Senin, 26 Agustus 2013

Pengembangan Cluster Bibit Sapi Potong Di Kawasan TTU Sebagai Sentra Produksi Bibit Nasional Bersertifikat

AdiDharma17

download pdf below

PAPER
MANAJEMEN SUMBER DAYA PETERNAKAN

“ Pengembangan Cluster Bibit Sapi Potong Di Kawasan Timor Tengah Utara Dalam Mendukung Pengembangan Nusa Tenggara Timur  Sebagai Sentra Produksi Bibit Nasional Bersertifikat”



 kab. Timor Tengah Utara


by

Yelly M. Mulik
Made Sudarma
       

  
Program Studi Pasca Sarjana
Program Studi Ilmu Peternakan
Universitas Nusa Cendana
Kupang, 2012






Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas tuntunan dan penyertaan-Nya sehinga penulis dapat menyelesaikan makalah ini pada waktunya.
Makalah manajemen sumber daya peternakan adalah merupakan makalah yang dibuat sebgaai bagian dari tugas terstruktur mata kuliah manajemen sumber daya peternakan.  Topik penulisan dalam ini adalah Pengembangan Cluster Bibit Sapi Potong Di Kawasan Timor Tengah Utara Dalam Mendukung Pengembangan Nusa Tenggara Timur Sebagai Sentra Produksi Bibit Nasional Bersertifikat. Hal ini dikarenakan belum adanya sentra pembibitan ternak yang menghasilkan bibit ternak untuk memenuhi kebutuhan peternak akan adanya bibit ternak yang berkualitas.
Penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih banyak keterbatasannya maka penulis sangat mengharapkan koreksi dari pembaca demi perbaikan makalah ini ke depan.
Terima kasih

Kupang,        Desember 2012


               Penulis










Daftar Isi

Hal
Kata pengantar ................................................................................................................
ii
Daftar isi .........................................................................................................................
iii
Daftar Tabel ....................................................................................................................
iv
Daftar Diagram ...............................................................................................................
vi
Bab I. Pendahuluan .........................................................................................................
1
1.1. Latar Belakang .................................................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................
1
1.3.Metode Penulisan ..............................................................................................
2
Bab II. Pembahasan ........................................................................................................
3
2.1. Potensi Wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara............................................
4
2.1.1. Potensi Peternakan .................................................................................
5
2.1.2. Potensi Padang Penggembalaan .............................................................
7
2.1.3. Jumlah Pemotongan dan Perdagangan ternak.........................................
7
2.1.4. Pengelolaan dan Penyebaran Ternak ......................................................
8
2.2. Iklim Wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara...............................................
10
2.3. Pola Pengembangan Bibit Sapi Potong di Kabupaten Timor Tengah Utara..................................................................................................................
10
2.4. Strategi Pengembangan Bibit Sapi Potong di Kabupaten Timor Tengah Utara .................................................................................................................
11
2.4.1.Strategi pengembangan bibit sapi potong melalui kawasan sentra peternakan terpadu (cluster) ...................................................................
11
2.4.2. Strategi Penyediaan Hijauan pakan dan pengolahan pakan di kawasan pembibitan sapi potong ...........................................................................
12
2.4.3. Strategi Penyediaan Sarana dan Prasarana dalam kawasan pembibitan ternak.......................................................................................................
13
2.4.4. Strategi penyediaan bibit ternak yang berkualitas...................................
13
2.4.5.  Manajemen reproduksi ...........................................................................
14
2.4.6. Strategi pengembangan sumber daya manusia........................................
15
2.4.7.  Strategi pengembangan dukungan kelembagaan ....................................
16
Bab III. Penutup...............................................................................................................
17
3.1. Simpulan ...........................................................................................................
17
3.2. Saran .................................................................................................................
17
Daftar pustaka .................................................................................................................
18

 







Daftar Tabel

Hal
Tabel 1. Jumlah populasi ternak menurut jenis ternak di kabupaten TTU Tahun 2007-2009 ..................................................................................................................

5
Tabel 2. Jumlah rumah tangga yang memelihara ternak di kabupaten TTU pada tahun 2007, 2008, 2009..............................................................................................

6
Tabel 3. Banyaknya Ternak yang Dipotong di RPH dan Non RPH di Kabupaten TTU Tahun 2009 (ekor).............................................................................................

7
Tabel 4. Banyaknya Ternak yang dikirim/diperdagangkan ke Luar Daerah Menurut Jenis Ternak di Kabupaten TTU Tahun 2007-2009 (ekor)...............................

8
Tabel 5. Populasi Ternak Besar menurut Kecamatan di Kabupaten TTU  Tahun 2008-2009 ..................................................................................................................

9



















Daftar Diagram

Hal
Diagram 1. Model agribisnis sapi potong .......................................................................
12
Diagram 2. Desain pengelolaan padang penggembalaan dan pengolahan pakan ..........
13















BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Pendahuluan
Pembangunan sub sektor peternakan pada dasarnya diarahkan untuk meningkatkan populasi maupun produksi ternak dan hasil ikutannya, yang pada gilirannya diharapkan dapat mendongkrak pendapatan petani ternak, mendorong diversifikasi pangan dan perbaikan mutu gizi masyarakat serta mengembangkan pasar eksport.
Bagi petani ternak di pedesaan, peningkatan populasi dan produksi ternak akan merupakan aset yang berharga untuk menopang kehidupan rumah tangga, terutama untuk membiayai sejumlah kebutuhan di luar pangan seperti sekolah, kesehatan serta kebutuhan sekunder dan tersier lainnya. Bahkan pada masa krisis pangan akibat gagal panen, komoditas ternak akan tampil sebagai faktor pengaman yang memiliki nilai jual tinggi untuk pengadaan bahan pangan dari luar daerah. Salah satu komoditi peternakan yang memegang peranan penting adalah sapi potong yang merupakan komodiandalan setiap wilayah di Indonesia.
Dalam meningkatkan populasi dan produksi sapi potong maka upaya utama yang harus diwujudkan adalah melalui program pembibitan sehingga bibit ternak yang tersedia telah terseleksi dengan baik, memenuhi persyaratan mutu genetik.
Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah merupakan salah satu propinsi di Indonesia pernah mendapat julukan sebagai gudang ternak. Namun kini, kejayaan tersebut telah sirna. Hal ini sebagai akibat dari tingginya angka penjualan ternak ke luar pulau dan menurunnya produktivitas ternak. Oleh kaarena itu, pemerintah propinsi NTT memiliki tekad untuk mengembalikan NTT sebagai gudang ternak dengan peningkatan populasi ternak, komoditi utamanya adalah sapi potong.
Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) sebagai salah satu sentra pengembangan ternak khususnya Sapi Bali  di Pulau Timor, memiliki potensi ternak yang sangat potensial untuk dikembangkan dalam mendukung peningkatan/penguatan ekonomi daerah maupun masyarakat.

1.2.Rumusan Masalah
Peningkatan populasi merupakan program yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah propinsi NTT. Kabupaten TTU sebagai salah satu sentra pengembangan ternak khususnya Sapi Bali Timor memiliki potensi ternak yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai pusat pengembangan bibit sapi potong.
      Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang dapat dibuat adalah:
1.      Apakah pengembangan bibit sapi potong  potensial untuk di laksanakan di kabupaten TTU dalam mendukung NTT sebagai sentra produksi bibit nasional bersertifikat?
2.      Pola apa yang perlu diterapkan dalam pengembangan bibit sapi potong di kabupaten TTU?

1.3.Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah dengan menggunakan studi literatur. Baik itu publikasi dalam bentuk buku, laporan dinas, jurnal nasional, jurnal internasional maupun melalui media internet.

















BAB II
PEMBAHASAN

Tekad untuk mengembalikan propinsi NTT sebagai gudang ternak saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah baik yang di tingkat propinsi maupun yang di tingkat kabupaten. Namun banyak tantangan yang dihadapi oleh pemerintah. Beberapa tantangan yang dimaksud misalnya terjadinya peningkatan pemotongan betina produktif yang berakibat pada menurunnya populasi ternak. Penyakit. Sistem pemeliharaarn yang bersifat tradisional.
Untuk mengantisispasi hal ini, langkah awal yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah dengan melakukan pengembangan bibit sapi pototng sehingga didapatkan bibit yang berkualitas dengan mutu yang baik, yang memenuhi kriteria sebagai bibit sehingga hasil yang nantinya akan diperoleh pun maksimal. Pengembangan bibit sapi potong dilakukan sebagai upaya mengembangkan kawasan sumber bibit di perdesaan atau terbentuknya Village Breeding Center (VBC) yang melibatkan kelompok peternak. 
Pengembangan bibit sapi potong hanya dapat dilakukan/ terlaksana dengan lancar bila  di daerah yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai sentra pengembangan bibit ternak. Adapun syarat/ kriteria daerah yang dapat dijadikan sebagai sentra produksi bibit ternak sapi potong adalah merupakan lokasi yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai wilayah sumber bibit yang dinyatakan oleh pemerintah daerah, tidak bertentangan dengan rencana umum tata ruang (RUTR) dan rencana detail tata ruang daerah (RDTRD), ketersediaan sumber pakan lokal dan air, bukan merupakan daerah endemis penyakit menular, tersedianya sarana dan prasarana serta petugas teknis peternakan dan kesehatan hewan, lokasi mudah dijangkau bagi pembinaan dan pemasaran hasil.
Selain lokasi, keberhasilan pengembangan pembibitan sapi potong juga ditentukan oleh ketepatan penentuan bangsa sapi. Bangsa sapi yang dikembangkan hendaknya bangsa sapi lokal yang telah beradaptasi dengan baik pada kondisi lingkungan yang ada untuk menambah populasi  atau sapi bali untuk penyelamatan betina produktif.
Dari syarat tersebut di atas maka Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) adalah merupakan salah satu kabupaten di Propinsi NTT yang dapat dijadikan sebagai sentra pengembangan bibit sapi potong di propinsi NTT.



2.1  Potensi Wilayah Kabupaten TTU
Timor Tengah Utara (TTU) merupakan salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste. Titik koordinat TTU terletak antara 9o02’48”– 9o37’36” Lintang Selatan  dan 124o04’02”- 124°46’00” Bujur TimurBatas wilayah administrasi Kabupaten TTU adalah:
-       Sebelah Utara dengan Timor Leste (Oecusi) dan Selat Ombai
-       Sebelah Selatan dengan Kabupaten Timor Tengah Selatan dan
-       Sebelah Barat dengan Kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan
-       Sebelah Timur dengan Kabupaten Belu
Luas wilayah Kabupaten TTU adalah 2.669,7 km2 atau hanya sekitar 5,6 persen dari luas daratan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sedangkan sebagian wilayah TTU yang berbatasan dengan laut sawu atau lazim dikenal dengan sebutan wilayah pantura memiliki luas lautan + 950 km2 dengan panjang garis pantai 50 km dengan jumlah penduduk 214.842  jiwa. Kepadatan penduduk 80 jiwa/km2 (BPS NTT, 2010).
Dilihat dari aspek rona fisik tanah, wilayah dengan kemiringan kurang dari 40 persen meliputi areal seluas 2 065,19 km2 atau 77,4 persen dari luas wilayah TTU; sedangkan sisanya 604,51 km2 atau 22,6 persen mempunyai kemiringan lebih dari 40 persen. Wilayah dengan kemiringan kurang dari 40 persen sebagian besar berada pada ketinggian kurang dari 500 m dari permukaan laut yakni seluas 1676,51 km2 atau 62,8 persen.
Data dari Lembaga Penelitian Tanah (LPT) Bogor, memperlihatkan bahwa di Kabupaten TTU dapat ditemukan tiga jenis tanah yaitu litosal, tanah kompleks dan grumosal. Tanah litosal meliputi areal seluas 1 666,96 km2 atau 62,4 persen; tanah kompleks seluas 479,48 km2 atau 18,0 persen dan tanah grumosal 522,26 km2 atau 19,6 persen dari luas wilayah TTU. Sebagian besar tanah di wilayah ini (53,2%) memiliki kedalaman efektif tanah >90 cm.  Kestabilan struktur tanahnya juga tergolong lemah karena 39,4% wilayah ini memiliki daya tahan tanah yang rawan erosi. 
Dipandang dari aspek topografis, sebanyak 177,60 km2 (6,63 %) memiliki ketinggian kurang dari 100 m dari atas permukaan laut; sementara 1.499,45 km2 (56,17 %) berketinggian 100-500 m dan sisanya 993,19 km2 (37,20 %) adalah daerah dengan ketinggian diatas 500 m.
Dari 174 desa/kelurahan yang ada, hanya 9 desa diantaranya yang secara geografis letak wilayahnya dikategorikan sebagai desa/daerah pantai yakni desa Oepuah (Biboki Selatan), Humusu C dan Oesoko (Insana Utara) serta Nonotbatan, Maukabatan, Tuamese, Oemanu, Motadik, dan Ponu (Biboki Anleu), sedangkan sisa 165 desa lainnya yang tersebar di 24 wilayah kecamatan yang ada merupakan desa/daerah bukan pantai.

2.1.1.      Potensi Peternakan
Keberadaan sektor pertanian di kabupaten TTU begitu penting karena tidak saja menjadi sektor potensial dimana 77,53 % total rumah tangga atau 82,87% total angkatan kerja mendapatkan sumber penghasilan, melainkan juga menjadi salah satu sektor andalan dalam komposisi pendapatan asli daerah. 
Dilihat dari struktur penyerapan tenaga kerja, terlihat bahwa 66,98% penduduk Timor Tengah Utara bekerja pada sektor pertanian (peternakan). Dari sisi pendapatan wilayah, sektor pertanian (peternakan).  menyumbangkan sekitar 48% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten TTU. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan leading sector bagi Kabupaten Timor Tengah Utara. Dengan struktur ekonomi seperti ini, kebijakan pemerintah pun harus diarahkan untuk mendukug sector ini karena langsung menyentuh kehidupan mayoritas penduduk TTU. Menyadari begitu strategisnya peran sektor pertanian dalam struktur perekonomian daerah maka pemerintah daerah secara konsisten terus berupaya meningkatkan kinerja sektor primer tersebut dengan berbagai kebijakan dan program, baik yang bersifat reguler maupun crass program. Populasi ternak di Kabupaten TTU  tahun 2007-2009 disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Jumlah populasi ternak menurut jenis ternak di kabupaten TTU Tahun 2007-2009
Jenis Ternak
Tahun
Perubahan (%)
2007
2008
2009
Sapi Perah
-
-
-

Sapi
84731
86 239
86 319
0,09
Kerbau
528
635
638
0,47
Kuda
1 220
1513 1
840
21,61
Babi
84 789
86 753
87 834
1,25
Kambing/Domba
39 991
39 873
38 898
0,06
Ayam Buras
117 932
203 743
205 253
0,74
Ayam Ras/Petelur
4 123 4
719
-
-
Itik
3 963 3
123 2
284
-26,86
Sumber: Dinas Peternakan Kabupaten TTU, 2010

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa peningkatan ternak dari tahun ke tahun terus meningkat. Untuk sapi potong peningkatannya sebesar 0,09%. Angka persentase kenaikan ternak sapi cenderung kecil dan lamban. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kematian ternak sapi yang disebabkan oleh sejenis penyakit/virus seperti penyakit Brucellosis dll.  Di samping itu, karena banyak yang diekspor baik melalui pelabuhan laut dan darat serta banyaknya pemotongan betina produktif di RPH dan luar RPH untuk konsumsi masyarakat Kabupaten TTU.
Fenomena perkembangan beberapa jenis ternak cenderung semakin menurun (sulit diprediksikan) merupakan hal yang kurang menggembirakan karena selama ini posisi ternak bagi sebagian besar petani di TTU sangat diandalkan sebagai katup pengaman terhadap krisis ekonomi keluarga. Apalagi dalam kondisi kehidupan yang serba sulit sekarang ini, posisi ternak, khususnya ternak kecil dan unggas yang terbilang mudah berkembang dan mudah dijual menjadi pilihan utama untuk diversifikasi usaha pertanian. Dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan memaksa sebagian besar rumah tangga peternak untuk menjual ternaknya guna dapat memenuhi sejumlah kebutuhan mereka sehari-hari. Sementara itu, di sisi lain pola pemeliharaan ternak masih bersifat tradisional sehingga apabila kondisi ini dibiarkan terus-menerus maka lambat laun populasi ternak akan semakin menipis.
Jumlah rumah tangga usaha ternak menurut jenis ternak tahun 2009 tidak mengalami perubahan dari tahun sebelumnya yaitu tahun 2008 sedangkan kontribusi terhadap pembentukan PDRB kabupaten TTU tahun 2010 adalah sebesar 14,30 persen atau terbesar kedua setelah tanaman pangan, namun mengalami penurunan dari tahun 2008 sebesar 2,79 . selengkapnya jumlah rumah tangga usaha ternak dari tahun 2007 – 2009 dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Jumlah rumah tangga yang memelihara ternak di kabupaten TTU pada tahun 2007, 2008, 2009
Jenis Ternak
Tahun
2007
2008
2009
Sapi Perah
-
-
-
Sapi
17 677
43095
43095
Kerbau
241
421
421
Kuda
632
934
934
Babi
17653
42653
42653
Kambing
7287
12287
12287
Domba
87
12287
-
Ayam Buras
22244
46244
46244
Ayam Ras/Petelur
10
10
-
Itik
766
766
766
Sumber: Dinas Peternakan Kabupaten TTU, 2010

Jumlah rumah tangga yang mengusahakan ternak sapi potong di kabupaten TTU pada tahun 2008 dan tahun 2009 sebanyak 43095 rumah tangga. Tahun sebelumnya (2007) hanya 17677. Hal ini berarti dari tahun ke tahun rumah tangga yang mengusahakan ternak tidak mengalami perubahan. Tetapi bagaimana pun peternak selalu menempatkan posisi ternak sebagai pengaman ekonomi keluarga sehingga bila sewaktu-waktu dibutuhkan ternak tersebut dapat dijual.

2.1.2.      Padang Penggembalaan
Luas padang penggembalaan di kabupaten TTU adalah seluas  86.339 ha atau 32,34% dari luas wilayah. Artinya bahwa hampir setengah bagian dari wilayah kabupaten TTU adalah merupakan padang penggembalaan. Hal ini mengindikasikan bahwa pengembangan usaha peternakan sangat potensial untuk dikembangkan di daerah ini.
Total produksi hijanuan yang tersebar di areal padang penggembalaan menggambarkan besarnya jumlah ternak yang dapat digembalakan di areal tersebut. Semakin tinggi produksi hijauan, akan diikuti pula oleh semakin  tinggi jumlah ternak yang diintrodusir ke dalam areal tersebut dan semakin tinggi pula produktifitasnya.
Hasil pengamatan di lapangan terlihat bahwa hijauan yang tersebar dalam areal padang penggembalaan didominasi oleh rumput Heteropogon concortus dan ilalang. Jika dikaitkan dengan kualitas yang dimiliki, maka kemampuan kedua spesies tersebut dalam meningkatkan nilai biologis ternak sangat rendah. Meskipun demikian, ada beberapa sumber daya pakan yang sering digunakan  petani adalah hijauan lamtoro, turi, gamal, alang-alang, king grass serta limbah pertanian seperti  batang ubi kayu dan batang jagung.

2.1.3.      Pemotongan & Perdagangan Ternak
Pemotongan dan perdagangan ternak di kabupaten TTU dalam tahun 2009 disajikan dalam tabel 3 dan tabel 4.  Dari tabel 3 terlihat bahwa jumlah pemotongan ternak sapi dan babi di kabupaten TTU adalah sama. Hal ini mengindikasikan bahwa permintaan akan konsumsi daging khususnya daging sapi sangat tinggi sehingga diperlukan adanya upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut tanpa harus mengurangi jumlah populasi ternak sapi yang ada.
Tabel 3. Banyaknya Ternak yang Dipotong di RPH dan Non RPH di Kabupaten TTU Tahun 2009 (ekor)
Jenis ternak
RPH
Non RPH
Jumlah
Sapi
737
700
1437
Kerbau
-
-
-
Kuda
-
-
-
Babi
-
1587
1587
Kambing/Domba
-
461
461
Sumber:Dinas Peternakan Kabupaten TTU (2010)

Tabel 4. Banyaknya Ternak yang dikirim/diperdagangkan ke Luar Daerah Menurut Jenis Ternak di Kabupaten TTU Tahun 2007-2009 (ekor)
Jenis Ternak
Melalui pelabuhan laut Wini
Melalui Transportasi Darat
2007
2008
2009
2007
2008
2009
Sapi
*
*
-
12 984
18 884
14100
Kerbau
*
*
-
227
17
17
Kuda
*
*
-
241
8
10
Kambing
*
*
-
1081
732
732
Babi
*
*
-
1827
1883
1886
Ayam buras
*
*
-
11448
9261
16483
Keterangan : **/ Data tidak tersedia
Sumber: Dinas Peternakan Kabupaten TTU (2010)

Dari tabel di atas, Menunjukan bahwa jumlah ternak yang dijual ke luar daerah khususnya ternak sapi adalah merupakan jumlah yang terbesar. Selanjutnya diurutan kedua diikuti ayam buras, babi, kambing, kuda dan kerbau.
Data-data yang telah ditampilkan menunjukan bahwa ternak sapi potong menempati urutan utama dalam kehidupan peternak. Baik itu dalam jumlah populasi maupun jumlah yang dipotong untuk dikonsumsi dan jumlah yang diperdagangkan antar pulau. Ternak yang di antar pulaukan dari kabupaten TTU umumnya dikirim ke DKI, Jabar, Sulsel. Ini adalah merupakan potensi yang harus terus digalakkan demi peningkatan kesejahteraan petani.

2.1.4.      Pengelolaan Dan Penyebaran Ternak
Seiring dengan meningkatnya permintaan akan daging, telur dan susu, makapembangunan di sub sektor peternakan terus meningkat, namun pengelolaan ternak olehrumah tangga maupun perusahaan yang masih bersifat tradisional. Kendala usaha yangdihadapi adalah rendahnya SDM dan terbatasnya dana yang tersedia. Untuk itu programyang ditargetkan pemerintah saat ini adalah mengembangkan alih teknologi diantaranyainseminasi buatan (kawin suntik) pada ternak sapi yang disertai dengan peningkatankualitas SDM.
Populasi dan penyebaran ternak di Kabupaten TTU erat hubungannya dengan tersedianya lahan untuk penggembalaan, kegiatan pertanian dan penyebaran penduduk. Selain itu populasi dan penyebaran ternak mempunyai hubungan dengan iklim dan daya adaptasi dari jenis ternak yang bersangkutan.
Wilayah-wilayah yang iklim dan tanahnya tidak/kurang subur untuk usaha pertanian (biasanya padang rumput) sangat baik untuk usaha peternakan terutama untuk pertumbuhan dan produksi ternak, karena tiap jenis ternak menghendaki iklim dan keadaan tempat tertentu seperti sapi, kuda dan kambing menghendaki daerah yang sedikit curah hujannya, sebaliknya kerbau dan itik menghendaki daerah yang banyak curah hujannya. Namun ada beberapa jenis ternak yang mampu beradaptasi pada hampir semua iklim, maka penyebarannyapun akan lebih luas seperti babi dan ayam kampung karena mudah dipelihara sehingga populasi cepat meningkat. Tetapi ada kendala dimana akhir-akhir ini adanya penyakit yang cepat menyebar dan masih sulit diatasi di Kabupaten TTU seperti penyakit Brucellosis dan penyakit lainnya yang menyerang unggas dan babi Selain itu ada pula kesan bahwa kecamatan-kecamatan yang wilayah geografisnyalebih luas, populasi ternak besar relatif lebih banyak dibandingkan dengan kecamatanyang kurang luas. Hal ini diduga ada kaitannya dengan masalah daya tampung ruanguntuk padang pengembalaan dan lahan penyediaan pakan ternak.
Untuk mengetahui datamengenai gambaran seberapa besar ragam penyebaran populasi ternak dan unggas padamasing-masing kecamatan di Kabupaten TTU dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini :
Tabel 5. Populasi Ternak Besar menurut Kecamatan di Kabupaten TTU  Tahun 2008-2009
Kecamatan
Sapi
Kuda
Kerbau
Sapi
Kuda
Kerbau
2008
2009
Mioamffo Barat
9 176
156
387
4210
98
292
Miomaffo Tengah
-
-
-
1420
8
8
Musi
-
-
-
1433
-
14
Mutis
-
-
-
1992
18
54
Miomaffo Timur
18175
56
119
2442
2
61
Noemuti
. 4 948
32
80
4462
89
82
Bikomi Selatan
-
-
-
5131
12
21
Bikomi Tengah
-
-
-
1687
6
2
Bikomi Nilulat
-
-
-
3652
15
12
Bikomi Utara
-
-
-
3000

23
Naibenu
-
-
-
1991
7
30
Noemuti Timur
-
-
-
1696 -

11
Kota Kefamenanu
5 683
42
61
5101
13
40
Insana
11 028
34
184
5132
6
82
Insana Utara
7 328
27
173
3789
13
181
Insana Barat
-
-
-
2326
-
72
Insana Tengah
-
-
-
3444
-
64
Insana Fafinesu
-
-
-
3009
27
71
Biboki Selatan
11 554
99
367
4335
11
188
Biboki Tanpah
-
-
-
2129
71
58
Biboki Moenleu
-
-
-
5485
-
174
Biboki Utara
11 118
23
96
6567
242
183
Biboki Anleu
7 229
166
46
7132
-
59
Biboki feotleu
-
-
-
3754
-
58
Kabupaten TTU
89 239
635
1513
86319
638
1840
Sumber : Dinas Peternakan Kabupaten TTU (2010)



2.2.Iklim Wilayah Kabupaten TTU
Berdasarkan klasifikasi iklim oleh Schmidt dan Ferguson, Kabupaten TTU termasuk wilayah tipe D dengan koefisien 2 sebesar 71,4 persen. Berdasarkan klasifikasi Koppen, tipe iklim di Kabupaten TTU tergolong tipe A atau termasuk iklim equator dengan temperatur bulan terpanas lebih dari 220° C. Seperti halnya pada tempat lain di Provinsi Nusa Tenggara Timur, di Kabupaten TTU dikenal adanya dua musim yakni musim kemarau dan musim hujan.
             Pada bulan Desember-April biasanya curah hujan relatif cukup memadai, sedangkan bulan Mei-Nopember sangat jarang terjadi hujan, dan kalaupun ada biasanya curah hujan di bawah 50 mm. Pada tahun 2006, berdasarkan hasil rekaman stasiun pencatat yang masih berfungsi, rata-rata jumlah hari hujan di Kabupaten TTU sebanyak 50 hari dengan curah hujan 1 276 mm. Sedangkan Pada tahun 2007, rata-rata jumlah hari hujan di Kabupaten TTU sebanyak 58 hari dengan curah hujan sebesar 11 876 mm.

2.3. Pola Pengembangan Bibit Sapi Potong di Kabupaten TTU
Jenis-jenis ternak yang saat ini banyak dipelihara atau diusahakan di Kabupaten Timor Tengah Utara yakni sapi lokal, kerbau, kambing, babi dan ayam buras. Khusus untuk ternak kuda belakangan ini populasinya semakin menurun karena fungsinya yang dulu sebagai alat transportasi, kini telah diganti dengan alat transportasi modern. Yang tersisa adalah pemeliharaan ternak kuda hanya sebatas pada hobi bagi mereka yang menggemari binatang pacuan tersebut.
Sapi potong yang merupakan komoditas ternak andalan Kabupaten TTU dalam hal ini sapi Bali, belakangan ini populasinya cenderung menurun sebagai akibat perdagangan bibit sapi unggul yang kurang terkontrol baik, pemotongan betina produktif yang tinggi, serangan penyakit brucellosis dan pola pemeliharaan ternak yang terkesan masih berjalan ditempat (tradisional). Fenomena ini menjadi tantangan berat pemerintah daerah dalam obsesinya untuk memperkukuh predikat daerah ini sebagai "Gudang Ternak" di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Pola pengembangan peternakan di kabupaten TTU pada umumnya masih dilakukan secara tradisional dan belum adanya sentuhan teknologi. Peternak masih melakukan seleksi untuk ternak bibitnya sendiri sehingga kemungkinan untuk terjadinya inbreeding dalam populasi akan tinggi sekali yang akibatnya akan menurunkan produktivitas ternak itu sendiri. Selain itu, belum adanya kawasan khusus yang dikhususkan sebagai wilayah terpadu pengembangan bibit sapi potong di kabupaten TTU. Hal ini perlu menjadi perhatian semua pihak demi pengembangan peternakan di kabupaten TTU dan guna menjawab tekad pemerintah Provinsi NTT untuk menjadikan NTT sebagai propinsi Ternak.

2.4.Strategi Pengembangan Bibit Sapi Potong di Kabupaten TTU
Potensi yang dimiliki oleh kabupaten TTU perlu dikaji dan dirumuskan secara seksama sehingga potensi yang ada bisa terekspose demi peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Perumusan strategi hendaknya sesuai dengan potensi wilayah . untuk wilayah kabupaten TTU dalam hal pengembangan bibit sapi potong,ada beberapa strategi yang dapat diterapkan, yaitu sebagai berikut:

2.4.1.      Strategi pengembangan bibit sapi potong melalui kawasan sentra peternakan terpadu (cluster)
Usaha pembibitan ternak adalah usaha yang dalam sistem produksi tergolong ke dalam subsistem hulu. Dalam kebijakan pengembangan usaha pembibitan ternak sapi potongdiarahkan pada suatu kawasan khusus maupun terintegrasi dengan komoditi lainnya serta terkonsentrasi di suatu wilayah untuk mempermudah pembinaan, bimbingan dan pengawasan dalam usaha pembibiitan sapi potong yang baik dengan penerapan sistem reproduksi secara inseminasi buatan (IB) dan transfer embrio. Pusat pembibitan ternak ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan akan ternak bibit ke seluruh wilayah kabupaten TTU sehingga peternak tidak lagi menggunakan bibit yang inbreeding.
Dengan adanya kawasan peternakan terpadu, diharapkan potensi  dan peluang yang ada dapat dimanfaatkan demi pengembangan pembibitan sapi potong di kabupaten TTU. Pengembangan dan peningkatan kawasan peternakan terpadu dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan sehingga mengarah kepada wilayah yang berkembang, mandiri dan memiliki nilai ekonomis.

2.4.2.      Strategi Penyediaan Hijauan pakan dan pengolahan pakan di kawasan pembibitan sapi potong
Penyediaan pakan hijauan di kawasan pembibitan sapi potong sangat dibutuhkan demi mendukung penyediaan hijauan yang dapat dilakukan dengan penanaman rumput unggul dan introduksi  hijauan legum.
Untuk pengolahan pakan, inovasi teknologi sederhana seperti hay, silase dan amoniasi sangat diperlukan dalam penyediaan pakan dalam kawasan pembibitan sapi potong. Selain itu, penyediaan hijauan pun dapat dilakukan melalui sistem integrasi tanaman dan ternak. Hal ini selain bertujuan untuk menyediakan pakan, juga dimaksudkan untuk memperoleh hasil usaha yang optimal, meningkatkan kesuburan tanah. Integrasi tanaman dan ternak ini akan saling melengkapi, mendukung dan menguntungkan sehingga meningkatkan produksi baik ternak maupun tanaman itu sendiri.
Berikut desain agribisnis sapi potong yang di dalamnya terdapat keterlibatan dari sektor breeding dan pakan.

Breeding

PABRIK PAKAN
Pastura, HMT, pengolahan  limbah pertanian

RPH

Industri Pengolahan Hasil Ternak



P

A

S

A

R




Fattening
Jantan, betina, afkir
 











            Diagram 1. Model agribisnis sapi potong
                Dari diagram 1 dapat kita lihat bahwa usaha pembibitan ternak tidak akan terlepas dari yang namanya pakan. Oleh karena itu, penyediaan pakan dalam suatu usaha pembibitan adalah penting.

Paddock

Paddock

Paddock

Produksi Hijauan dan Konsentrat

Lamtoro

Jagung, dll

Rumput Unggul

Hay
Silase
P3
Pelet
 






Pengolahan Pakan

Suplemen
           

Koperasi

Sapi bakalan
Sapi penggemukan
Pakan konsentrat
Daging (beragam kualitas)



PASAR

Multinutrient Block
 










            Diagram 2. Desain pengelolaan padang penggembalaan dan pengolahan pakan (Jelantik, I.G.N.2007)

2.4.3.      Strategi Penyediaan Sarana dan Prasaranadalam kawasan pembibitan ternak.
Sarana dan prasarana dalam kawasan pembibitan ternak meliputi puskeswan, laboratorium inseminasi buatan dan transfer embrio, kandang, jalan, danperalatan pendukung lainnya.
Selain itu, stakeholder yang ada dalam kawasan ini pun memiliki kemampuan dan keahlian yang dapat menunjang keberhasilan dari pusat pembibitan ini. Misalnya tenaga inseminator, tenaga vaksinator dan paramedis. Untuk meningkatkan pengetahuan tenaga pelayanan peternakan ini perlu dibekali melalui pendidikan formal maupun non formal dengan mengadakan pelatihan
.
2.4.4.      Strategi penyediaan bibit ternak yang berkualitas.
Bibit ternak sapi lokal secara genetik mempunyai potensi produksi yang bagus bahkan dalam kondisi lingkungan yang minimal, meskipun dari segi bobot tubuh memang sapi lokal hanya sekitar 80 persen dari sapi impor.
Seleksi bibit dimaksudkan untuk mendapatkan ternak yang memenuhi  syarat sebagai ternak bibit. Untuk pejantan seleksi menyangkut kesehatan fisik, kualitas semen dan kapasitas servis. Sedangkan untuk betina seleksi menyangkut kondisi fisik dan kesehatan, kemiringan vulva tidak terlalu keatas, mempunyai puting 4 buah, bentuk ambing relatif besar dengan bentuk yang simetris.
Adapun syarat untuk ternak yang akan dijadikan sebagai ternak bibit adalah sebagai berikut:
  1. Mulut yang datar/papak
  2. Kepala diusahakan yang besar sesuai dengan badannya dan bangsa
  3. Leher besar dan bergelambir terutama yang jantan
  4. Punggung dipilih yang datarjangan yang melengkung
  5. Ekor untuk sapi tropis biasanya lebih atau keadaannya merit
  6. Perut diusahakan pilih yang iganya/tulang rusuk jangan terlalu melengkung
  7. Kaki dicari yang tegak dan besar
  8. Alat kelamin/reproduksi jantan (testis ada 2 buah ) betina lengkap (ambing besar puting ada 4 buah)
Selain syarat tersebut di atas, hal yang tidak boleh dilupakan adalah umur, jenis kelamin, bentuk badan  (dari atas,depan dan samping), Informasi tentang silsilah ternak tersebut menggunakan recording (catatan ternak), diusahakan tidak membeli bibit yanginbreeding (minimal sampai keturunan yang ke 6 ).

2.4.5.      Manajemen reproduksi
Perkembangan teknologi reproduksi ternak kian berkembang dari waktu ke waktu. Tersedia banyak pilihan teknologi reproduksi yang dapat diterapkan seperti intensifikasi kawin alam (INKA), inseminasi buatan (IB), fertilisasi in vitro (FIV), transfer embrio (TE), clonning, transfer gen dan lain-lain. Pemilihan teknologi reproduksi yang diterapkan hendaknya memperhatikan kondisi yang ada karena hal ini terkait dengan efisiensi dan efektivitas dari penerapan teknologi tersebut.
Untuk kondisi TTU, pilihan teknologi yang dapat dilakukan adalah IB dan INKA dibanding teknologi reproduksi lainnya. Hal ini dikarenakan teknologi yang mutakhir belum mendesak untuk dilakukan di kabupaten TTU. Selain itu, keberhasilan teknologi yang lebih mutakhir menjadi rendah pada tingkat lapangan dan membutuhkan biaya yang tinggi.
Sinkronisasi estrus merupakan teknologi reproduksi yang paling sering diterapkan untuk mendukung keberhasilan IB. Dengan teknologi ini, ternak yang mendapat perlakuan khusus akan memperlihatkan gejala estrus yang serentak sehingga memudahkan pelaksanaan IB yang pada akhirnya dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi peternakan. Sinkronisasi estrus dan IB dalam jumlah ternak yang banyak akan meningkatkan efisiensi peternakan. Dimana, pada saat yang bersamaan, kita memiliki sekelompok betina bunting, melahirkan, dan mempunyai anak dengan umur yang relatif sama. Sehingga memudahkan dalam proses pemeliharaan. Dengan demikian peternak pun akan dapat mengatur kapan waktu untuk ternaknya melakukan perkawinan., terkait dengan permintaan pasar dan ketersediaan  pakan yang cukup saat melahirka dan menyusui anaknya sehingga angka kematian pedet dapat ditekan.

2.4.6.      Strategi pengembangan sumber daya manusia.
Sumber daya petani peternak perlu ditingkatkan untuk dapat bersaing di era pasar bebas. Petani peternak harus mampu menjawab tantangan masa kini. Oleh karenaitu, petani peternak perlu dibekali dengan pengetahuan baik itu melalui pelatihan dan peningkatan pengetahuan manajerial dan kelembagaan, penyuluhan, pembinaan maupun pendampingan dari penyuluh-penyuluh dalam hal mendapatkan informasi yang berguna bagi pengembangan usaha peternakan . peternak diharapkan dapat mengelola kelompok atau koperasi dengan baik dan berperan aktif, serta mempunyai daya saing dalam memasuki era pasar bebas.
Peningkatan penguasan manajerial dak teknologi dapat dilakukan dngan mengadakan pelatihan teknologi tepat guna dan melaksanakan kunjungan ke kelompok-kelompok yang telah maju atau perusahaan peternakan. Selain sumber daya peternak, sumber daya peternakan seperti penyuluh, inseminator dann paramedis pun perlu dipersiapkan semaksimal mungkin sehingga ke depan diperoleh kader-kader penerus yang dapat bersaing dengan kemajuan teknologi peternakan yang ada. Oleh karena itu, pengetahuan dan ketampilan teknis yang mencakup pemilihan lokasi, seleksi bibit, pemeliharaan, pencegahan penyakit, penanganan pasca panen dan distribusi serta pemasaran perlu diketahui sehingga dapat memasuki era pasar bebas.


2.4.7.      Strategi pengembangan dukungan kelembagaan
Dukungan kelembagaan sangat diperlukan dalam pengembangan kawasan pembibitan ternak. Dukungan kelembagaan dapat bersifat eksternal dan internalpeternak yang mencakup kelembagaan komunikasi/informasi dan ekonomi/keuangan, serta kelembagaan otoritas lainnya. Dukungan kelembagaan dapat diterapkan melalui pola kemitraan dengan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Keitraan bertujuan untuk menumbuhkan, meningkatkan kemampuan dan peranan usaha kecil dalam perekonomian nasional khususnya dalam mewujudkan usaha kecil yang mandiri, menjadi tulang punggung untuk memperkokoh struktur perekonomian daerah yang berbasis peternakan.
Model kemitraan usaha pembibitan sapi potong di TTU harus melibatkan usaha besar (inti), usaha kecil (plasma), dengan melibatkan bank sebagai pemberi kredit dengan suatu nota perjanjian bersama. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kelayakan plasma, meningkatkan kerjasama yang saling menguntungkan antara inti dan plasma, serta membantu bank dalam meningkatkan kredit usaha kecil secara lebih aman dan efisien. Kemitraan dilaksanakan dengan disertai dengan pembinaan oleh inti yang dimulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis dan pemasaran hasilproduksi.

BAB III
PENUTUP

3.1. Simpulan
Dari uraian pada bab terdahulu, dapat disimpulkan bahwa pengembangan bibit sapi potong sangat potensial untuk dikembangkan di Kabupaten TTU dalam mendukung tekad pemerintah Propinsi NTT untuk menjadikan NTT sebagai Propinsi Ternak.
Program yang dapat dilakukan untuk menjawab tekad ini adalah denganmengindentifikasi lokasi yang yang berpotensi dijadikan sebagailokasi pembibitan sapi potong, pemilihan bibit yang berkualitas dengan memperhatikan syarat mutu bibit, penyediaan hijauan pakan danpengolahan pakan, penguatan sumber daya manusia (peternak dan tenaga peternakan lainnya), serta  penguatan lembaga mitra.

3.2. Saran
·         Diperlukan adanya identifikasi yang jelas tentang daerah pembibitan sapi potong di kabupaten TTU dengan memperhatikan potensi pakan.
·         Perlu adanya standar mutu sapi potong yang diterapkan di Kabupaten TTU
·         Diperlukan adanya kerja sama dari berbagai pihak yang terkait dalam pengembangan bibit sapi potong di kabupaten TTU guna mendukung tekad propinsi NTT sebagai propinsi ternak.
















Daftar Pustaka

http://jogjavet.wordpress.com/2007/12/21/beternak-sapi-potong/

................2012. Sapi Potong pada PT. Lembu Jantan Perkasa Jakarta.http://ejournal.unud.ac.id/abstrak.

Aribran. 2012.Cara Memilih Bibit Ternak Sapi Potong.http://www.infoternak.com/ngenesnya-bibit-ternak-sapi-unggulan-indonesia

BPS NTT. 2011. NTT dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik NTT. Kupang, NTT.

Dinas Peternakan Propinsi NTT. 2011. Statistik Peternakan NTT 2010. Kupang, NTT.

Dinas Peternakan Kabupaten TTU. 2011. Renstra Disnak Kab. TTU 2011-2015. Kefamenanu, TTU

Jelantik, I. G.N 2007. Rancangan Pengembangan Pusat Pembibitan (Breeding Farm) Sapi Bali Timor Konotuef Dinas Peternakan Kabupaten TTU. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sapi Timor. Lembaga Penelititan UNDANA. Kupang

Kementrian Pertanian. Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011. Renstra Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011-2014. Edisi revisi. Jakarta.

Rangkuti, F. 2005. Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis. Gramedia. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar