download pdf here
MAKALAH
PRODUKSI TERNAK UNGGAS
‘Intensifikasi Pemeliharaan Ayam Kampung’
(Intensifikasi Pemilihan Sistem Pemeliharaan, Bibit, Pakan
dan Penanganan Penyakit Ayam Kampung di NTT)
NAMA :
I MADE ADI SUDARMA
NIM :
1211010006
SEMESTER :
II (DUA)
PRODI :
ILMU PETERNAKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2013
KATA
PENGANTAR
Segala
puji dan syukur saya haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang,
karena atas berkat dan pertolongan-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
berjudul intensifikasi pemeliharaan ayam kampung di Nusa Tenggara Timur hingga
pada tahap ini.
Makalah
ini disusun guna mengetahui profil umum pemeliharaan ternak ayam kampung di NTT
dan permasalahan utama dalam pengembangan ternak tersebut sehingga dapat diberi
pilihan intensifikasi kepada masyarakat dalam pengembangan ternak ayam kampung
yang dimilikinya.
Dengan segala kerendahan hati saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu segala saran dan kritik dari berbagai pihak
sangat diharapkan demi penyempurnaan laporan praktikum ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca sekalian. Terima
kasih.
Kupang, April 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... iv
PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
Latar Belakang ...................................................................................... 1
Tujuan ................................................................................................... 1
PEMBAHASAN ................................................................................................ 2
Ternak Ayam Kampung ........................................................................ 2
Pemeliharaan Ternak Ayam Kampung di NTT ..................................... 3
Pemilihan Bibit ..................................................................................... 5
Pemilihan Pakan .................................................................................... 6
Penanganan Penyakit ............................................................................ 7
Diskusi .................................................................................................. 9
PENUTUP ......................................................................................................... 10
Simpulan ............................................................................................... 10
Saran ..................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 11
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Performans Ternak Ayam
Kampung dengan Sistem Pemeliharaan Berbeda ...... 4
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Nusa Tenggara Timur
(NTT) merupakan salah satu provinsi
di Indonesia yang memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah terutama dalam
pengembangan ternak di daerah tersebut. Salah satu ternak potensial yang umum
dimiliki oleh masyarakat di NTT adalah ternak ayam kampung. Menurut Ditjen
Peternakan dalam Zulkarnain (2008) menyebutkan bahwa dari 52,9 juta rumah
tangga pertanian di Indonesia, 60,9% (32,2 juta) diantaranya merupakan rumah
tangga peternakan. Dari jumlah tersebut 65,7% nya adalah rumah tangga yang
melakukan ternak unggas. Lebih lanjut dikemukakan bahwa ternyata 98,5% atau
21,5 juta adalah rumah tangga yang memiliki ternak ayam kampung sedangkan yang
beternak ayam ras hanya 1,5% saja atau 317.500 orang dimana dari jumlah
tersebut 90% nya hanya sebagai pekerja di peternakan bukan sebagai pemilik
murni. Hal ini menandakan bahwa ternak ayam kampung sangat menyentuh kehidupan
masyarakat di Indonesia termasuk di NTT dibandingkan dengan ternak ayam ras.
Pemeliharaan ternak
ayam kampung di NTT saat ini masih bersifat ekstensif tradisional. Menurut
Henuk (2013), ternak ayam kampung yang dipelihara dengan sistem ekstensif
tradisional tidak membutuhkan biaya dalam proses pemeliharaannya karena
peternak hanya membiarkan ternak ayam kampungnya berkeliaran disekitar rumah
untuk mencari makan dengan jumlah kepemilikan setiap rumah tangga berkisar
antara 2 hingga 20 ekor. Menurut zulkarnain (2008) dan Piay dkk., (2011)
menyatakan bahwa produksi telur ayam buras/ayam kampung yang dipelihara secara
tradisional umumnya rendah yakni berkisar 30-60 butir/tahun, selain itu untuk
mendapatkan berat 1 kg memerlukan waktu 6 bulan dan bobot 2 kg dicapai pada
umur 12-16 bulan, serta ayam kampung rentan terhadap penyakit Newcastle Disease
sehingga tingkat mortalitasnya tinggi terutama pada anak ayam yang dapat
mencapai 100%. Oleh karena itu dibutuhkan suatu pengintensifikasi usaha ternak
ayam kampung agar tercapai peningkatan populasi, produksi serta produktivitas
dan efisiensi usaha ayam kampung.
1.2.
Tujuan
Untuk mengetahui teknik intensifikasi ternak
ayam kampung yang dapat dipraktekkan oleh masyarakat di NTT.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Ternak Ayam Kampung
Ternak ayam kampung atau yang biasa
disebut juga dengan nama ayam bukan ras (buras) merupakan salah satu ternak
unggas yang sudah banyak dipelihara terutama didaerah pedesaan, karena selain
dagingnya yang enak dimakan, juga karena memainkan peranan penting sebagai
sumber protein manusia dalam bentuk telur maupun dagingnya (Aswanto, 2010 dan
Henuk, 2013). Keberadaan ayam kampung sangat penting bagi peningkatan
pendapatan petani maupun pemenuhan gizi keluarga masyarakat di pedesaan. Hal
ini terlihat dari hasil pengkajian Ditjen Peternakan dalam Zulkarnain (2008)
yang menyebutkan bahwa dari 52,9 juta rumah tangga pertanian di Indonesia,
60,9% (32,2 juta) diantaranya merupakan rumah tangga peternakan. Dari jumlah
tersebut 65,7% nya adalah rumah tangga yang melakukan ternak unggas. Lebih
lanjut dikemukakan bahwa ternyata 98,5% atau 21,5 juta adalah rumah tangga yang
memiliki ternak ayam kampung sedangkan yang beternak ayam ras hanya 1,5% saja
atau 317.500 orang dimana dari jumlah tersebut 90% nya hanya sebagai pekerja di
peternakan bukan sebagai pemilik murni yang dikarenakan usaha peternakan ayam
ras mulai dari hulu sampai hilir dikuasai segelintir orang yang membentuk
kartel dimana usaha tersebut sangat tergantung dengan impor dan dimiliki oleh
perusahaan asing. Hal ini menandakan bahwa peternak ayam kampung sangat
menyentuh kehidupan masyarakat di Indonesia termasuk di NTT dibandingkan dengan
peternak ayam ras.
Ternak ayam
kampung memiliki kelebihan dibandingkan ternak unggas lainnya karena potensinya
yang cukup besar untuk dikembangkan di Indonesia terutama di NTT. Menurut Zulkarnain
(2008) dan Maryuki (2012), menyatakan bahwa ternak ayam kampung memiliki
beberapa kelebihan / potensi dibandingkan ternak unggas lainnya yaitu (1)
memiliki cita rasa dan tekstur yang khas sehingga permintaan pasar lebih tinggi
dari pasokan, (2) konsumen ayam kampung adalah masyarakat menengah ke atas
terutama karena kesadaran akan kesehatan (ayam kampung lebih alami dan bebas
dari antibiotik kimiawi serta rendah kolesterol), (3) memiliki harga yang
relatif lebih tinggi (harga premium 3-4 kali harga ayam ras), (4) memiliki
kandungan nutrisi yang lebih tinggi dalam daging dan telurnya terutama dengan
kandungan lemak yang rendah, (5) pemeliharaan ayam kampung lebih mudah (secara
umum lebih tahan terhadap penyakit unggas dan tahan terhadap perubahan
lingkungan/cuaca/ stress), (6) perkembangan ayam kapung cukup merata, dan (7)
ayam kampung termasuk dalam ternak multi fungsi. Dari kelebihan tersebut dapat
dilihat bahwa harga ternak ayam kampung tidak dipengaruhi oleh para pelaku
tataniaga tetapi langsung oleh para peternak sehingga peternak tidak dirugikan.
Namun, selain memiliki kelebihan tersebut
diatas, ternak ayam kampung juga memiliki kekurangan yang perlu diantisipasi
oleh para peternak. Menurut Zulkarnain (2008), Piay dkk. (2011) dan Maryuki
(2012) menyatakan bahwa ternak ayam kampung memiliki kekurangan seperti (1)
waktu pemeliharaan ayam kampung relatif lebih lama yang disebabkan oleh sistem
pemeliharaan yang ekstensif tradisional, (2) mortalitas anak ayam kampung cukup
tinggi dapat mencapai 100% karena
kurangnya penanganan oleh peternak terutama karena penyakit ND (3) produktifitas
ayam kampung masih rendah karena sistem pemeliharaan yang ekstensif, (4) ayam
kampung masih belum memiliki standar bibit dan kebutuhan nutrisi yang baku dan
(5) ayam kampung memiliki sifat usil/liar dan berisik. Hal ini menjadikan usaha
ternak ayam kampung masih belum berkembang dengan pesat seperti ayam ras.
2.2. Pemeliharaan Ternak Ayam Kampung di
NTT
Ternak ayam kampung memainkan peran
yang fundamental bagi masyarakat di NTT terutama dalam adat istiadat masyarakat
maupun dalam budaya yang sudah menjadi kebiasaan umum yang dipraktekkan. Ternak
ayam kampung bagi masyarakat NTT sangat
penting dalam acara agama marapu terutama ayam kampung berbulu hitam dan merah.
Selain itu, ayam kampung juga memainkan peran sebagai penambah pendapatan keluarga
baik dalam bantuk ternak ayam maupun telurnya. Dalam hal konsumsi keluarga,
masih sebagian kecil masyarakat yang menggunakan ayam kampung untuk memenuhi
kebutuhan keluarga yang mana ternak ayam tersebut lebih diarahkan sebagai
ternak yang paling pertama siap dipotong ketika ada tamu atau keluarga dari
daerah lain yang datang berkunjung. Sebagian besat pemeliharaan ayam kampung di
NTT tidak membutuhkan biaya selama hidupnya kecuali pembuatan tempat untuk
bertelur sehingga dapat dikategorikan sebagai sistem pemeliharaan ekstensif.
Menurut Nataamijaya (2000), Bailey
dkk. (2010), Telupere dkk. (2013) dan Henuk (2013) menyatakan bahwa ayam
kampung yang dipelihara di Indonesia umumnya dapat dikelompokkan menjadi tiga
tipe sistem pemeliharaan yaitu sistem pemeliharaan ektensif tradisional, sistem
semi intensif dan sistem intensif. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sistem ekstensif
tradisional memiliki karakteristik dari umur satu hari hingga mati, ternak
tersebut dibiarkan hidup bebas tanpa ada intervensi dari petani sehingga
aktifitas ternak ayam kampung tersebut adalah secara alami. Ternak ayam kampung
tersebut biasanya berkeliling mencari makanan disekitar rumah peternak maupun
ditempat lain dan pulang ketika matahari terbenam dan tidur diatas pohon atau
di dapur. Pada sistem ini, peternak tidak mengeluarkan uang sama sekali dan
umumnya hanya mampu memeliki 2-20 ekor ternak. Sistem manajemen ini cukup
banyak dipraktekkan oleh masyarakat peternak yang umumnya memiliki tingkat
pendidikan yang rendah, tidak memiliki sejumlah uang atau akses yang cukup
untuk membeli pakan maupun obat-obatan.
Sistem semi intensif lebih efisien
dan banyak digeluti oleh peternak, guru, dosen, pegawai pemerintahan dan
lain-lain sebagai usaha sambilan. Ternak ayam kampung dipelihara di lahan
terbuka yang tersedia ranch serta pagar dan biasanya dibangun dibelakang rumah.
Peternak memberi pakan dan minum secara teratur tetapi tidak dengan pengobatan
yang hanya dilakukan sekali-kali. Sistem ini dapat tersedia cage atau kandang
tempat tidur dan bertelur maupun tidak sehingga ternak dibiarkan tidur dimana
saja dalam farm tersebut. Pada sistem ini, peternak dapat memelihara 25 hingga
beberapa ratus ekor ternak yang dipelihara bukan untuk tujuan komersial
melainkan untuk kebutuhan mendasar dan mendadak seperti uang sekolah dan hampir
tidak terdapat teknologi yang diintroduksi dalam sistem ini. Sedangkan sistem
intensif memiliki manajemen yang lebih professional seperti populasi yang
dipisahkan oleh periode hidup misalnya periode starter (1-2 bulan), periode
grower (2-4 bulan) dan periode finisher (>4,5 bulan-culling). Ternak ayam
kampung dikandangkan dan diberi pakan, minuman, suplemen dan pengobatan secara
teratur. Produksi ternak lebih diarahkan ke tujuan komersial dan berorientasi
bisnis. Dalam sistem ini, peternak lebih berpengalaman dan biasanya memiliki
jaringan global dimana efisiensi dan produktifitas merupakan hal utama yang
sangat diperhatikan. Jumlah pemeliharaan ternak dapat mencapai seratus hingga
ribuan ekor tergantung sumber daya modal. Hanya beberapa peternak saja yang
mampu berusaha dalam skala ini.
Table 1. performans ayam kampung dengan sistem
pemeliharaan yang berbeda
(Diwyanto dkk., 1996 dalam Henuk, 2013)
Ukuran
produksi
|
Sistem
produksi ayam kampung
|
||
Ekstensif
|
Semi intensif
|
Intensif
|
|
Produksi
telur/ekor/tahun
Produksi telur
(%)
Frekuensi
bertelur (kali/tahun)
Persentasi tingkat
penetasan telur (%)
Berat telur
(gram)
Konsumsi pakan
harian (gram)
Konversi pakan
Tingkat
kematian dibawah umur 6 minggu (%)
Total tingkat
kematian (awal - akhir produksi)
|
47
13
3
74
39-48
<60
>10
50-56
>15
|
59
29
6
79
39-48
60-68
8-10
34-42
15
|
146
40
7
84
39-43
80-100
4,9-6,4
<27
<6
|
2.3. Pemilihan Bibit
Pemilihan bibit yang akan
dipelihara perlu diperhatikan karena bibit yang baik akan menghasilkan produksi
yang lebih optimal dengan perlakuan yang sama dibanding bibit yang kurang baik.
Dalam Permentan no 49 tahun 2006 telah dikeluarkan persyaratan teknis minimal
ternak bibit ayam buras termasuk ayam kampung dimana bibit ayam kampung yang
dijual dipasaran baik hasil pengeraman oleh induk maupun melalui mesin penetasan
harus sehat, tidak cacat, ukuran tubuh seragam, bulu boleh bermacam-macam dan
berasal dari induk yang sehat dimana pada umur dewasa dapat mencapai bobot
minimal 2,4 kg bagi jantan dan 1,5 kg bagi betina dengan sistem pemeliharaan
intensif.
Bibit yang akan dipelihara harus
sesuai dengan tujuan produksi yang diinginkan peternak. Misalnya tujuan
produksi dapat berupa penjualan ternak ayam bibit atau ternak ayam pedaging.
Menurut Wibowo dkk. (2010) menyatakan bahwa usaha pembibitan ayam kampung
dengan tujuan penjualan DOC di tingkat petani sangat layak untuk dikembangkan
di Indonesia saat ini hingga 6 tahun yang akan dating. Menurut Alex (2011),
pemilihan bibit ayam kampung pedaging dapat menggunakan bibit ALPU baik tipe
medium maupun berat yang memiliki karakteristik seperti pertumbuhan yang cepat
(6 minggu sudah bisa panen), produksi seragam (80%), otot dada dan paha yang
lebih tebal, warna kaki kuning cerah dan bersih, warna bulu dominan lebih
spesifik (warna merah hitam dan coklat abu-abu), serta pertumbuhan karkas yang
cepat dan besar. Dalam memperbaiki kualitas genetik dalam suatu populasi ayam
kampung dapat digunakan bibit ayam kampung yang sejenis dengan tingkat
produktifitas yang tinggi maupun yang berbeda (persilangan) seperti ayam pelung
yang memiliki bobot badan yang lebih besar dimana pada saat dewasa minimal
jantan memiliki berat 4 kg dan betina 2,9 kg (Permantan, 2006). Menurut
Iskandar dkk. (1998) dan Yunus (2003) dalam Iskandar (2006) menyatakan bahwa
ayam hasil persilangan Pelung dan Kampung dapat mencapai bobot jual pasaran
dalam waktu 12 minggu dimana pbb (844 g/ekor), konsumsi ransum (3348 g/ekor)
dan konveri ransum (4,2) serta % karkas (64,93%) yang lebih baik dibandingkan
ayam kampung yang memiliki pbb (704 g/ekor), konsumsi ransum (3245 g/ekor) dan
konversi ransum (4,79) serta % karkas (62,89%) sehingga PT CP juga
mengembangakan final stock ayam kampung super KS 808 yang merupakan persilangan
dari ayam Pelung untuk memperoleh ayam potong rasa ayam kampung dengan
pertumbuhan yang tinggi. Pemilihan perkawinan juga dapat dilakukan melalui IB
maupun kawin alam yang tentu saja memiliki kelebihan dan kelemahan
masing-masing dimana menurut Alex (2011) perbandingan ayam jantan dan betina
dalam suatu populasi yang baik adalah 1 : 10.
2.4.
Pemilihan
Pakan
Pemilihan jenis pakan yang
digunakan dalam pemeliharaan ternak ayam kampung perlu diperhatikan persyaratan
minimal yang ada. Menurut Permentan (2006) menyatakan bahwa standar minimal
pakan yang digunakan dalam usaha ayam kampung harus sesuai dengan kebutuhan
minimal gizi ayam kampung/lokal tersebut yang telah tercantum dengan kisaran
protein kasar 15-21%, energi 2750-2900 kkal ME/kg ransum, Kalsium 1-2,5%,
Phospor 0,6-0,7%, aa Lysine 0,4-0,9 dan aa Methionin 0,4, kandungan aflatoksin
dalam pakan tidak lebih dari 20 ppb. Menurut Gufroni (2010) menyatakan bahwa
ternak ayam kampung umur 4 minggu pertama masa hidup ayam akan menentukan
perkembangan selanjutnya sehingga dibutuhkan ransum dengan kandungan nutrisi
yang cukup yakni protein kasar minimal sebesar 17% dan energi metabolis sebesar
2600 kkal/kg. Sedangkan pada umur ayam dewasa diteliti oleh Ariesta (2011) dan
Dewi dkk. (2011) yang menyatakan bahwa pemeliharaan ayam kampung hingga umur 10
minggu dapat menggunakan level energi 3100-2900 kkal/kg dan 22-18 % protein
untuk pertumbuhan dan produksi karkas dimana kebutuhan energi untuk pertumbuhan
diperoleh 2,73 kkal/1 gram kenaikan berat badan sedangkan kebutuhan proteinnya
adalah 0,31 gram protein setiap kenaikan 1 gram berat badan.
Pemilihan pakan bagi ayam kampung
dapat menggunakan bahan pakan tunggal atau ganda yang tersedia melimpah di
lingkungan kita, menyusun ransum komplit sendiri maupun membeli ransum komplit
yang dijual ditoko. Dalam hal penelitian mengenai ransum ayam kampung sudah
banyak diteliti sekarang ini. Menurut Iskandar (2006) dan Iskandar (2012) menyatakan
bahwa ransum ayam Pelung Kampung dapat menggunakan ransum tunggal dengan
kandungan protein 19 % dengan BB akhir 1134 g/ekor pada umur 12 minggu maupun
dengan ransum ganda yang lebih efisien dengan kandungan protein 19% pada ransum
starter (1-6 minggu) dan 15 % pada ransum finisher (6-12 minggu) dengan BB
akhir 1159 g/ekor. Hal yang sama dinyatakan oleh Iskandar (2012) bahwa
penggunaan ransum tunggal untuk produksi daging ayam dengan kadar protein 170
g/kg dengan kadar energi 2850 kkal ME/kg yang diberikan hingga umur 12 minggu
cukup praktis untuk usaha ternak dengan populasi sedikit sedangkan ransum ganda
yang terdiri dari ransum starter yakni kadar protein 210 g/kg dengan energi
2950 kkal ME/kg dan ransum finisher yakni kadar protein 170g/kg dengan energi
2850 kkal ME/kg lebih efisien digunakan
bagi usaha ternak ayam kampung terutama mengamankan ternak dari variasi
kualitas gizi pada bahan pakan lokal.
Menurut Gufroni (2010) dan Piay
dkk. (2011) pemilihan pakan ayam kampung dapat menggunakan bahan pakan nabati
(seperti dedak halus, jagung, sorghum, singkong, onggok, sagu, ampas tahu, daun
lamtoro, daun turi, bungkil kedelai, bungkil kelapa, limbah sawit, limbah
pabrik kecap, limbah pabrik roti, limbah pabrik supermie, kulit buah kopi,
kulit buah coklat, tepung kulit pisang); hewani (tepung ikan, tepung udang, tepung
bulu ayam, tepung tulang, tepung kerang, tepung bekicot, bekicot) serta bahan
pakan pelengkap (vitamin, meniral, Lysine dan Methionin serta probiotik) maupun
pakan ternak komersial. Hal ini sejalan dengan pernyataan Us dkk. (2006) bahwa
terdapat pengaruh pola variasi bahan pakan ransum terhadap pbb ayam kampung
yang dipelihara selama 8 minggu dimana pola ransum seperti penambahan limbah
udang dan bayam dalam ransum memiliki produksi yang lebih optimal dibandingkan
ketiadaan atau penggunaan masing-masing bahan pakan tersebut. Alex (2011) juga
menyatakan bahwa penggunaan ransum komersil 100 % masih memberikan keuntungan
bagi peternak asal tetap diperhatikan perkembangan ternak dan umur pemasaran
yang tepat (lebih cepat lebih baik) menggunakan bibit unggul dengan sistem
pemeliharaan intensif. Menurut Alhamdi (2005) menyatakan bahwa penambahan
zeolit alam hingga 12 % dapat meningkatkan persentase karkas menjadi 71,04%
dari 65,10%.
Menurut Nasution dan Adrizal (2009) menyatakan
bahwa pemberian level protein (13,68-16,9%) dan energi (2578-3080 kkal/kg)
dalam ransum tidak berpengaruh terhadap kualitas telur baik berat telur, tebal
kerabang dan indeks telur ayam kampung tetapi mempengaruhi warna kuning telur. Sedangkan
menurut Zainuddin dkk. (2004) menyatakan bahwa imbangan protein 15% dan energi
metabolis 2900 kkal dengan kandungan lisin 0,7% memberikan respon produktivitas
ayam kampung petelur yang lebih optimal secara teknis dan ekonomis.
2.5.
Penanganan
Penyakit
Penangan penyakit baik pencegahan
maupun pengobatan perlu dilakukan sedini mungkin guna mencegah infeksi penyakit
pada ternak ayam kampung atau penyebaran penyakit di lokasi peternakan. Menurut
Henuk (2013) menyatakan bahwa pada umumnya ternak ayam kampung sering terserang
penyakit Newcastle Disease (ND), Avian Infuenza (AI) dan Infectious Bursal
Disease (IBD) dan diantara ketiga penyakit tersebut ND atau yang dikenal dengan
nama penyakit tetelo merupakan yang paling sering diketemukan terutama dimulai
dari awal musim hujan sehingga peternak biasanya menjual ternak ayam kampungnya
sebelum pergantian musim.
Penyakit ND merupakan salah satu
penyakit unggas yang berbahaya dan sulit ditanggulangi karena penularannya
dapat melalui berbagai media dengan tingkat kematian 10-100% dan belum bisa
diobati (Piay dkk., 2011). Namun menurut Alfahriani (2003) menyatakan bahwa
walaupun tanpa vaksinasi, tubuh ayam kampung masih mampu memberntuk tanggap
kebal terhadap virus ND (33,33% tanggap kebal proaktif, 63,69% tanggap aktif
dan 2,98% yang tidak aktif) dimana adanya fenomena alam meskipun ada wabah
virus ND (±50% mati), masih tetap ada yang mampu bertahan dengan membentuk
sistem pertahanan tubuh dengan cara memproduksi antibody terhadap ND.
Penanganan pencegahan penyakit ND
dapat dilakukan menggunakan vaksinasi ND yang teratur dimulai dari umur 4 hari,
4 minggu dan 4 bulan dan diulang lagi setiap 4 bulan sekali. Menurut Sari
(2001) menyatakan bahwa nilai titer antibodi ayam kampung akan meningkat
setelah vaksinasi dimana kenaikan titer antibody dicapai pada satu bulan
setelah vaksinasi, kemudian nilainya menurun. Menurut Basrial (2002) menyatakan
bahwa rata-rata pertambahan bobot badan ayam kampung yang mendapat vaksinasi
ulang kedua memperlihatkan kenaikan bobot badan dan titer antibodi yang nyata
lebih tinggi dibandingkan dengan bobot badan ayam kampung yang tidak mendapat
vaksinasi.
Selain penyakit yang menyerang
ternak unggas, juga yang perlu diperhatikan adalah gangguan parasit seperti
infeksi cacing. Salah satu cacing yang sering menyerang ternak ayam kampung
adalah Ascaris galli yang banyak menyerang usus halus dan menyebabkan perubahan
patologis pada usus sehingga penyerapan zat-zat nutrisi akan terganggu dan
menghambat pertumbuhan ternak ayam kampung (Hastuti, 2008). Bawang putih
merupakan salah satu jenis tanaman herbal yang menjadi andalan sebagai obat
tradisional. Menurut Hastuti (2008) bawang putih memiliki zat aktif yaitu
dialilsufida yang dapat digunakan sebagai antelmintika dan allicin sebagai zat
aktif yang diduga mempunyai daya bunuh parasit. Menurut hasil penelitian
Hastuti (2008) menyatakan bahwa pemberian piperazine dan bubuk bawang putih
pasca infeksi A. galli (umur 9-11 minggu), meningkatkan konsumsi ransum dimana
pemberian bubuk bawang putih sebesar 7,5% dapat menghasilkan bobot badan akhir
yang lebih tinggi disbanding pemberian 2% piperazine pada ayam kampung.
Selain pemberian vaksinasi, para
peternak juga sudah mengenal berbagai macam tanaman obat yang diberikan untuk
mencegah dan mengobati penyakit pada ayam kampung seperti jahe, bawang putih,
kunyit, lengkuas, lidah buaya, temulawak, lempayung, sambiloto, mengkudu, papaya,
dan temu ireng (Henuk, 2013). Penggunaan pencampuran berbagai jenis tanaman
obat ini dalam bentuk kapsul untuk mencegah penyakit ayam kampung dan
meningkatkan produksi telur juga telah diteliti oleh Ludji dkk. (2010).
2.6.
Diskusi
Berdasarkan hasil pembahasan diatas
dapat ditarik suatu benang merah permasalahan pokok ternak ayam kampung di NTT.
Secara umum, pemeliharaan ternak ayam kampung masih bersifat ekstensif
tradisional yang pada dasarnya peternak tidak memelihara ternaknya untuk tujuan
komersial walaupun dilain pihak terdapat peluang yang begitu besar dalam
pemeliharaan ternak ayam kampung di NTT. Selain itu, sekarang ini mulai
berkembangnya perusahan asing asal Thailand yang mengusahakan ayam kampung
palsu (ayam kampung super = hasil persilangan ayam Pelung dengan ayam ras)
secara intensif yang dikemudian hari dapat mematikan usaha peternakan ayam
kampung oleh peternakan rakyat di NTT.
Mencermati hal tersebut diatas,
perlu dilakukan suatu pembenahan dalam sistem pemeliharaan ayam kampung. Sistem
pemeliharaan yang terbaik adalah sistem intensif namun sistem ini masih sulit
diadopsi terutama oleh peternak kecil yang tidak memiliki modal besar sehingga
tahap awal yang perlu dibangun dari masyarakat adalah pemberian wawasan kepada masyarakat
tentang nilai tambah pendapatan dan kesejahteraan masyarakat desa melalui usaha
peternakan ayam kampung pola semi intensif atau sistem peternakan modern
(intensif) berskala kecil yang tetap menjaga sanitasi lingkungan serta
peningkatan produktivitas yang jelas. Pemberian wawasan tersebut terutama bahwa
ayam kampung dapat menjadi sumber penghasilan keluarga karena waktu
pemeliharaan yang singkat dibandingkan dengan yang selama ini mereka lakukan.
Setelah wawasan mereka terbuka maka hal kedua yang perlu diperhatikan adalah
meyakinkan mereka untuk membuat kandang yang sehat (ada atau tanpa umbaran
tergantung sistem pemeliharaan) walaupun lahan yang ada hanya disekitar
rumah/pemukiman. Setelah muncul kesadaran akan pentingnya mengubah sistem
pemeliharaan dan pengorbanan membuat kandang maka pemerintah dapat membantu
memberikan bantuan kepada masyarakat tersebut dalam bentuk ayam induk yang
berkualitas sehingga mereka semakin termotivasi dengan hasil yang mereka
dapatkan dan dapat memotivasi masyarakat lainnya dalam membuat kandang dan
membeli bibit secara mandiri. Seiring dengan berjalannya waktu, pengubahan
sistem pemeliharaan ini akan memberikan peruabahan dalam pola perilaku
tatalaksana peternakan yang baik sehingga kesehatan lingkungan juga ikut terjaga.
Dalam sistem pemilihan bibit dapat menggunakan sistem perbaikan kualitas dengan
cara pengadaan ternak ayam unggul dalam populasi sedangkan pemilihan pakan yang
baik adalah menggunakan pakan local yang disusun sesuai kebutuhan nutrisi
ternak dan memperhatikan kesehatan ternak menggunakan campuran tanaman obat dan
vaksinasi teratur.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Simpulan
Adapun simpulan
yang dapat diambil berdasarkan pembahasan diatas adalah bahwa
ternak ayam kampung sangat merakyat dan perlu dikemabangkan dengan cara
pengintensifikasi sistem pemeliharaan kearah yang lebih baik dengan
memperhatikan tujuan produksi (bibit, daging, telur), pemilihan bibit,
pemilihan pakan dan penanganan penyakit yang lebih baik.
3.2. Saran
- Dibutuhkan lebih banyak data untuk menggali sistem
pengintensifikasi usaha ternak ayam kampung yang fleksibel dan dapat
diimplementasikan oleh para peternak rakyat di NTT khususnya dan Indonesia
umumnya.
- Dibutuhkan perhatian pemerintah dalam
pengembangan usaha ternak ayam kampung oleh peternakan rakyat dan membatasi
usaha pengembangan ayam kampung oleh perusahaan besar.
DAFTAR PUSTAKA
Alex S.M. 2011. Pasti Untung
Bisnis Ayam Kampung : Panen Hanya Dalam Waktu 6 Minggu. Buku. Pustakan Baru
Press. Yogyakarta.
Alfahriani. 2003. Tanggap Kebal
Terhadap Virus ND dan Hubungannya Dengan Bobot Badan Pada Ayam Kampung Tanpa
Vaksin di Desa Karacak - Bogor. Skripsi, Fakultas Kedokteran Hewan. IPB. Bogor.
Alhamdi N. Hasan. 2005. Pengaruh
Penambahan Zeolit Alam Sebagai Feed Additive Pada Ransum Terhadap Karkas Ayam
Kampung Umur 16 Minggu. Skripsi. Faperta. USU. Medan.
Ariesta Agus Herry. 2011.
Pengaruh Kandungan Energi dan Protein Ransum Terhadap Penampilan Ayam Kampung
Umur 0-10 Minggu. Tesis. Program Studi Ilmu Peternakan. Program Pascasarjana.
Udayana. Bali.
Aswanto. 2010. Beternak Ayam
Kampung. PUAP. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Kalimantan Barat.
Bailey C.A., S.Y.F.G. Dillak, S.
Sembiring and Y.L. Henuk. 2010. Systems of Poultry Husbandry. Proceedings of the
5th International Seminar on Tropical Animal Production. Yogyakarta,
Indonesia. pp 335-341.
Basrial Rahmadi. 2002. Tampilan
Bobot Badan Ayam Kampung Yang Mendapatkan Vaksinasi Tetelo Ulang di Kabupaten
Bogor. Skripsi. Fapet. IPB. Bogor.
Dewi G.A.M.K., dan I Wayan Wijana.
2011. Pengaruh Penggunaan Level Energi – Protein Ransum Terhadap Produksi Ayam
Kampung. Skripsi. Fapet. Udayana. Bali
Gufroni L.M. Ar. 2010. Teknik
Penyusunan dan Pemberian Ransum Ayam Kampung. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian. Kalimantan Barat.
Hastuti Rani Pudji. 2008.
Pengaruh Penggunaan Bubuk Bawang Putih Dalam Ransum Terhadap Performa Ayam
Kampung yang Diinfeksi Cacing Acaridia Galli. Skripsi. Fapet. IPB. Bogor.
Henuk Y.L. 2013. Benefits and
Problems of Keeping Native Chickens in Indonesia. Prepared for 11th
World Conference on Animal Production at 15-20 Oct. 2013 in Beijing-China.
Iskandar Sofjan. 2006. Ayam
Silangan Pelung-Kampung : Tingkat Protein Ransum Untuk Produksi Daging Umur 12
Minggu. Wartazoa vol. 16 (2) : 65-71.
Iskandar Sofjan. 2012.
Optimalisasi Protein dan Energi Ransum Untuk Meningkatkan Produksi Daging Ayam
Lokal. Pengembangan Inovasi Pertanian vol. 5 (2) : 96-107
Ludji Jadi M., E.H.A.
Juwaningsih, S.T. Temu, S.Y.G.F. Dillak, and Y.L. Henuk. 2010. Egg Production
Responses of Laying Hens to Feed Medicinal Herbs After Peak of Production.
Proceedings of the 5th International Seminar on Tropical Animal
Production. Yogyakarta, Indonesia. pp 332-334.
Maryuki Ahmad. 2012.
Ternak Ayam Kampung. www.ternakayamkampung.com
Nasution Saddat dan Adrizal. 2009.
Pengaruh Pemberian Level Protein – Energi Ransum Yang Berbeda Terhadap Kualitas
Telur Ayam Buras. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. hal 613-618.
Nataamijaya A.G. 2000. The Native
Chicken of Indonesia. Buletin Germ Plasma vol. 6 (1) : 1-6.
Peraturan Menteri Pertanian no.49
: tentang Pedoman Pembibitan Ayam Lokal Yang Baik. Menteri Pertanian. Jakarta.
Piay Sherly Sisca, F.R.P.
Hantoro, dan Sugiono. 2011. Budidaya Ayam Buras. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Jawa Tengah.
Sari T. Kartika. 2001. Performa
Ayam Kampung Yang Divaksinasi Tetelo di Desa Karacak. Skripsi. Fapet. IPB.
Bogor.
Telupere F.M.S., J.F.
Bale-Therik, dan Y.L. Henuk. 2013. Analisis Pewarisan Sifat Fenotip dan Genetik
Ayam Kampung Sabum dan Ayam Semau Serta Hasil Persialngannya. Usulan Pentranas
MP3EI 2011-2025. Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi.
Us Fitriani dan Mei S. 2006.
Pengaruh Pola Ransum Dengan Penambahan Limbah Udang dan Bayam Terhadap
Peningkatan Bobot Badan Ayam Kampung. Pendidikan Biologi. Semarang.
Wibowo Broto dan T. Sartika. 2010.
Analisa Kelayakan Usaha Pembibitan Ayam Kampung Lokal Penghasil DOC di Tingkat
Petani. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. hal 714-723.
Zainuddin Desmayati, Benny
Gunawan, Sofjan Iskandar dan Elizabeth Juarini. 2004. Pengujian Efisiensi Penggunaan
Gizi Ransum Pada Ayam Kampung Periode Produksi Telur Secara Biologis dan
Ekonomis. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. hal 535-540.
Zulkarnain Ade M. 2008.
Restrukturisasi Perunggasan dan Pelestarian Ayam Indonesia untuk Pengembangan
Agribisnis Peternakan Unggas Lokal. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner. hal 23-29.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar