (6-12 minggu) dengan BB akhir 1159 g/ekor. Hal yang sama dinyatakan oleh Iskandar (2012) bahwa penggunaan ransum tunggal untuk produksi daging ayam dengan kadar protein 170 g/kg dengan kadar energi 2850 kkal ME/kg yang diberikan hingga umur 12 minggu cukup praktis untuk usaha ternak dengan populasi sedikit sedangkan ransum ganda yang terdiri dari ransum starter yakni kadar protein 210 g/kg dengan energi 2950 kkal ME/kg dan ransum finisher yakni kadar protein 170g/kg dengan energi 2850 kkal ME/kg lebih  efisien digunakan bagi usaha ternak ayam kampung terutama mengamankan ternak dari variasi kualitas gizi pada bahan pakan lokal.
Menurut Gufroni (2010) dan Piay dkk. (2011) pemilihan pakan ayam kampung dapat menggunakan bahan pakan nabati (seperti dedak halus, jagung, sorghum, singkong, onggok, sagu, ampas tahu, daun lamtoro, daun turi, bungkil kedelai, bungkil kelapa, limbah sawit, limbah pabrik kecap, limbah pabrik roti, limbah pabrik supermie, kulit buah kopi, kulit buah coklat, tepung kulit pisang); hewani (tepung ikan, tepung udang, tepung bulu ayam, tepung tulang, tepung kerang, tepung bekicot, bekicot) serta bahan pakan pelengkap (vitamin, meniral, Lysine dan Methionin serta probiotik) maupun pakan ternak komersial. Hal ini sejalan dengan pernyataan Us dkk. (2006) bahwa terdapat pengaruh pola variasi bahan pakan ransum terhadap pbb ayam kampung yang dipelihara selama 8 minggu dimana pola ransum seperti penambahan limbah udang dan bayam dalam ransum memiliki produksi yang lebih optimal dibandingkan ketiadaan atau penggunaan masing-masing bahan pakan tersebut. Alex (2011) juga menyatakan bahwa penggunaan ransum komersil 100 % masih memberikan keuntungan bagi peternak asal tetap diperhatikan perkembangan ternak dan umur pemasaran yang tepat (lebih cepat lebih baik) menggunakan bibit unggul dengan sistem pemeliharaan intensif. Menurut Alhamdi (2005) menyatakan bahwa penambahan zeolit alam hingga 12 % dapat meningkatkan persentase karkas menjadi 71,04% dari 65,10%.
 Menurut Nasution dan Adrizal (2009) menyatakan bahwa pemberian level protein (13,68-16,9%) dan energi (2578-3080 kkal/kg) dalam ransum tidak berpengaruh terhadap kualitas telur baik berat telur, tebal kerabang dan indeks telur ayam kampung tetapi mempengaruhi warna kuning telur. Sedangkan menurut Zainuddin dkk. (2004) menyatakan bahwa imbangan protein 15% dan energi metabolis 2900 kkal dengan kandungan lisin 0,7% memberikan respon produktivitas ayam kampung petelur yang lebih optimal secara teknis dan ekonomis.
2.5.       Penanganan Penyakit
Penangan penyakit baik pencegahan maupun pengobatan perlu dilakukan sedini mungkin guna mencegah infeksi penyakit pada ternak ayam kampung atau penyebaran penyakit di lokasi peternakan. Menurut Henuk (2013) menyatakan bahwa pada umumnya ternak ayam kampung sering terserang penyakit Newcastle Disease (ND), Avian Infuenza (AI) dan Infectious Bursal Disease (IBD) dan diantara ketiga penyakit tersebut ND atau yang dikenal dengan nama penyakit tetelo merupakan yang paling sering diketemukan terutama dimulai dari awal musim hujan sehingga peternak biasanya menjual ternak ayam kampungnya sebelum pergantian musim.
Penyakit ND merupakan salah satu penyakit unggas yang berbahaya dan sulit ditanggulangi karena penularannya dapat melalui berbagai media dengan tingkat kematian 10-100% dan belum bisa diobati (Piay dkk., 2011). Namun menurut Alfahriani (2003) menyatakan bahwa walaupun tanpa vaksinasi, tubuh ayam kampung masih mampu memberntuk tanggap kebal terhadap virus ND (33,33% tanggap kebal proaktif, 63,69% tanggap aktif dan 2,98% yang tidak aktif) dimana adanya fenomena alam meskipun ada wabah virus ND (±50% mati), masih tetap ada yang mampu bertahan dengan membentuk sistem pertahanan tubuh dengan cara memproduksi antibody terhadap ND.
Penanganan pencegahan penyakit ND dapat dilakukan menggunakan vaksinasi ND yang teratur dimulai dari umur 4 hari, 4 minggu dan 4 bulan dan diulang lagi setiap 4 bulan sekali. Menurut Sari (2001) menyatakan bahwa nilai titer antibodi ayam kampung akan meningkat setelah vaksinasi dimana kenaikan titer antibody dicapai pada satu bulan setelah vaksinasi, kemudian nilainya menurun. Menurut Basrial (2002) menyatakan bahwa rata-rata pertambahan bobot badan ayam kampung yang mendapat vaksinasi ulang kedua memperlihatkan kenaikan bobot badan dan titer antibodi yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan bobot badan ayam kampung yang tidak mendapat vaksinasi.
Selain penyakit yang menyerang ternak unggas, juga yang perlu diperhatikan adalah gangguan parasit seperti infeksi cacing. Salah satu cacing yang sering menyerang ternak ayam kampung adalah Ascaris galli yang banyak menyerang usus halus dan menyebabkan perubahan patologis pada usus sehingga penyerapan zat-zat nutrisi akan terganggu dan menghambat pertumbuhan ternak ayam kampung (Hastuti, 2008). Bawang putih merupakan salah satu jenis tanaman herbal yang menjadi andalan sebagai obat tradisional. Menurut Hastuti (2008) bawang putih memiliki zat aktif yaitu dialilsufida yang dapat digunakan sebagai antelmintika dan allicin sebagai zat aktif yang diduga mempunyai daya bunuh parasit. Menurut hasil penelitian Hastuti (2008) menyatakan bahwa pemberian piperazine dan bubuk bawang putih pasca infeksi A. galli (umur 9-11 minggu), meningkatkan konsumsi ransum dimana pemberian bubuk bawang putih sebesar 7,5% dapat menghasilkan bobot badan akhir yang lebih tinggi disbanding pemberian 2% piperazine pada ayam kampung.
Selain pemberian vaksinasi, para peternak juga sudah mengenal berbagai macam tanaman obat yang diberikan untuk mencegah dan mengobati penyakit pada ayam kampung seperti jahe, bawang putih, kunyit, lengkuas, lidah buaya, temulawak, lempayung, sambiloto, mengkudu, papaya, dan temu ireng (Henuk, 2013). Penggunaan pencampuran berbagai jenis tanaman obat ini dalam bentuk kapsul untuk mencegah penyakit ayam kampung dan meningkatkan produksi telur juga telah diteliti oleh Ludji dkk. (2010).
2.6.       Diskusi
Berdasarkan hasil pembahasan diatas dapat ditarik suatu benang merah permasalahan pokok ternak ayam kampung di NTT. Secara umum, pemeliharaan ternak ayam kampung masih bersifat ekstensif tradisional yang pada dasarnya peternak tidak memelihara ternaknya untuk tujuan komersial walaupun dilain pihak terdapat peluang yang begitu besar dalam pemeliharaan ternak ayam kampung di NTT. Selain itu, sekarang ini mulai berkembangnya perusahan asing asal Thailand yang mengusahakan ayam kampung palsu (ayam kampung super = hasil persilangan ayam Pelung dengan ayam ras) secara intensif yang dikemudian hari dapat mematikan usaha peternakan ayam kampung oleh peternakan rakyat di NTT.
Mencermati hal tersebut diatas, perlu dilakukan suatu pembenahan dalam sistem pemeliharaan ayam kampung. Sistem pemeliharaan yang terbaik adalah sistem intensif namun sistem ini masih sulit diadopsi terutama oleh peternak kecil yang tidak memiliki modal besar sehingga tahap awal yang perlu dibangun dari masyarakat adalah pemberian wawasan kepada masyarakat tentang nilai tambah pendapatan dan kesejahteraan masyarakat desa melalui usaha peternakan ayam kampung pola semi intensif atau sistem peternakan modern (intensif) berskala kecil yang tetap menjaga sanitasi lingkungan serta peningkatan produktivitas yang jelas. Pemberian wawasan tersebut terutama bahwa ayam kampung dapat menjadi sumber penghasilan keluarga karena waktu pemeliharaan yang singkat dibandingkan dengan yang selama ini mereka lakukan. Setelah wawasan mereka terbuka maka hal kedua yang perlu diperhatikan adalah meyakinkan mereka untuk membuat kandang yang sehat (ada atau tanpa umbaran tergantung sistem pemeliharaan) walaupun lahan yang ada hanya disekitar rumah/pemukiman. Setelah muncul kesadaran akan pentingnya mengubah sistem pemeliharaan dan pengorbanan membuat kandang maka pemerintah dapat membantu memberikan bantuan kepada masyarakat tersebut dalam bentuk ayam induk yang berkualitas sehingga mereka semakin termotivasi dengan hasil yang mereka dapatkan dan dapat memotivasi masyarakat lainnya dalam membuat kandang dan membeli bibit secara mandiri. Seiring dengan berjalannya waktu, pengubahan sistem pemeliharaan ini akan memberikan peruabahan dalam pola perilaku tatalaksana peternakan yang baik sehingga kesehatan lingkungan juga ikut terjaga. Dalam sistem pemilihan bibit dapat menggunakan sistem perbaikan kualitas dengan cara pengadaan ternak ayam unggul dalam populasi sedangkan pemilihan pakan yang baik adalah menggunakan pakan local yang disusun sesuai kebutuhan nutrisi ternak dan memperhatikan kesehatan ternak menggunakan campuran tanaman obat dan vaksinasi teratur.
BAB III
PENUTUP
3.1.       Simpulan
Adapun simpulan yang dapat diambil berdasarkan pembahasan diatas adalah bahwa ternak ayam kampung sangat merakyat dan perlu dikemabangkan dengan cara pengintensifikasi sistem pemeliharaan kearah yang lebih baik dengan memperhatikan tujuan produksi (bibit, daging, telur), pemilihan bibit, pemilihan pakan dan penanganan penyakit yang lebih baik.

3.2.       Saran
-     Dibutuhkan lebih banyak data untuk menggali sistem pengintensifikasi usaha ternak ayam kampung yang fleksibel dan dapat diimplementasikan oleh para peternak rakyat di NTT khususnya dan Indonesia umumnya.
-     Dibutuhkan perhatian pemerintah dalam pengembangan usaha ternak ayam kampung oleh peternakan rakyat dan membatasi usaha pengembangan ayam kampung oleh perusahaan besar.











DAFTAR PUSTAKA

Alex S.M. 2011. Pasti Untung Bisnis Ayam Kampung : Panen Hanya Dalam Waktu 6 Minggu. Buku. Pustakan Baru Press. Yogyakarta.
Alfahriani. 2003. Tanggap Kebal Terhadap Virus ND dan Hubungannya Dengan Bobot Badan Pada Ayam Kampung Tanpa Vaksin di Desa Karacak - Bogor. Skripsi, Fakultas Kedokteran Hewan. IPB. Bogor.
Alhamdi N. Hasan. 2005. Pengaruh Penambahan Zeolit Alam Sebagai Feed Additive Pada Ransum Terhadap Karkas Ayam Kampung Umur 16 Minggu. Skripsi. Faperta. USU. Medan.
Ariesta Agus Herry. 2011. Pengaruh Kandungan Energi dan Protein Ransum Terhadap Penampilan Ayam Kampung Umur 0-10 Minggu. Tesis. Program Studi Ilmu Peternakan. Program Pascasarjana. Udayana. Bali.
Aswanto. 2010. Beternak Ayam Kampung. PUAP. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Kalimantan Barat.
Bailey C.A., S.Y.F.G. Dillak, S. Sembiring and Y.L. Henuk. 2010. Systems of Poultry Husbandry. Proceedings of the 5th International Seminar on Tropical Animal Production. Yogyakarta, Indonesia. pp 335-341.
Basrial Rahmadi. 2002. Tampilan Bobot Badan Ayam Kampung Yang Mendapatkan Vaksinasi Tetelo Ulang di Kabupaten Bogor. Skripsi. Fapet. IPB. Bogor.
Dewi G.A.M.K., dan I Wayan Wijana. 2011. Pengaruh Penggunaan Level Energi – Protein Ransum Terhadap Produksi Ayam Kampung. Skripsi. Fapet. Udayana. Bali
Gufroni L.M. Ar. 2010. Teknik Penyusunan dan Pemberian Ransum Ayam Kampung. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Kalimantan Barat.
Hastuti Rani Pudji. 2008. Pengaruh Penggunaan Bubuk Bawang Putih Dalam Ransum Terhadap Performa Ayam Kampung yang Diinfeksi Cacing Acaridia Galli. Skripsi. Fapet. IPB. Bogor.
Henuk Y.L. 2013. Benefits and Problems of Keeping Native Chickens in Indonesia. Prepared for 11th World Conference on Animal Production at 15-20 Oct. 2013 in Beijing-China.
Iskandar Sofjan. 2006. Ayam Silangan Pelung-Kampung : Tingkat Protein Ransum Untuk Produksi Daging Umur 12 Minggu. Wartazoa vol. 16 (2) : 65-71.
Iskandar Sofjan. 2012. Optimalisasi Protein dan Energi Ransum Untuk Meningkatkan Produksi Daging Ayam Lokal. Pengembangan Inovasi Pertanian vol. 5 (2) : 96-107
Ludji Jadi M., E.H.A. Juwaningsih, S.T. Temu, S.Y.G.F. Dillak, and Y.L. Henuk. 2010. Egg Production Responses of Laying Hens to Feed Medicinal Herbs After Peak of Production. Proceedings of the 5th International Seminar on Tropical Animal Production. Yogyakarta, Indonesia. pp 332-334.
Maryuki Ahmad. 2012. Ternak Ayam Kampung. www.ternakayamkampung.com
Nasution Saddat dan Adrizal. 2009. Pengaruh Pemberian Level Protein – Energi Ransum Yang Berbeda Terhadap Kualitas Telur Ayam Buras. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. hal 613-618.
Nataamijaya A.G. 2000. The Native Chicken of Indonesia. Buletin Germ Plasma vol. 6 (1) : 1-6.
Peraturan Menteri Pertanian no.49 : tentang Pedoman Pembibitan Ayam Lokal Yang Baik. Menteri Pertanian. Jakarta.
Piay Sherly Sisca, F.R.P. Hantoro, dan Sugiono. 2011. Budidaya Ayam Buras. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Jawa Tengah.
Sari T. Kartika. 2001. Performa Ayam Kampung Yang Divaksinasi Tetelo di Desa Karacak. Skripsi. Fapet. IPB. Bogor.
Telupere F.M.S., J.F. Bale-Therik, dan Y.L. Henuk. 2013. Analisis Pewarisan Sifat Fenotip dan Genetik Ayam Kampung Sabum dan Ayam Semau Serta Hasil Persialngannya. Usulan Pentranas MP3EI 2011-2025. Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Us Fitriani dan Mei S. 2006. Pengaruh Pola Ransum Dengan Penambahan Limbah Udang dan Bayam Terhadap Peningkatan Bobot Badan Ayam Kampung. Pendidikan Biologi. Semarang.
Wibowo Broto dan T. Sartika. 2010. Analisa Kelayakan Usaha Pembibitan Ayam Kampung Lokal Penghasil DOC di Tingkat Petani. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. hal 714-723.
Zainuddin Desmayati, Benny Gunawan, Sofjan Iskandar dan Elizabeth Juarini. 2004. Pengujian Efisiensi Penggunaan Gizi Ransum Pada Ayam Kampung Periode Produksi Telur Secara Biologis dan Ekonomis. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. hal 535-540.
Zulkarnain Ade M. 2008. Restrukturisasi Perunggasan dan Pelestarian Ayam Indonesia untuk Pengembangan Agribisnis Peternakan Unggas Lokal. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. hal 23-29.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar