download pdf here
MAKALAH
BIOENERGETIKA TERNAK
BIODEGRADASI RUMEN DALAM
MENGHASILKAN VFA
“Degradasi
Berbagai Jenis Pakan Dalam Rumen Untuk Menghasilkan Produk
VFA (C2, C3,
dan C4) Serta Panas Metabolisme dan Gas Metan Yang Dihasilkan”
NAMA :
I MADE ADI SUDARMA
NIM :
1211010006
SEMESTER :
II (DUA)
PRODI :
ILMU PETERNAKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2013
2013
KATA
PENGANTAR
Segala
puji dan syukur saya haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang,
karena atas berkat dan pertolongan-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
berjudul biodegradasi rumen dalam menghasilkan VFA.
Makalah
ini disusun guna mengetahui proses fermentasi yang terjadi dalam rumen dalam
mengubah bahan makanan yang dikonsumsi ternak terutama hijauan dalam bentuk VFA
yang berguna sebagai sumber energi bagi pertumbuhan mikroba rumen.
Dengan segala kerendahan hati saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu segala saran dan kritik dari berbagai pihak
sangat diharapkan demi penyempurnaan laporan praktikum ini. Semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi pembaca sekalian. Terima
kasih.
Kupang, Mei 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
Latar belakang ...................................................................................... 1
Tujuan ................................................................................................... 1
PEMBAHASAN ................................................................................................ 2
Sistem pencernaan ruminansia .............................................................. 2
Produksi VFA dan gas metan ............................................................... 3
Produksi panas metabolisme ................................................................. 4
Jenis pakan dan produksi VFA ............................................................. 5
Jenis pakan dan produksi asam asetat, propionat dan butirat ............... 6
panas metabolism dari produksi VFA ................................................ 13
kelebihan dan kelemahan dari masing-masing produk VFA .............. 15
PENUTUP .......................................................................................................... 17
Simpulan ............................................................................................... 17
Saran ..................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 18
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Ternak ruminansia
merupakan ternak potensial yang sedang digalakkan oleh pemerintah untuk di
kembangkan di propinsi Nusa Tenggara Timur. Ternak ruminansia termasuk dalam
ternak berlambung ganda yang mampu mengubah pakan berserat (kualitas rendah)
menjadi produk berkualitas tinggi seperti daging dan susu yang dikonsumsi oleh
manusia. Namun ternak ruminansia ikut memainkan peran dalam menyumbang emisi
gas metan yang turut mengakibatkan pemanasan global yang terjadi saat ini.
Menurut Sejian et al. (2011) dalam Negara (2012) menyatakan bahwa
ternak ruminansia bertanggung jawab terhadap 58 Tg (1 Tg = 1012 g = 1 juta
metric ton) dari 550 Tg gas metana yang dibebaskan kea lam setiap tahunnya.
Produksi gas metan dalam proses degradasi pakan dalam rumen dipengaruhi oleh
produksi VFA (Volatile Fatty Acid /
asam lemak terbang) khususnya asetat dan butirat. Menurut Moss et al. (2000) dalam Ikhsan (2012) menyatakan bahwa hydrogen metabolik dalam
bentuk proton tereduksi (H) dapat digunakan selama sintesis VFA atau tergabung
ke dalam bahan organik mikroba dimana kelebihan hydrogen yang dihasilkan selama
konversi heksosa menjadi asetat atau butirat akan digunakan dalam jalur
propionat dan sebagian besar dikonversi menjadi CH4. Dengan kata
lain, proporsi asetat, butirat dan propionat akan dapat menentukan jumlah H2
yang tersedia di dalam rumen untuk memproduksi metan oleh metanogen (Ikhsan,
2012).
Penggunaan hijauan
berbagai hijauan pakan dalam ransum ternak ruminansia akan mempengaruhi
produksi VFA terutama asetat, propionat dan butirat yang berguna sebagai sumber
energi bagi ternak itu sendiri. Masing-masing bahan pakan akan memproduksi
panas metabolisme terutama pakan berserat kasar tinggi (structural) dimana
dalam fermentasi pakan akan cenderung mengarah pada produksi VFA asetat dan
butirat yang cenderung memiliki panas metabolisme yang lebih tinggi
dibandingkan propionat serta meningkatkan produksi gas metan. Oleh karena itu,
dibutuhkan pemilihan bahan pakan ternak ruminansia yang tepat yang memberikan
produksi propionat terbaik dengan produksi panas yang rendah.
1.2.
Tujuan
Untuk mengetahui proses biodegradasi
pakan dalam rumen dalam menghasilkan VFA serta kontribusinya terhadap produksi
gas metan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Sistem
pencernaan ruminansia
Gambar 1. Proses Metabolisme Karbohidrat dalam Rumen
Ternak Ruminansia
(McDonald et al., 2002 dalam
Kurniawati, 2009)
Sebagian besar VFA yang dihasilkan
dalam rumen oleh mikroba akan diserap dalam rumen hingga reticulum. Menurut Church
(1971) dalam Arsadi (2006),
melaporkan bahwa 75% dari total VFA yang dihasilkan akan diserap di dalam
rumen-retikulum (yang kemudian masuk ke
dalam darah), 25% diserap didalam omasum dan abomasum, dan 5% akan diserap di
usus. Sistem pencernaan ruminansia sangat tergantung pada perkembangan populasi
mikroba yang mendiami rumen dalam mengolah setiap bahan pakan yang dikonsumsi
dimana mikroba tersebut berperan sebagai pencerna serat dan sumber protein
(Kurniawati, 2009).
2.2.
Produksi
VFA dan gas metan
Menurut Hungate (1966) dalam Setiani (2002) menyatakan bahwa
proses degradasi dan fermentasi karbohidrat dalam rumen dapat dibagi menjadi
tiga tahap yaitu pemecahan partikel makanan yang menghasilkan polimer
karbohidrat, hidrolisa polimer menjadi sakarida sederhana dan fermentasi
sakarida sederhana menjadi VFA. Hal ini berhubungan dengan kinerja enzim dalam
mengubah partikel makanan menjadi karbohidrat dalam hal ini adalah glukosa,
kemudian glukosa akan berubah menjadi asam piruvat dan dalam proses fermentasi
akan berubah menjadi VFA. Menurut Preston dan Leng (1987) dalam Setiani (2002) menyatakan bahwa glukosa yang difermentasi
menjadi VFA dapat sebagian besar berupa asetat, propionate dan butirat serta
gas CH4 dan CO2. Menurut Weimer et al. (1999) dalam
Artati (2012) menyatakan bahwa faktor yang diperlukan untuk kelangsungan proses
fermentasi oleh mikroba rumen adalah kondisi mendekati anaerob dengan pH pada 6-7.
Volatile Fatty Acid (VFA) atau disebut
juga asam lemak terbang yang dihasilkan dari fermentasi dalam rumen digunakan
sebagai sumber energi utama pada ternak ruminansia. Menurut Sun dan Zhao (2009)
dan Schlegel (1994) dalam Sari (2012)
menyatakan bahwa dari total VFA rumen, proporsi molar asetat, propionat dan
butirat sekitar 95% dimana proses fermentasi dalam rumen menghasilkan asam
asetat (C2) paling banyak sekitar 50-70%,
diikuti oleh asam propionat (C3) berkisar antara 17-21%, asam butirat
(C4) diproduksi sekitar 14-20% dari VFA total, serta asam valerat (C5) dan asam
format hanya terbentuk dalam jumlah kecil.
Produksi VFA di dalam cairan rumen
dapat digunakan sebagai tolak ukur fermentabilitas pakan (Hartati, 1998 dalam Aviantri, 2012). Ini berarti bahwa konsentrasi VFA tersebut mengindikasikan
mudah tidaknya pakan tersebut didegradasi oleh mikroba rumen. Manurut Sakinah
(2005) dalam Aviantri (2012)
menyatakan bahwa komposisi VFA di dalam rumen dapat berubah dengan adanya
perbedaan bentuk fisik, komposisi pakan, taraf dan frekuensi pemberian pakan
serta pengolahan dimana produksi VFA yang tinggi merupakan petunjuk kecukupan
energi bagi ternak. Kisaran produksi VFA cairan rumen yang mendukung
pertumbuhan mikroba yaitu 80 mM sampai 160 mM (Sutardi, 1977 dalam Kurniawati, 2009) dengan titik
optimumnya 110 mM (Suryapratama, 1999). Produksi VFA juga dapat dipengaruhi
oleh protozoa melalui mekanisme pencernaan partikel pati sehingga VFA menjadi
rendah dan rasio butirat : propionat dari 0,5 menjadi 1,7 (Whitelaw et al., 1972 dalam Aviantri, 2012).
Produksi gas metan akan semakin
meningkat apabila proporsi asetat dan butirat dalam fermentasi rumen lebih
tinggi dibandingkan propionate. Hal ini dimungkinkan karena produksi asetat dan
butirat dari glukosa akan menghasilkan H2 yang akan bersatu dengan
CO2 menjadi CH4, sedangkan produksi propionate justru
menurunkan produksi metan karena untuk menghasilkan propionate dibutuhkan H2
yang berikatan dengan glukosa (Tabel 1). Berdasarkan hal tersebut, telah dibuat
model stoikiometri oleh Moss maupun oleh Hegarty dan Nolan yang cukup mendekati
akurat untuk memprediksi produksi gas metan dari proporsi VFA yang dihasilkan
(Ikhsan, 2012 dan Negara, 2012).
Tabel 1. Stoikiometri umum reaksi
fermentasi karbohidrat menjadi
VFA
dan gas metan dalam rumen
No.
|
Fermentasi karbohidrat menjadi VFA dan
gas metan
|
Reaksi kimia
|
1
|
Heksosa menjadi acetat
|
C6H12O6 + 2H2O
à 2CH3COOH + 2CO2 + 4H2
|
2
|
Heksosa menjadi propionat
|
C6H12O6 + 2H2
à 2CH3CH2COOH + 4H2O
|
3
|
Heksosa menjadi butirat
|
C6H12O6 à CH3CH2CH2COOH + 2CO2 + 2H2
|
4
|
Produksi metan
|
4H2 + CO2 à CH4 + 2H2O
|
2.3.
Produksi
panas metabolisme
Produksi panas atau heat increament (panas dari proses
pencernaan) merupakan akumulasi dari produksi panas fermentasi dan produksi
panas metabolisme makanan. Secara skematis, heat
increament merupakan proporsi energi metabolisme yang hilang menjadi panas
selama proses pengubahan energi dalam pakan menjadi netto energi yang dapat
digunakan oleh ternak. Menurut Sutardi
(1979) dalam Setiani (2002)
menyatakan bahwa efisiensi penggunaan VFA dalam tubuh berbeda-beda dimana asam
lemak ini akan dioksidasi dalam tubuh dan akan terbentuk panas. Lebih lanjut
dinyatakan bahwa asam asetat akan menghasilkan panas tertinggi dan pembuangan
panas dapat ditekan jika kadar asam asetat dikurangi oleh asam lemak lain
terutama asam propionate. Hal ini sejalan dengan pendapat Baldwin et al. (1980) dalam Ramdani (2008) yang menyatakan bahwa asam asetat memiliki
efisiensi kecernaan yang rendah dibandingkan asam propionat dan glukosa. Hal
ini dimungkinkan karena produksi asam asetat akan menghasilkan H2
yang pada akhirnya panas tersebut akan terbuang percuma menjadi gas metan
(energi panas besar tapi tidak dapat dimanfaatkan oleh ternak).
2.4.
Jenis
pakan dan produksi VFA
Ada berbagai hasil penelitian yang
meneliti tentang produksi VFA pada ternak ruminansia berdasarkan jenis pakan
maupun ransum yang diberikan. Secara umum, hasil penelitian yang berkaitan
tersebut hanya akan diambil dari jurnal-jurnal ilmiah yang sudah
dipublikasikan. Berikut beberapa hasil penelitian tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian
Firzoni dkk. (2008), melaporkan bahwa penambahan level SKN (Suplemen Kaya
Nutrisi) pada pakan komplit tidak berpengaruh nyata terhadap produksi gas dan
biomassa protein mikroba dimana produksi gas dan biomassa protein mikroba yang dihasilkan berkisar 33,35 –
34,39 (ml/200 mg BK) dan 92,82 – 110,79 mg.
namun perlakuan SKN (terdiri atas
campuran agen defaunasi, ampas tahu, daun kembang sepatu, ampas teh, mineral Cu
dan Zn organik serta kunyit) tersebut nyata meningkatkan konsentrasi VFA dan NH3.
Konsentrasi VFA tertinggi dihasilkan
pada perlakuan C (Jerami Sorgum 35% + Rumput lapang 35% + Konsentrat 20% + SKN
10%) yaitu 74,03 mM, diikuti oleh perlakuan B (Jerami Sorgum 35% + Rumput lapang 35% + Konsentrat 25% + SKN 5%)
yaitu 67,50 mM dan terendah adalah perlakuan A (Jerami Sorgum (S) 35% + Rumput
Lapang 35% + Konsentrat 30%) yaitu 56,68 mM. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut dapat diketahui bahwa penambahan suplemen kaya nutrisi mampu
meningkatkan produksi VFA dalam rumen ternak sapi dan dapat menggantikan
proporsi konsentrat sebesar 10 % dalam ransum. Adanya peningkatan produksi VFA
dengan penambahan SKN diduga diakibatkan oleh adanya pencampuran bahan pakan
yang cukup seimbang terutama dalam hal ini mampu meningkatkan proporsi
ketersediaan nitrogen dan kerangka karbon dalam ransum serta mineral yang
dibutuhkan mikroba dan juga penurunan populasi protozoa oleh agen defaunasi
yang pada akhirnya akan meningkatkan produksi bakteri pencerna serat.
Despal dkk. (2011) melaporkan bahwa
penggunaan suplemen pollard pada pakan basal silase rami memberikan produksi
VFA yang nyata lebih besar (164,2 mM) dibandingkan penambahan suplemen jagung
(135,0 mM) dan gaplek (127,7 mM), padahal gaplek lebih mudah difermentasi dibandingkan
pollard. Hal ini dimungkinkan karena kemungkinan sebagian besar bahan yang
mudah larut dari gaplek sudah difermentasi pada ensilasi, sehingga bagian yang
tersisa pada fermentasi mikroba rumen menjadi lebih rendah. Sedangkan pada jagung dimungkinkan karena
ukuran jagung yang lebih besar sehingga lebih lambat / sulit dicerna dalam
fermentasi rumen.
Widodo dkk. (2012) melakukan
penelitian tentang penggunaan pakan komplit dengan pakan utama jerami padi
berbagai level (25%, 30%, 35% dan 40%) dan pakan pembanding berupa pakan
komplit dengan pakan utama rumput gajah (70%) sebagai serat memperlihatkan
adanya produksi VFA yang tidak berbeda nyata (122,50 : 117,50 : 112,50 : 110,00
: 116,25). Hal ini dimungkinkan karena ketersediaan serat kasar yang hampir
sama diantara setiap perlakuan dimana serat kasar tersebut terdiri dari
selulosa, hemi selulosa dan lignin yang akan dicerna oleh mikroba rumen menjadi
glukosa dan VFA. Hasil yang sama juga diperlihatkan oleh Wijayanti dkk. (2012)
melaporkan bahwa penggunaan ampas tebu dengan berbagai level perlakuan (25,
30%, 35% dan 40%) pada pakan komplit tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap produksi VFA. Hal ini dimungkinkan karena dalam penyusunan ransum
tersebut, keempat pelakuan disusun dengan kandungan protein dan TDN yang hampir
sama (sedikit lebih tinggi setiap kemaikan level perlakuan) sehingga pada
akhirnya akan mempengaruhi ketersediaan serat kasar dalam ransum yang merupakan
bahan baku utama produksi VFA oleh mikroba rumen. Pujowati (2012) juga
melaporkan hal senada bahwa penggunaan kedelei tanpa maupun dengan pemanasan
perlakuan (50 oC, 60 oC dan 70oC) pada pakan
komplit juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi VFA. Hal
ini dimungkinkan karena semua perlakuan mendapatkan jenis bahan pakan yang sama
sehingga ketersediaan karbohidrat dan protein kasar dalam ransum tersebut
sebagai bahan baku utama yang akan menentukan produksi dari VFA oleh mikroba
melalui sintesa protein dan karbohidrat.
2.5.
Jenis
pakan dan produksi asam asetat, propionate dan butirat
Ada berbagai hasil penelitian yang
meneliti tentang produksi VFA dalam bentuk asetat, propionat dan butirat pada
ternak ruminansia berdasarkan jenis pakan maupun ransum yang diberikan. Secara
umum, hasil penelitian yang berkaitan tersebut hanya akan diambil dari
jurnal-jurnal ilmiah yang sudah dipublikasikan. Berikut beberapa hasil
penelitian tersebut.
Rogers and Davids (1982) melaporkan
tentang penggunaan penambahan sodium bicarbonate dan monensin akan mempengaruhi
produksi VFA pada ternak sapi muda dimana penambahan sodium bicarbonate akan
meningkatkan asetat dan cenderung menurunkan propionat sedangkan penambahan
monensin akan menaikkan asetat dan propionat secara bersama-sama. Penelitian
serupa juga dilakukan oleh Sar et al.
(2004) yang memperlihatkan bahwa pemberian saline pada pakan domba akan meningkatkan
propionat sedangkan Nitrate cenderung menurunkan propionat dan meningkatkan
asetat. Linington et al. (1998)
melaporkan bahwa pakan berserat kasar tinggi cenderung memiliki produksi asetat
yang lebih tinggi (64,3 : 55,5 mM) dengan proporsi propionat yang lebih rendah
(19,5 : 23,3 mM) dibandingkan pakan berserat rendah.
Thalib (2004) melaporkan tentang
penggunaan rumput raja tanpa aditif, penambahan aksapon SR (ekstrak saponin Sapindus rarak / ekstrak saponin serbuk
buah lerak), serbuk lerak, Fe, SO4 dan PULCFA (asam lemak berantai
panjang dengan ikatan rangkap banyak) ternyata memberikan dampak terhadap
produksi VFA terutama penggunaan aksapon SR dan serbuk lerak pada produk asetat
(dari 60,42% menjadi 51,93% dan 50,94%) dan produk propionat (dari 27,41%
menjadi 37,83% dan 38,40%) sehingga penggunaan zat aditif tersebut mampu
menurunkan proporsi C2/C3 dari 2,20 menjadi 1,37 pada penambahan aksapon SR dan
1,33 pada penambahan serbuk lerak dari pakan kontrol. Hal ini memberikan dampak
yang nyata terhadap penurunan volume gas metan dari 32,56% menjadi 22,34 % dan
25,70% dari voleme total.
Uhi
dkk. (2006) melaporkan tentang penggunaan hijauan dan bungkil kedelai serta
hijauan + suplemen katalitik (campuran gelatin sagu 98% + ammonium sulfat 2% +
Co 0,2 ppm dan Zn 35 ppm) dengan berbagai level perlakuan dari 0, 20, 40 dan 60
gram (atau 0, 10, 20 dan 30%). Dari penelitian tersebut diperlihatkan bahwa pemberian
suplemen katalitik tidak berpengaruh nyata dibandingkan pakan yang diberi
tambahan bungkil kedelai tetapi berpengaruh nyata menurunkan produksi asetat,
propionat dan butirat pada pakan yang hanya diberi hijauan (table 2.)
Tabel 2. Pengaruh perlakuan pakan terhadap
konsentrasi VFA total dan parsial (mM)
serta nisbah C2/C3
Pamungkas dkk. (2008) melaporkan
tentang penggunaan suplemen pakan lengkap dengan berbagai perlakuan (35%, 65%
dan 100%) pada pakan dasar lamtoro tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
terhadap produksi asetat, propionat dan butirat dari masing-masing ransum
(table 3), namun memberikan dampak yang
nyata terhadap produksi propionat pada semua jenis bahan pakan dibandingkan
pakan lengkap 100% setelah 4 jam pemberian pakan. Hal ini berhubungan dengan
ketersediaan protein pakan yang sebagian besar disumbangkan oleh lamtoro untuk
memproduksi propionat. Selain itu, dari table 3 tersebut juga mempelihatkan
bahwa adanya pencampuran 2 jenis pakan akan memberikan hasil yang sedikit lebih
baik terutama dibandingkan pakan lengkap pada produksi asetat.
Table 3. pengaruh perlakuan
suplementasi pakan lengkap (PL) dengan pakan basal daun lamtoro terhadap
produksi VFA (mM/L)
Jayanegara dkk. (2009)
melaporkan tentang produksi asetat, propionat dan butirat pada pakan hay rumput
lapang dengan suplementasi tanin sebanyak 0,5 mg/ml dengan berbagai level jenis
tanin (chestnut, mimosa, quebracho,
dan sumach tanin) dimana secara umum penambahan
tanin memberikan dampak negatif terhadap produksi asetat, propionat dan butirat
(tabel 4) namun secara nyata mampu menurunkan produksi gas metan dibandingkan
pakan kontrol tanpa pemberian tanin (tabel 5). Hal ini disebabkan karena tanin
mampu mengikat protein sehingga sebagian ptotein tidak akan terdegradasi oleh
mikroba rumen dan terdapat cukup protein yang tersedia di pasca rumen. Hal ini
jugalah yang biasa digunakan oleh para peneliti untuk mempertahankan kualitas
protein pakan dengan cara proteksi agar bisa melewati rumen (by pass) tanpa mengalami modifikasi
asam-asam amino penyusunnya.
Tabel 4. Produksi VFA ransum hay yang mengandung tanin murni
konsentrasi rendah
Tabel 5. Produksi
gas metan ransum hay yang mengandung tanin murni konsentrasi rendah
Mahardika (2012)
melaporkan tentang penggunaan pakan jerami secara ad libitum dan dengan
penambahan konsentrat, dan feed suplement (rumput laut + limbah lidah buaya).
Hasil penelitian menunjukkan dampak yang tidak nyata terhadap produksi asetat
dan butirat tapi nyata meningkatkan produksi propionat dan total VFA dimana
pada pakan kontrol jerami ad lib + 2
kg konsentrat ternak menunjukkan produksi propionat sebesar 13,32 mM, menjadi
22,78 mM propionat pada pemberian konsentrat 2,5 kg dengan 150 gram feed
suplement (tabel 6). Hal ini menerangkan bahwa penambahan lidah buaya dan
rumput laut dalam pakan dengan kualitas lebih rendah mampu memberikan efisiensi
produksi propionat oleh mikroba sehingga akan ikut menurunkan produksi gas
metan oleh ternak tersebut.
Tabel 6. Pengaruh
suplementasi limbah lidah buaya terhadap metabolit rumen
Keterangan : (A
= jerami padi ad lib (JP) + 2 kg konsentrat (K); B = JP + 2 kg K + 150 gr feed
supplement (FS); C = JP + 2,5 kg K + 150 gr FS; D = JP + 3 kg K + 150 gr FS;
dan E = JP + 3 kg K.
Puastuti dkk. (2012) melaporkan
tentang penggunaan ransum komplit (rumput gajah segar cacahan, konsentrat
komersial, mineral Comin plus dan
protein supelem sebagai perlakuan) yang protein suplemen berasal dari bungkil
kedelai, bungkil kedelai terproteksi (dengan getah pisang) dan tepung ikan,
dimana dalam hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa penambahan suplemen
tepung ikan mampu menurunkan produksi asetat secara nyata dan meningkatkan
produksi propionat secara tidak nyata pada ternak (table 7). Hal ini
berhubungan dengan ketersediaan serat kasar untuk dicerna oleh mikroba
menghasilkan VFA terutama asetat. Dari table tersebut juga memperlihatkan bahwa
proteksi bungkil kedele dalam ransum ternyata memberikan produksi gas metana
yang lebih besar dibandingkan tanpa proteksi maupun dengan ransum suplemen
tepung ikan.
Tabel 7. Pengaruh perbedaan
suplemen protein terhadap fermentasi rumen
Santoso dan Hariadi (2008)
melaporkan tentang penggunaan hay dan silase dari beberapa jenis rumput dimana
terlihat bahwa tidak terdapat pengaruh yang nyata dari metode pengawetan pakan
terhadap produksi asetat, propionat dan butirat namun secara umum memperlihatkan
perbedaan yang nyata dari jenis pakan terhadap produksi produk VFA sedangkan
interaksi antara metode pengawetan dan jenis rumput hanya terlihat berpengaruh
pada produksi asetat (table 8). Hal ini dimungkinkan karena metode penyimpanan
tidak merusak kualitas dari pakan tersebut dan berbagai jenis rumput tersebut
merupakan jenis hijauan penghasil serat sehingga fermentasi pakan tersebut
tidak berpengaruh nyata pada produksi propionat.
Table 8. degradasi nutrient dan karakteristik
fermentasi
Ikhsan (2012) mensitasi hasil
penelitian Jayanegara et al. (2011)
yang meneliti tentang produksi VFA dari 27 jenis tanaman (table 9). Dari table tersebut
dapat dilihat bahwa ternyata dari 27 jenis hijauan, Carica papaya memberikan produksi gas total yang paling besar namun
juga diikuti dengan produksi gas metan yang cukup tinggi sehingga efisiensi
penggunaanyapun relative rendah. Berdasarkan nisbah C2 / C3, ternyata Carica papaya tidak memberikan nisbah
tertingi melainkan hijauan Myiristica
fragrans yang tentu saja dikarenakan produksi asetatnya yang paling tinggi
dan propionat yang paling rendah. Untuk hijauan yang memiliki efisiensi
produksi gas terbaik adalah Morinda
citrifolia yang mana memberikan produksi C3 terbesar dan nisabah C2/C3
terkecil.
Table 9. rataan total gas, CH4, CH4/total gas dan
profile asam lemak rantai pendek ketika inkubasi pada beberapa hijauan
Sumber : Jayanegara et al. (2011) dalam
Ikhsan (2012).
Selain pakan, ternyata suhu
lingkungan juga mempengaruhi produksi VFA dimana menurut Sano et al. (1995) melaporkan bahwa pada suhu
thermoneutral (20±10C) dan suhu cold exposure (0±10C )
akan memberikan produksi yang berbeda nyata baik pada asetat (401 : 234 mM) maupun
mendekati nyata pada propionat (7,9 : 5,6). Hal ini dimungkinkan karena pada
ternak domba yang mengalami cekaman dingin akan berusaha untuk mempertahankan
suhu tubuh dan bila tidak mampu mempertahankan suhu tubuh dan kebutuhan dasar
(maintenance) yang dibutuhkan lainnya maka ternak tidak akan bertahan sehingga
produksi menurun yang terlihat dari adanya pertambahan bobot badan ternak 30
gram/hari pada suhu normal dan penyusutan 140 gram/ hari pada cekaman dingin.
2.6.
Panas
metabolism dari produksi VFA
Panas metabolisme dapat diartikan
sebagai panas yang diproduksi selama proses metabolism pakan. Panas metabolism
secara umum termasuk dalam heat increament (HI). Menurut wenk et al. (2001) dalam Ramdani (2008) menyatakan bahwa HI merupakan proporsi energi
metabolism yang hilang menjadi panas pada proses konversi energi dalam pakan
menjadi net energi yang dapat digunakan ternak. Menurut Conrad (1985); Blaxter
(1989); Stokka (1996); West (1999); dan Baldwin et al. (1980) dalam
Ramdani (2008) menyatakan bahwa umumnya, minyak memiliki HI yang lebih rendah
diikuti oleh karbohidrat dan protein; sedangkan karbohidrat jenis selulosa
mempunyai HI yang lebih besar dibanding soluble karbohidrat seperti gula dan
pati dimana hijauan umumnya memiliki HI yang lebih besar daripada konsentrat
jika dihubungkan dengan lamanya dicerna dan peningkatan kadar asam asetat dan asam
asetat itu sendiri memiliki efisiensi kecernaan yang rendah dibanding asam
propionat dan glukosa.
Table 10. perbedaan HI pada bahan
pakan ruminansia (Blaxter, 1989 dalam
Ramdani, 2008)
Diet/nutrient
|
Heat increament (J/J)
|
|
Dibawah maintenance
|
Diatas maintenance
|
|
Roughage
|
0,41
|
0,75
|
Grain
|
0,26
|
0,45
|
Asam asetat
|
0,15
|
0,67
|
Asam propionat
|
0,14
|
0,44
|
Asam n-butirat
|
0,09
|
0,38
|
Asam linoleic
|
-
|
0,38
|
Yasin
(2010) menyatakan bahwa ransum yang berserat banyak (sulolosa, lignin) yang
terdegradasi dalam rumen oleh mikroba selulolitik akan menghasilkan VFA dengan
proporsi asam asetat yang lebih tinggi dibandingkan pakan berserat rendah
(pati) yang lebih banyak memproduksi propionat. Menurut Dijkstra (1994) dalam Yasin (2010) menyatakan bahwa
fermentasi karbohidrat structural (dinding sel) akan menghasilkan asam asetat
yang lebih tinggi dibandingkan karbohidrat non structural (isi tanaman).
Laconi (1998) melaporkan tentang
penggunaan konsentrat dan pod kakao maupun hasil pengolahannya dimana pengolahan
pod kakao secara nyata mampu meningkatkan produksi asetat (table 11) yang
dimungkinkan karena adanya pengolahan pod kakao akan terlebih dahulu
mendegradasi lignin dalam pod kakao tersebut sehingga akan sedikit lebih mudah
bagi mikroba rumen untuk memfermentasi ransum tersebut. Penggunaan konsentrat
dengan penambahan biofermentasi pod kakao menggunakan P. chrysosporium memiliki produksi panas yang paling tinggi
dibanding pakan konsentrat dengan maupun tanpa penambahan pengolahan pod kakao
lainnya. Tingginya produksi panas tersebut mengindikasikan bahwa penggunaan P.
chrysosporium sebagai media biofermentasi pada pod kakao belum efisien
karena pengolahan pod kakao menggunakan amoniasi lebih memberikan efisiensi
yang terlihat dari produksi asetat dan propionat yang lebih tinggi tanpa
meningkatkan produksi panas secara nyata dibandingkan pakan lainnya.
Table
11. produksi asetat, propionat, butirat dan panas metabolis dari beberapa jenis
pakan hasil olahan pod kakao dengan pakan basal konsentrat.
Peubah
|
R I
|
R II
|
R III
|
R IV
|
R V
|
|
Asetat
(mM)
|
63,31b
|
73,86a
|
69,71a
|
69,51a
|
72,50a
|
|
Propionat
(mM)
|
22,51b
|
26,59a
|
22,98b
|
19,69b
|
29,24a
|
|
Butirat
(mM)
|
5,10
|
5,25
|
5,74
|
6,09
|
5,05
|
|
Metabolisme
Energi (MJ/Kg BB0,75/h)
|
0,64b
|
0,75ab
|
0,68b
|
0,64b
|
0,94a
|
|
Produksi
Panas
(MJ/Kg
BB0,75/h)
|
0,55b
|
0,57b
|
0,58b
|
0,56b
|
0,78a
|
|
Retensi
Energi
(MJ/Kg
BB0,75/h)
|
0,09b
|
0,18a
|
0,11b
|
0,08b
|
0,17a
|
|
Ket
:
|
||||||
R
I =
|
Konsentrat + pod kakao tanpa pengolahan
|
|||||
R
II =
|
Konsentrat + amoniasi pod kakao
|
|||||
R
III =
|
Konsentrat + silase pod kakao
|
|||||
R
IV =
|
Konsentrat + biofermentasi pod kakao (isi rumen) dan
|
|||||
R
V =
|
Konsentrat + biofermentasi pod kakao (P. chrysosporium)
|
|||||
Hasil yang tidak
jauh berbeda juga ditunjukkan oleh Sukarini (2000) yang melaporkan tentang penggunaan
campuran rumput gajah dan gamal sebagai pakan basal yang ditambahkan daun waru,
konsentrat, dan seng asetat (table 12). Dari hasil penelitian tersebut dapat
dilihat bahwa penggunaan konsentrat akan meningkatkan proporsi propionat dan tidak
memperngaruhi produksi panas. Hal ini dikarenakan konsentrat disusun dari
campuran bahan yang mudah dicerna sehingga proporsi propionatpun ikut
meningkat. Ransum yang diberi tambahan seng asetat akan memberikan retensi
energi tertinggi dibanding pakan lainnya.
Table 12. produksi asetat, propionat, butirat dan
energi serta panas yang terbuang dari beberapa jenis pakan perlakuan
Peubah
|
R I
|
R II
|
R III
|
R IV
|
|
Asetat
(mM)
|
42,72a
|
60,49b
|
55,95b
|
63,11b
|
|
Propionat
(mM)
|
9,38a
|
19,18b
|
21,43b
|
21,35b
|
|
Butirat
(mM)
|
4,31a
|
8,01b
|
8,58b
|
8,53b
|
|
C2/C3
|
4,55
|
3,15
|
2,61
|
2,96
|
|
Energi
(MJ/Kg BB0,75/h) :
|
|||||
Gross
Energi
|
1,445a
|
1,657c
|
1,524b
|
1,528b
|
|
Energi
Feses
|
0,527ab
|
0,640c
|
0,571bc
|
0,485a
|
|
Digestibel
Energi
|
0,918
|
1.017
|
0,953
|
1,043
|
|
Energi
Urin
|
0,034a
|
0,059b
|
0,054ab
|
0,054ab
|
|
Energi
Metan
|
0,113a
|
0,128b
|
0,118ab
|
0,118ab
|
|
Metabolisme
Energi
|
0,772
|
0,830
|
0,781
|
0,870
|
|
Produksi
Panas
|
0,716
|
0,771
|
0,690
|
0,741
|
|
Retensi
Energi
|
0,056a
|
0,060a
|
0,090ab
|
0,129b
|
|
Ket
:
|
|||||
R I =
|
Rumput gajah + gamal
|
||||
R
II =
|
R I + waru
|
||||
R
III =
|
75% R II +25 % konsentrat
|
||||
R
IV =
|
RIII +60 mg/kg seng asetat
|
||||
2.7.
Kelebihan
dan kelemahan dari masing-masing produk VFA
Pada umumnya masing-masing produk
VFA memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing pada ternak. Misalnya asetat
dan butirat memiliki kelebihan dalam hal dapat menghasilkan energi dari dinding
sel tanaman (selulosa maupun hemiselulosa) yang dapat digunakan oleh ternak
ruminansia dimana butirat dapat berfungsi untuk menormalkan pertumbuhan sel
(Tensiska, 2008) sedangkan asetat memegang peranan penting dalam hal proporsi
mencapai 70% dibandingkan produk VFA lainnya ketika pakan hijauan di fermentasi
dalam rumen. Namun asetat juga memiliki kekurangan yakni memproduksi panas (HI)
yang paling tinggi diantara ketiga produk VFA tersebut dan butirat memiliki
kelamahan dalam proporsi jumlah yang sedikit mencapai 5% dan bersama-sama
dengan asetat menghasilkan H2 dalam proses pembentukannya sehingga
dapat berpengaruh terhadap peningkatan produksi gas metan yang menggunakan H2
tersebut dalam proses pembuatannya. Propionat memiliki keunggulan dalam
menghasilkan panas yang lebih rendah dan mudah diserap serta memanfaatkan H2
yang ada sebagai hasil samping produksi asetat dan butirat namun hanya memiliki
proporsi yang sedikit karena pada umumnya pakan ternak ruminansia sebagian
besar berasal dari pakan hijauan bukan konsentrat.
Pada
umumnya produksi dan penggunaan H2 dapat digunakan sebagai indicator
menentukan produksi gas metan oleh ternak ruminansia. Menurut Orskov dan Ryle
(1990) dalam anonymous menggambarkan stoikiometri fermentasi karbohidrat
menjadi VFA dalam rumen yang terdiri dari 4 macam reaksi sebagai berikut :
1.
Heksosa menjadi acetat :
C6H12O6
+ 2H2O à 2CH3COOH + 2CO2 + 4H2
2. Heksosa
menjadi propionat :
C6H12O6
+ 2H2 à 2CH3CH2COOH + 4H2O
3. Heksosa
menjadi butirat :
C6H12O6
à CH3CH2CH2COOH + 2CO2 + 2H2
4. Produksi
metan :
4H2
+ CO2 à CH4
+ 2H2O
Menurut
Ikhsan (2012) dan Negara (2012) menyatakan bahwa produksi gas metana dapat
diprediksi menggunakan model persamaan stoikiometri komposisi
VFA dimana model stoikiometri Moss et
al. (2000) : CH4 = 0,45 C2 – 0,275 C3 + 0,40
C4 lebih akurat dari model
stoikiometri Hegarty dan Nolan (2007) : CH4 = 0,5 C2 +
0,5C4 – 0,25 C3 – 0,25 C5 yang semuanya bisa dijelaskan melalui
komposisi VFA.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Simpulan
Adapun simpulan
yang dapat diambil berdasarkan pembahasan diatas adalah bahwa
penggunaan bahan pakan basal dan hasil olahannya yang berbeda dalam ransum, serta penambahan suplemen mineral (sodium
bicarbonate, monensin, saline, nitrate) dengan kondisi lingkungan yang berbeda,
masing-masing akan memberikan pengaruh terhadap produksi VFA oleh ternak
ruminansia dimana pada umumnya pakan berserat tinggi akan difermentasi menjadi
asetat dengan proporsi yang lebih banyak serta menghasilkan panas metabolis dan
potensi produksi gas metan yang lebih tinggi dibandingkan pakan berserat rendah
yang lebih banyak menghasilkan propionat dengan panas metabolit yang lebih
rendah serta menurunkan potensi produksi gas metan.
3.2. Saran
- Disarankan
bagi semua kalangan yang bergerak di bidang peternakan untuk dapat menggunakan
pakan yang rendah kandungan serat kasar bagi konsumsi utama ternak ruminansia
maupun menggunakan pakan berserat kasar tinggi yang telah diolah lebih dahulu
dengan teknik pengolahan pakan silase maupun amoniasi serta suplementasi pakan
dengan kombinasi bahan pakan lainnya dalam ransum.
- Dibutuhkan lebih banyak data untuk menggali panas
metabolisme yang dihasilkan dari satu satuan molar asetat, propionat dan
butirat
- Dibutuhkan adanya diskusi yang cukup
intens bagi teman-teman mahasiswa dan dosen dalam menentukan kelebihan dan
kekurangan dari masing-masing produk VFA dalam rumen.
DAFTAR PUSTAKA
Arsadi Sopiah. 2006. Studi
Perbandingan Metabolisme Energi dan Kecernaan Serat pada Kambing dan Domba
Lokal. Skripsi. Fapet. IPB. Bogor.
Artati Widy. 2012. Karakteristik
Fermentasi dan Produksi Gas Total In Vitro dengan Penggunaan Kombinasi Minyak
Cengkeh, Ampas The dan Daun Kembang Sepatu. Skripsi. Fapet. IPB. Bogor.
Aviantri Annita. 2012. Manfaat
Vitamin E dan Selenium dalam Fermentasi In Vitro Ransum yang Disuplementasi
Asam Lemak Tidak Jenuh. Skripsi. Fapet. IPB. Bogor.
Despal, I.G. Permana, S.N.
Safarina dan A.J. Tatra. 2011. Penggunaan Berbagai Sumber Karbohidrat Terlarut
Air untuk Meningkatkan Kualitas Silase Daun Rami. Media Peternakan. Vol. 34 (1)
: 69-76.
Ikhsan. 2012. Estimasi Emisi Gas
Metan yang Dihasilkan dari Fermentasi Hijauan Tropis dalam Rumen In Vitro
Melalui Komposisi Asam Lemak Terbang. Skripsi. Fapet. IPB. Bogor.
Jayanegara A., H.P.S. Makkar dan
K. Becker. 2009. Emisi Metana dan Fermentasi Rumen in Vitro Ransum Hay yang
Mengandung Tanin Murni pada Konsentrasi Rendah. Media Peternakan. Vol. 32 (3) :
185-195.
Kurniawati Arisma. 2009. Evaluasi
Suplementasi Ekstrak Lerak Terhadap Populasi Protozoa, Bakteri dan
Karakteristik Fermentasi Rumen Sapi Peranakan Ongole Secara In Vitro. Skripsi.
Fapet. IPB. Bogor.
Laconi Erika Budiarti. 1998.
Peningkatan Mutu Pod Kakao Melalui Amoniasi dengan Urea dan Biofermentasi
dengan Phanerochaete chrysosporium serta Penjabarannya ke dalam Formulasi
Ransum Ruminansia. Disertasi. Program Pascasarjana. IPB. Bogor.
Linington M.J., J.H.F. Meyer, and
J.G. van der Walt. 1998. Ruminal VFA Production Rates, Whole Body Metabolite
Kinetics and Blood Hormone Concentrations in Sheep Fed High – and Low – Fibre
Diets. Journal of Animal Science. Vol. 28 (2) : 2054-2062.
Mahardika I.G., N.N. Suryani,
N.P. Mariani, I.W. Suarna, M.A.P. Duarsa dan I M. Mudita. 2012. Pemanfaatan
Limbah Lidah Buaya Sebagai Feed Supplement Pakan Sapi Bali Dalam Upaya
Mengurangi Emisi Mentan. Pastura. Vol. 1 (2) : 44-47.
Negara Habibah Puspa. 2012.
Prediksi Emisi Gas Metana Pada Ransum Mengandung Tanin dalam Sistem Rusitec
Melalui Komposisi Asam Lemak Terbang. Skripsi. Fapet. IPB. Bogor.
Pamungkas Dicky, Y.N. Anggraeni,
Kusmartono dan N.H. Krishna. 2008. Produksi Asam Lemak terbang dan Amonia Rumen
Sapi Bali pada Imbangan Daun Lamtoro dan Pakan Lengkap yang Berbeda. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. hal. 197-204.
Puastuti Wisri, D. Yulistiani dan
I-W. Mathius. 2012. Respon Fermentasi Rumen dan Retensi Nitrogen dari Domba
yang Diberi Protein Tahan Degradasi dalam Rumen. JITV. Vol. 17 (1) : 67-72.
Pujowati A., Sutrisno dan E.
Pangestu. 2012. Kecernaan dan Produksi VFA Pakan Komplit yang mengandung Tepung
Kedelai dengan Perlakuan Pemanasan Secara In Vitro. Animal Agriculture Journal.
Vol. 1 (2) : 151-156.
Ramdani Diky. 2008. Pengaruh Heat
Stress Terhadap Performa Sapi Potong. Prosiding Seminar Nasional Sapi Potong.
hal. 67-77.
Rogers J.A. and C.L. Davids.
1982. Rumen VFA Production and Nutrient Utilization in Steers Fed a Diet
Supplemented with Sodium Bicarbonate and Monensin. Journal of Dairy Science.
Vol. 65 (6) : 944-952.
Santoso B. dan B.Tj. Hariadi.
2008. Komposisi Kimia, Degradasi Nutrien dan Produksi Gas Metana in Vitro
Rumput Tropik yang Diawetkan dengan Metode Silase dan Hay. Media Peternakan.
Vol. 31 (2) : 128-137.
Sar C., B. Santoso, B. Mwenya, Y.
Gamo, T. Kobayashi, R. Morikawa, K. Kimura, H. Mizukoshi, and J. Takahshi.
2004. Manipulation of Rumen Methanogenesis by the Combination of Nitrate with
β1-4 Galacto-oligosaccharides or Nisin in Sheep. Journal Animal Feed Science
and Technology. Vol. 115 : 129-142.
Sari Dara Okta. 2012.
Fermentabilitas, Populasi Protozoa, Alantoin Urin, dan Neraca Nitrogen Domba
Lokal Calon Induk yang diberi Sumber Asam Lemak Tak Jenuh Berbeda. Skripsi.
Fapet. IPB. Bogor.
Setiani Etik. 2002. Evaluasi In
Vitro Kombinasi Ampas Tahu dengan Daun Kembang Sepatu Sebagai Pakan Domba. Skripsi.
Fapet. IPB. Bogor
Sukarini Ida Ayu Made. 2000.
Peningkatan Kinerja Laktasi Sapi Bali Beranak Pertama Melalui Perbaikan Mutu
Pakan. Disertasi. Program Pascasarjana. IPB. Bogor.
Tensiska. 2008. Serat Makanan.
FTIP. Universitas Padjajaran.
Thalib Amlius. 2004. Uji
Efektivitas Saponin Buah Sapindus rarak Sebagai Inhibitor Metanogenesis Secara
in Vitro pada Sistem Pencernaan Rumen. JITV. Vol. 9 (3) : 164-171.
Uhi H.T., A. Parakkasi dan B.
Haryanto. 2006. Pengaruh Suplemen Katalitik Terhadap Karakteristik dan Populasi
Mikroba Rumen Domba. Media Peternakan. Vol. 29 (1) : 20-26.
Widodo, F. Wahyono, dan Sutrisno.
2012. Kecernaan Bahan Kering, Kecernaan Bahan Organik, Produksi VFA dan NH3
Pakan Komplit dengan Level Jerami Padi Berbeda Secara In Vitro. Indonesian
Jurnal of Food Technology. Vol. 1 (1) : 1-15
Wijayanti E., F. Wahyono dan
Surono. 2012. Kecernaan Nutrien dan Fermentabilitas Pakan Komplit Dengan Level
Ampas Tebu yang Berbeda Secara In Vitro. Animal Agriculture Journal. Vol 1 (1)
: 167-179.
Yasin Ismail. 2010. Pencernaan
Serat Kasar Pada Ternak Unggas. Jurnal Ilmiah Inkoma. Vol. 21 (3) : 125-135.
Ini adalah Bpk. Benjamin yang menghubungi rincian Email, lfdsloans@outlook.com. / lfdsloans@lemeridianfds.com Atau Whatsapp 1 989-394-3740 yang membantu saya dengan pinjaman 90.000,00 Euro untuk memulai bisnis saya dan saya sangat bersyukur, sangat sulit bagi saya di sini untuk mencoba membuat hal-hal sebagai ibu tunggal tidak mudah dengan saya tetapi dengan bantuan Le_Meridian memberikan senyum di wajah saya ketika saya melihat bisnis saya tumbuh lebih kuat dan berkembang juga. Saya tahu Anda mungkin terkejut mengapa saya meletakkan hal-hal seperti ini di sini tetapi saya benar-benar harus mengucapkan terima kasih jadi siapa pun yang mencari bantuan keuangan atau melalui kesulitan dengan bisnis yang ada atau ingin memulai proyek bisnis dapat melihat hal ini dan memiliki harapan untuk keluar dari kesulitan..Terima Kasih.
BalasHapus