Senin, 26 Agustus 2013

Pengelolaan Kulit Kakao sebagai Sumber Pakan Alternatif Berkualitas

AdiDharma17

download pdf below

MAKALAH
MANAJEMEN SUMBER DAYA PETERNAKAN
‘Pengelolaan Kulit Kakao Sebagai Sumber Pakan Alternatif
Berkualitas’


gambar kulit kakao 

by
Made Sudarma
Ilmu Peternakan - Pps Undana




BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Untuk meningkatkan produksi daging ternak dalam upaya mencukupi kebutuhan protein hewani secara nasional, disamping kualitas yang baik juga diperlukan kuantitas dan kontinuitas ketersediaan pakan sepanjang tahun. Namun, pada saat ini ketersediaan pakan hijauan semakin berkurang karena semakin berkurangnya lahan pertanian serta rendahnya mutu hijauan dan rerumputan sehingga diperlukan usaha pengadaan pakan alternative yang ketersediaannya cukup banyak, terkonsentrasi di wilayah tertentu dan belum dimanfatkan oleh para peternak.
Kulit buah kakao merupakan salah satu limbah tanaman perkebunan yang cukup potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumber pakan serat bagi ternak ruminansia. Hal ini dikarenakan jumlah produksi kakao yang begitu besar di Indonesia dengan tingginya persentasi limbah dari buah kakao tersebut yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia diseluruh Indonesia. Berdasarkan penelitian Amirroenas (1990) dalam Hartati (2008), dilaporkan bahwa pertumbuhan sapi yang mengkonsumsi ransum mengandung 30% kulit buah kakao lebih baik dibandingkan dengan yang mengandung 30 % rumput gajah (0,980 vs 0,750 kg/hari)
Akan tetapi kulit buah kakao yang cukup potensial tersebut belum termanfaatkan secara optimal, karena mengandung lignin tinggi dan serat kasar tinggi serta protein kasar yang rendah. Oleh karena itu dibutuhkan suatu teknik atau cara dalam pemanfaatannya sebagai pakan ternak dalam jumlah besar dengan teknologi pakan yang sudah berkembang saat ini.
B.            Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi limbah kakao di Indonesia secara umum dan NTT khususnya sebagai pakan ternak berkualitas tinggi.

C.           Metode Pengambilan Data
Metode yang digunakan adalah pengumpulan referensi dari berbagai sumber terkait.





BAB II
PEMBAHASAN

A.           Pakan Ternak
Dalam usaha pengembangan ternak pakan merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan baik kualitas, kuantitas maupun kontinyuitas ketersediaanya. Kenyataan memperlihatkan bahwa ketersediaan bahan pakan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor iklim tetapi juga oleh daya saing bahan makanan. Hal ini karena sebagian besar bahan penyusun konsentrat sebagai pakan utama ternak non ruminansia dan sebagai pakan tambahan ternak ruminansia seperti jagung masih bersaing dengan kebutuhan manusia. Kondisi demikian, menyebabkan usaha peternakan di Indonesia pada saat ini masih dalam tahap pengembangan, serta sering dibatasi oleh masalah pakan yang harganya relatif mahal.
Ketersediaan pakan hijauan sangat berfluktuasi, berlimpah pada musim hujan dan terjadi kekurangan saat kemarau. Kondisi ini sangat dirasakan terutama pada daerah padat ternak. Selain itu, ketersediaan pakan hijauan semakin berkurang seirama dengan menyusutnya luas lahan pertanian dan padang penggembalaan karena sudah beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman, perkantoran dan industri. Untuk mengatasi kendala tersebut, perlu di cari pakan alternatif yang ketersediaannya cukup banyak dan belum dimanfaatkan.
Pakan alternatif yang paling cocok dikembangakan adalah pakan yang berasal dari daerah tersebut. Oleh karena itu, penggunaan bahan pakan lokal yang berpotensi sebagai pakan alternatif untuk menjamin ketersediaannya secara kontinyu dan harganya relatif murah sangat dibutuhkan. Salah satu pakan lokal alternatif yang sudah mulai dikembangkan saat ini adalah pakan yang berasal dari limbah maupun hasil samping industri pertanian, perkebunan maupun kehutanan. Pakan tersebut umumnya berupa pakan tinggi serat yang banyak digunakan sebagai pakan utama dalam sistem pemeliharaan ternak ruminansia di Indonesia.
Limbah tanaman perkebunan mempunyai keunggulan praktis dibanding limbah lainnya yaitu ketersediaannya pada satu tempat dalam jumlah banyak sehingga biaya untuk mengumpulkannya lebih rendah. Salah satu pakan  alternatif limbah perkebunan yang cukup potensial adalah tanaman kakao ( Theobroma cacao ) antara lain kulit buah kakao atau dikenal dengan nama pod kakao.

B.            Budidaya Cacao
Tanaman kakao merupakan tanaman perkebunaan berprospek menjanjikan. Tetapi jika  faktor tanah yang semakin keras dan miskin unsur hara terutama unsur hara mikro dan hormon alami, faktor iklim dan cuaca, faktor hama dan penyakit tanaman, serta faktor pemeliharaan lainnya tidak diperhatikan maka tingkat produksi dan kualitas akan rendah (Chairani, 2008). Berikut beberapa hal mengenai teknik budidaya cacao yang diringkas dari hasil penelitian Chairani (2008).
Syarat Tumbuh
Sejumlah faktor iklim dan tanah menjadi kendala bagi pertumbuhan. Lingkungan alami tanaman kakao adalah hutan tropis. Dengan demikian curah  hujan, suhu udara dan sinar matahari menjadi bagian dari  faktor iklim yang menentukan. Demikian juga dengan faktor fisik dan kimia tanah yang erat kaitannya dengan daya tembus (penetrasi) dan kemampuan akar menyerap hara. Ditinjau dari wilayah penanamannya kakao ditanam pada daerah-daerah yang berada pada 10o LU sampai dengan 10o LS. Walaupun demikian penyebaran pertanaman kakao secara umum berada diantara 7o LU sampai 18o LS. Hal ini erat kaitannya dengan distribusi curah hujan dan jumlah penyinaran matahari sepanjang tahun. Kakao juga masih toleran pada daerah 20o LU sampai 20o LS. Dengan demikian Indonesia yang berada pada 5o LU sampai dengan 10o LS masih sesuai untuk pertanaman kakao.
Ketinggian Tempat
Ketinggian tempat di Indonesia yang ideal untuk penanaman kakao adalah tidak lebih tinggi dari 800 m dari permukaan laut.
Curah Hujan
Curah hujan yang  berhubungan dengan pertanaman dan produksi kakao ialah distribusinya sepanjang tahun. Hal tersebut berkaitan dengan masa pembentukan tunas muda dan produksi. Areal penanaman kakao yang ideal adalah daerah-daerah dengan curah hujan 1.100-3.000 mm per tahun. Curah hujan yang melebihi 4.500 mm per tahun tampakya berkaitan erat dengan serangan penyakit busuk buah (blask pods). Di tinjau dari tipe iklimnya, kakao sangat ideal ditanam pada daerah-daerah yang tipenya iklim A (menurut Koppen) atau B (menurut Scmidt dan Fergusson). Di daerah-daerah yang tipe iklimnya C menurut (Scmidt dan Fergusson) kurang baik untuk penanaman kakao karena bulan keringnya yang panjang. Dengan membandingkan curah hujan diatas dengan curah hujan tipe Asia, Ekuator dan Jawa maka secara umum areal penanaman kakao di Indonesia masih potensial untuk dikembangkan. Adanya pola penyebab curah hujan yang tetap akan mengakibatkan pola panen yang tetap pula.
Temperatur
Pengaruh temperatur terhadap kakao erat kaitannya dengan ketersedian air, sinar matahari dan kelembaban. Faktor-faktor tersebut dapat dikelola melalui pemangkasan, penataan tanaman pelindung dan irigasi. Temperatur sangat berpengaruh terhadap pembentukan flush, pembungaan, serta kerusakan daun. Menurut hasil penelitian, temperatur ideal bagi tanaman kakao adalah 300 C - 320 C (maksimum) dan 180 C - 210 C (minimum). Berdasarkan keadaan iklim di Indonesia temperatur 250 - 260 C merupakan temperatur rata-rata tahunan tanpa faktor terbatas. Karena itu daerah-daerah tersebut sangat cocok jika ditanami kakao.
Sinar Matahari
Lingkungan hidup alami tanaman kakao ialah hutan hujan tropis yang didalam pertumbuhanya membutuhkan naungan untuk mengurangi pencahayaan penuh. Cahaya matahari yang terlalu banyak menyoroti tanaman kakao akan mengakibatkan lilit batang kecil, daun sempit, dan batang relatif pendek. Pemanfaatan cahaya matahari semaksimal mungkin dimaksudkan untuk mendapatkan intersepsi cahaya dan pencapain indeks luas daun optimum.
Air dan Hara
Air dan hara merupakan faktor penentu bila mana kakao akan ditanam dengan sistem tanpa tanaman pelindung sehingga terus menerus mendapat sinar matahari secara penuh.
Naungan
Pembibitan kakao membutuhkan naungan, karena benih kakao akan lebih lambat pertumbuhannya pada pencahayaan sinar matahari penuh. Penanaman kakao tanpa pelindung saat ini giat diteliti dan diamati karena berhubungan dengan biaya penanaman maupun pemeliharaan. Penanaman dilakukan dipagi hari pada musim hujan tenyata lebih baik hasilnya kalau sore/malam harinya hujan turun dibandingkan dengan jika hujan yang turun 2 hari kemudian. Dengan demikian, air dan hara memang merupakan faktor penentu bila mana cahaya matahari dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi pertanaman kakao.
Tanah
Kakao dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, asalkan persyaratan kimia dan fisik yang berperan dalam pertumbuhan dan produksi tanaman kakao terpenuhi. Kemasaman tanah, kadar zat organik, unsur hara, kapasitas adsorbsi, dan kejenuhan basa merupakan sifat kimia yang perlu diperhatikan, sementara faktor fisiknya adalah kedalaman efektif, tinggi permukan air tanah, drainse, struktur dan konsesntensi tanah. Selain itu kemiringan lahan juga merupakan sifat fisik yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kakao.
Pohon Pelindung
Penanaman pohon pelindung sebelum penanaman kakao bertujuan  mengurangi intesnsitas sinar matahari langsung.  Bukan  berarti  bahwa pohon pelindung tidak menimbulkan masalah yang menyangkut biaya, sanitasi kebun, kemungkinan serangan hama dan penyakit, atau kompetisi hara dan air. Karena itu, jumlah pemeliharaan untuk meniadakan pohon pelindung  pada  areal  penanaman kakao saat ini sedang dilakukan. Penanaman pohon kakao secara rapat  atau  pengurangan  pohon pelindung secara bertahap, misalnya,  merupakan upaya meniadakan  pohon pelindung itu.
Manfaat Pohon Pelindung
Melindungi daun. Pohon pelindung sangat berpengaruh terhadap kadar gula pada batang dan cabang kakao. Pengaruh itu mengisyaratkan  perlunya  pohon pelindung pada areal penanaman yang sebagai faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi proses fisiologis. Ditinjau       dari kemampuan menyerap sinar matahari sebagai  sumber  energi,  kakao masuk kedalam   tanaman C3, yaitu tanaman yang mampu berfotosintesis pada suhu daun rendah. Tanaman yang tergolong C3 membutuhkan temperatur optimum 10-25o C. Dengan demikian dengan adanya pohon pelidung terutama akan mempengaruhi kemampuan daun kakao melakukan proses fisiologis.
Menciptakan iklim mikro. Pohon pelindung terutama pada areal yang belum menghasilkan  memainkan peranan   penting   pula   dalam menciptakan   iklim   mikro   yang lembab.
Menghindari pencucian hara. Pohon pelidung  juga  berperan dalam memperbaiki unsur tanah, mengembalikan hara tercuci, dan  menahan terpaan angin terutama pada kakao yang belum menghasilkan.
Memperbaiki struktur tanah. Peranannya sebagai memperbaiki struktur tanah dikarenakan   sistem perakaran pohon pelindung umunya dalam. Pengembalian hara yang tercuci bisa terjadi    karena adanya guguran daun tanaman pelindung yang akan melapuk membentuk senyawa organik.
Kerugian Pohon Pelindung
Pohon  pelindung juga dapat memberikan pengaruh yang merugikan. Kerugian itu berkaitan dengan perbandingan biaya penanaman dan pemeliharaan dengan peranannya sebagai peningkatan produksi, terutama bagi tanaman  yang menghasilkan. Hasil dari beberapa penelitian telah dibuktikan  bahwa  tanpa  pohon pelindung kakao akan menghasilkan buah lebih banyak dari pada kakao yang ada pohon pelindungnya. Kerugian   lainya dari adanya pohon pelindung adalah timbulnya persaingan dalam mendapatkan air dan hara antara tanaman pelindung dengan kakao tersebut.  Kerugian bisa juga timbul mengingat pohon pelindung punya kemungkinan menjadi inang hama Helopeltis sp, seperti tanaman pelindung Accasia decurens  dan  Albissia chinensis.
Pedoman Budidaya
Pembersihan Areal
Pembersihan areal dilaksanakan mulai dari tahap survai/pengukuran sampai tahap pengendalian ilalang. Pelaksanaan survai/ pengukuran biasanya  berlangsung selama satu bulan. Pada tahap ini,  pelaksanaan pekerjaan meliputi pemetaan topografi, penyebaran jenis tanah,   serta  penetapan batas areal  yang  akan  ditanami.  Tahap selanjutnya dari pembersihan areal adalah tebas/babat. Pelaksanaan pekerjaan pada tahap ini adalah dengan membersihkan semak belukar dan kayu-kayu kecil sedapat mungkin ditebas rata dengan permukaan tanah, lama pekerjaan ini adalah 2-3 bulan baru kemudian dilanjutkan dengan tahap tebang . Tahap berikut ini dilaksanakan selama 3-4 bulan, dan merupakan tahap yang  paling lama dari semua tahap pembersihan areal. Bila semua pohon telah tumbang tumbangan itu biarkan selama 1- 1,5    bulan    agar    daun    kayu mengering. Areal   yang   telah   bebas   dari semak  belukar,  kayu-kayu kecil, dan  pohon  besar,  apalagi  bila baru   dibakar,   biasanya   cepat sekali    menumbuhkan    ilalang. Seperti diketahui, ilalang merupakan gulma utama dari areal pertanian. Karena itu, pengendaliannya harus dilaksanakan sesegera mungkin, sehingga sedapat mungkin areal telah   bebas   dari   ilalang   saat penanaman pohon pelindung. Tahap  pengendalian ilalang ini dapat   dilasanakan selama 2-3 bulan.
Persiapan areal
Pembersihan  areal  sering  juga diakhiri dengan tahap pengolahan tanah. Pengolaan tanah    biasanya    dilaksanakan secara mekenis. Pengolahan  tanah  selain  dinilai
mahal, juga dapat mempercepat pengikisan lapisan tanah atas.
Penanaman   tanaman   penutup tanah
Untuk  mempertahankan  lapisan atas    tanah    dan    menambah kesuburan  tanah,  pembersihan areal  terkadang  diikuti  dengan tahap penanaman tanaman penutup tanah. Tanaman penutup tanah biasanya adalah jenis kacang-kacangan  antara lain Centrosema  pubescens, Colopogonium mucunoides, Puerarai javanica atau Pologonium caeruleum. Biji dapat ditanam menurut cara larikan  atau  tugal,  bergantung pada    ketersediaan    biji    dan tenaga kerja. Jarak   tanam   kacang-kacangan biasanya   disesuaikan   dengan jarak tanam  kakao yang hendak ditanam.

Jarak tanam
Jarak   tanam   yang   ideal   bagi kakao  adalah  jarak  yang  sesuai dengan   perkembangan bagian tajuk    tanaman    serta    cukup tersedianya ruang bagi perkembangan akar. Pemilihan jarak  tanam erat kaitannya dengan sifat pertumbuhan  tanaman,  sumber bahan   tanam,   dan   kesuburan tanah. Jarak  tanam tergantung dari luasan tajuk yang akan dibentuk tanaman.
Tabel   1. Jarak tanam dan jumlah pohon per hektar
Jarak Tanam (mxm)
Jumlah Pohon per Ha
2,4x2,4
1680
3x3
1100
4x4
625
5x5
400
3,96x1,83
1380
2,5x3
1333
4x2
1250
3x2
1250

Pola Tanam
Kakao  dapat  ditanam  dibarisan kelapa,  kelapa  sawit,  atau  juga karet sebagai tanaman intercropping. Kakao    juga    dapat    ditanam diantara   barisan   pisang   atau singkong  yang  berfungsi  sebagi pohon    pelindung sementara. Pola   tanam   yang   diterapkan pada  areal  demikian  umumnya menyesuaikan pola tanam terdahulu. Untuk mendapatkan areal penanaman kakao  yang  sebaik-baiknya dianjurkan untuk menetapkan pola tanam terlebih dahulu.
Pola tanam erat kaitannya dengan: keoptimuman jumlah pohon per ha; keoptimuman pohon pelindung; dan meminimumkan kerugian yang timbul pada   nilai kesuburan tanah.
Ada  tiga  pola  yang  dianjurkan adalah: Pola  tanam  kakao  segi empat,  pohon  pelindung segi empat; Pola tanam kakao berpagar   ganda,   pohon pelindung segi tiga; dan Pola tanam       kakao berpagar   ganda,   pohon pelindung segi empat.
Penanaman dan pemeliharaan
Bila jarak tanam dan pola tanam telah   ditetapkan   dan   keadaan pohon    pelindung    tetap    telah memenuhi syarat sebagi penaung, dan bibit dalam polybag telah berumur 4-6 bulan dan  tidak  dalam keadaab flush, maka  penanaman  sudah  dapat dilaksanakan. Rencana  penanaman hendaknya diiringi  pula  dengan rencana  pemeliharaan  sehingga bibit yang    ditanam    tumbuh dengan baik untuk jangka waktu yang cukup lama.
Penanaman
Dua minggu sebelum penanaman. Lebih dahulu disiapkan lubang tanah berukuran  40cm  x  40cm  x40cm atau  60cm  x  60cm,  bergantung pada  ukuran  polybag.  Lubang kemudian  ditaburi  1  kg  pupuk Agrophos dan ditutupi lagi dengan serasah. Pemberian pupuk tersebut    dimaksudkan untuk   menyediakan   hara bagi bibit yang akan ditanam beberapa minggu    kemudian. Berikan   pupuk   kandang   yang dicampur   dengan   tanah   (1:1) ditambah  pupuk  TSP  1-5  gram per lubang. Bibit    yang    hendak    ditanam sebaiknya   tidak   terlalu   sering dipindahkan  dari  suatu  tempat ketempat lain. Untuk itu diperlukan  tempat  pengumpulan polybag,  misalnya  untuk  setiap 50 lubang disediakan suatu tempat pengumpulan bibit.
Pemangkasan
Selama  masa tanaman  belum menghasilkan, pemeliharaan ditunjukkan  kepada pembentukan      cabang yang seimbang dan pertumbuhan vegetatif  yang  baik.  Disamping itu, pemangkasan       pohon pelindung tetap juga dilaksanakan  agar  percabangan dan dedaunnya tumbuh   tinggi dan   baik. Sedangkan   pohon pelindung  sementara  dipangkas dan  akhirnya  dimusnahkan sejalan    dengan pertumbuhan kakao. Pohon pelindung sementara  yang  dibiarkan  akan membatasi pertumbuhan kakao, karena menghalangi sinar matahari serta menimbulkan persaingan    dengan    tanaman utama dalam mendapatkan air dan hara.
Pengendalian Hama & Penyakit
Hama
v Ulat Kilan (Hyposidea infixaria; Famili : Geometridae ). Menyerang pada umur 2-4 bulan.         Serangan berat mengakibatkan daun muda tinggal urat daunnya saja. Pengendalian dengan   Pestona dosis 5-10cc/liter.
v Ulat Jaran / Kuda ( Dasychira inclusa, Familia : Limanthriidae ). Ulat ini ada bulu-bulu gatal pada bagian    dorsalnya    menyerupai bentuk bulu (rambut) pada leher kuda,  terdapat  pada  marke  4 dan 5 berwarna putih atau hitam, sedang ulatnya coklat atau coklat kehitam-hitaman. Pengendalian: dengan musuh alami predator Apanteles mendosa dan Carcelia spp, atau dengan bahan kimia.
v Parasa  lepida  dan  Ploneta diducta (Ulat Srengenge). Serangan  dilakukan silih berganti  karena  kedua  species ini  agak  berbeda  siklus  hidup maupun cara meletakkan kokonnya,      sehingga masa berkembangnya akan saling bergantian. Serangan tertinggi pada daun muda,  kuncup  yang  merupakan pusat    kehidupan    dan    bunga yang masih muda. Siklus  hidup  Ploneta  diducta  1 bulan,     Parasa     lepida     lebih panjang    dari    pada    Ploneta diducta.
v Kutu - kutuan (Pseudococcus lilacinus). Kutu  berwarna  putih. Simbiosis dengan semut hitam. Gejala serangan: infeksi  pada  pangkal  buah  di tempat yang terlindung, selanjutnya perusakan ke bagian buah   yang   masih   kecil,   buah terhambat dan akhirnya mengering lalu mati. Pengendalian: tanaman   terserang dipangkas lalu dibakar, dengan musuh alami    predator; Scymus sp, Semut hitam, parasit Coccophagus pseudococci  atau mempergunakan bahan kimia.
v Helopeltis antonii. Hama ini menusukkan ovipositor untuk meletakkan telurnya   ke dalam  buah  yang  masih  muda, jika  tidak  ada  buah  muda  hama menyerang   tunas   dan   pucuk daun  muda.  Serangga  dewasa berwarna hitam, sedang dadanya merah, bagian menyerupai      tanduk tampak lurus. Ciri serangan: kulit buah ada bercak-bercak hitam  dan  kering,  pertumbuhan buah  terhambat,  buah  kaku  dan sangat keras serta jelek bentuknya dan buah kecil kering lalu mati. Pengendalian: pengendalian  dilakukan dengan bahan kimia dan  sanitasi lahan, dan   pembuangan   buah   yang terserang.
v Kakao  Mot  (Ngengat  Buah), Acrocercops  cranerella  (Famili; Lithocolletidae). Buah   muda   terserang   hebat, warna  kuning  pucat,  biji  dalam buah  tidak  dapat  mengembang dan lengket. Pengendalian: Sanitasi lingkungan kebun, menyelubungi buah coklat dengan   kantong   plastik   yang bagian  bawahnya  tetap  terbuka (kondomisasi), pelepasan musuh alami semut hitam dan jamur antagonis Beauveria bassiana (BVR) dengan cara disemprotkan.
Penyakit
v Penyakit Busuk Buah (Phytopthora palmivora). Gejala serangan: dari  ujung  buah  atau  pangkal buah  nampak  kecoklatan  pada buah yang telah besar dan buah kecil akan langsung mati. Pengendalian: membuang  buah  terserang  dan dibakar,   pemangkasan   teratur.
v Jamur Upas (Upasia salmonicolor). Penyakit  ini  menyerang  batang dan cabang. Pengendaliannya: kerok   dan   olesi   batang   atau cabang terserang dengan pestisida    nabati    atau kimia, pemangkasan  teratur,  serangan yang berkelanjutan  dipotong lalu dibakar.
Catatan : Jika pengendalian hama penyakit dengan menggunakan   pestisida   alami belum        mengatasi dapat masalah dapat dipergunakan pestisida kimia yang dianjurkan. Agar penyemprotan pestisida kimia lebih merata dan  tidak  mudah hilang oleh air hujan tambahkan surfaktan.
Panen
Saat petik persiapkan rorak-rorak dan koordinasi  pemetikan. Pemetikan dilakukan   terhadap buah  yang  masak  tetapi  jangan terlalu masak. Potong   tangkai   buah   dengan menyisakan  1/3  bagian  tangkai buah. Pemetikan sampai pangkal buah akan   merusak bantalan       bunga sehingga pembentukan  bunga  terganggu dan  jika  hal  ini  dilakukan  terus menerus,  maka  produksi  buah akan menurun. Buah  yang  dipetik  umur  5,5  - 6 bulan    dari    berbunga,    warna kuning  atau  merah.  Buah  yang telah  dipetik  dimasukkan  dalam karung  dan  dikumpulkan  dekat rorak. Pemetikan  dilakukan  pada  pagi hari  dan  pemecahan  siang  hari. Pemecahan buah dengan memukulkan  pada  batu  hingga pecah. Kemudian biji dikeluarkan dan  dimasukkan  dalam  karung, sedang  kulit  dimasukkan  dalam rorak yang tersedia.
Pengolahan Hasil
v Fermentasi
Tahap awal pengolahan biji kakao. Bertujuan mempermudah menghilangkan pulp, menghilangkan daya tumbuh biji, merubah warna biji dan mendapatkan aroma dan cita rasa yang enak.
v Pengeringan
Pengeringan biji   kakao   yang telah   difermentasi   dikeringkan agar    tidak    terserang    jamur dengan sinar matahari langsung (7-9  hari)  atau  dengan  kompor pemanas suhu 60-700C (60-100 jam). Kadar air yang baik kurang dari 6%.
v Sortasi
Untuk     mendapatkan     ukuran tertentu  dari  biji  kakao  sesuai permintaan.   Syarat   mutu   biji kakao adalah tidak terfermentasi maksimal 3 %, kadar air maksimal 7%, serangan  hama penyakit maksimal 3 % dan bebas kotoran.

Hasil Penelitian dalam meningkatkan produksi Kakao
Penggunaan Fungisida dalam Pengawetan benih Kakao
Penggunaan fungisida (berbahan aktif mankozeb + karbendazim) dengan dosis 2 – 6 g/kg benih dapat menekan perkembangan cendawan selama penyimpanan benih kakao hingga 9 minggu. Benih yang disimpan tanpa fungisida, pada periode simpan 1 minggu terserang cendawan hingga 90,67% dan daya berkecambahnya 57,33%, setelah satu minggu serangan cendawan 100 % dan benih kehilangan viabilitas dan vigornya. Viabilitas dan vigor benih kakao dapat dipertahankan tetap tinggi hingga periode 9 minggu dengan perlakuan fungisida. Perlakuan dosis fungisida 6 g/kg benih cenderung menurunkan viabilitas dan vigor benih, sedangkan pada dosis 2 g/kg benih belum sepenuhnya dapat menekan serangan cendawan. Dosis fungisida terbaik adalah 4,21 g/kg benih. Benih kakao dengan perlakuan fungisida masih mempunyai viabilitas dan vigor yang tinggi hingga periode simpan 9 minggu, yaitu daya berkecambahnya sekitar 90%, kecepatan tumbuh, tinggi bibit dan jumlah dauunya tidak berbeda dengan yang disimpan 1 minggu (Budiarti, 1997)
Pupuk Organik Cair
Hasil penelitian Angkapradipta et al. (1988) menunjukkan  bahwa  pemberian  pupuk  Urea  dan  TSP berpengaruh    terhadap    pertumbuhan  kakao  lindak tanaman  belum  menghasilkan  pada  tanah  latosol  yang ditunjukkan oleh pertumbuhan panjang  dan lilit batang kakao. Akan   tetapi   menurut   Abdoellah   (1996)   pemberian pupuk anorganik saja bukanlah    jaminan    untuk memperoleh  hasil  maksimal  tanpa  diimbangi  pupukorganik, karena pupuk organik mampu   berperan  terhadap perbaikan sifat fisik, kimia  dan biologi  tanah, yang pada akhirnya terhadap produksi kakao. Pupuk organik dalam bentuk cair dapat meningkatkan suplai unsur hara pada tanaman dibandingkan dengan pupuk anorganik  (Lingga, 1999).  Pemupukan  melalui  daun  dapat  mengurangi  kerusakan akibat  pemberian  pupuk  melalui  tanah.  Beberapa  jenis pupuk organik cair (POC) termasuk POC Bioton selain memiliki unsur hara (makro dan mikro) yang dibutuhkan  oleh  tanaman  juga  mengandung  hormon yang   sangat   berperan   dalam   pertumbuhan   vegetatif tanaman.   Pemberian  kombinasi  pupuk  organik  cair  (POC) Bioton   dan   pupuk   anorganik   hanya   berpengaruh terhadap  diameter  batang  dan  panjang  cabang  primer. Frekuensi pemberian  POC  4  minggu  sekali  cukup  efektif  dalam mendukung pertumbuhan kakao (Wachjar, 2007)
Teknik Sambung Samping
Biasanya tanaman kakao yang berumur 25 tahun produktivitasnya akan menurun 50% dari potensi produksinya. Penggunaan entres lokal untuk mendukung program rehabilitasi  melalui  sambung  samping, selain dapat meningkatkan produktivitas juga  dapat  mencegah  penyebaran  hama penyakit dari satu daerah ke daerah lain, mengurangi  biaya  transportasi  entres, memperkecil risiko kerusakan entres akibat pengangkutan jarak jauh, dan klon unggul lokal  tahan  terhadap  hama/penyakit tertentu.  Menurut hasil penelitian Limbongan (2011), menyatakan bahwa kesiapan  teknologi  sambung  samping didukung oleh tersedianya berbagai klon unggul introduksi maupun klon lokal di beberapa  daerah  pengembangan  yang dapat  dijadikan  sebagai  sumber  entres pada program rehabilitasi tanaman kakao. Pembangunan kebun entres sebagai kebun koleksi dan sumber entres berbagai jenis klon unggul sebaiknya dilakukan di setiap daerah pengembangan. Hal ini bertujuan untuk menjamin ketersediaan entres, baik kuantitas maupun kualitasnya, dan mencegah penyebaran hama/penyakit tanaman dari satu daerah ke daerah yang lain. Tingkat  keberhasilan  sambungan dipengaruhi  oleh  jenis  entres  yang  digunakan, umur entres, tersedianya entres dalam  jumlah  yang  memadai  dan  dekat lokasi  pengembangan,  kemampuan  dan keterampilan petani melakukan penyambungan,  serta  kondisi  cuaca.  Sambung samping  merupakan  teknologi  yang murah, mudah diterapkan, dan dapat meningkatkan  pendapatan  petani  sehingga dapat  menjadi  salah  satu  pilihan  dalam program rehabilitasi tanaman kakao.
Pemberian Boron dan Seng dalam mengatasi Layu Pentil
Tanaman kakao dapat berbunga sepanjang tahun dengan jumlah bunga hingga 5000 – 10000 bunga/pohon/tahun, namun hanya sekitar 1 – 5% buah yang dapat mencapai matang. Salah satu penyebabnya adalah adanya layu pentil pada puncak pertama sekitar 58 hari setelah penyerbukan dan meningkat pada puncak kedua 70 hari setelah penyerbukan. Mekanisme layu pentil diawali dengan adanya pertumbuhan pentil yang terhenti dan selanjutnya terjadi perubahan warna kulit menjadi kuning kemudian kehitaman dan mengerut. Penyebab terjadinya layu pentil adalah kompetisi antara buah muda dan buah yang lebih tua dan pertumbuhan vegetative atau pembentukan flush, dimana pembentukan flush dengan intensitas tinggi dan serempak merupakan pemakai asimilat yang dominan dan berakibat pada ketersediaan asimilat bagi buah yang menjadi berkurang. Hal ini mengakibatkan adanya persaingan yang tidak seimbang antara pentil kakao dan flush dalam penggunaan asimilat sehingga terjadi kelayuan pentil. Kelayuan pentil kakao dapat ditekan dengan pemberian multimikro (B, Cu, Mn, Mo, dan Zn) dan NAA, sehingga pembentukan buah dapat meningkat. Menurut hasil penelitian Kurniawati (1998), pemberian boron menurunkan secara nyata jumlah kumulatif pentil terbentuk, jumlah kumulatif pentil kakao sehat, dan jumlah kakao dapat dipanen tetapi dapat menekan jumlah pentil layu. Tanggap tanaman kakao terhadap boron dipengaruhi oleh Zn pada peubah jumlah kumulatif pentil kakao terbentuk dan jumlah kumulatif pentil kakao layu. Pemberian boron 3 350 ppm dan zn 2 500 ppm meningkatkan jumlah pentil kakao terbentuk lebih besar 18,3% dibanding kontrol. Kombinasi Boron 3 350 ppm dan Zn 3 750 ppm dapat menekan pentil layu hingga 86%.

C.           Kakao dan Potensi Yang Dimilikinya
Tanaman kakao yang mempunyai nama latin Theobroma Cacao L atau biasa kita sebut dengan cokelat merupakan tanaman yang banyak ditemukan tumbuh di daerah tropis. Kakao secara umum adalah tumbuhan menyerbuk silang dan memiliki sistem inkompatibilitas sendiri. Buah tumbuh dari bunga yang diserbuki. Ukuran buah jauh lebih besar dari bunganya, dan berbentuk bulat hingga memanjang. Buah terdiri dari 5 daun buah  dan memiliki ruang serta di dalamnya terdapat biji. Warna buah berubah-ubah. Sewaktu muda berwarna hijau hingga ungu. Apabila masak kulit luar buah biasanya berwarna kuning (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. 2004)
Indonesia merupakan penghasil kakao terbesar ketiga setelah dua negara di benua Afrika yaitu Pantai Gading dan Ghana. Di Indonesia tanaman kakao sendiri tersebar sebagian besar di beberapa pulau di seluruh wilayah Indonesia yaitu diantaranya di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua. Di Indonesia sendiri tanaman ini dapat tumbuh pada ketinggian kurang dari 800 m dibawah permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 1100 – 3000 mm per tahun. Suhu ideal bagi tanaman kakao untuk tumbuh adalah 30–32 derajat Celcius (Maksimum) dan 18–21 derajat Celcius (Minimum). Tanaman kakao dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki bahan organik tanah yang tinggi masaman pH 6–7.5 tidak lebih tinggi dari 8 dan  tidak lebih rendah dari 6, kebutuhan air dan hara yang cukup serta membutuhkan naungan dalam pertumbuhannnya (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. 2004)
Tanaman kakao rentan terhadap hama dan penyakit. Beberapa jenis hama dan  penyakit yang menyerang tanaman kakao antara lain adalah Ulat Kilan ( Hyposidea infixaria; Famili : Geometridae ), Ulat Jaran / Kuda ( Dasychira inclusa, Familia : Limanthriidae ), ulat srengenge (Parasa lepida dan Ploneta diducta ), Kutu – kutuan ( Pseudococcus lilacinus ), Helopeltis antonii, Cacao Mot ( Ngengat Buah ) Acrocercops cranerella (Famili : Lithocolletidae), Penyakit Busuk Buah (Phytopthora palmivora), Jamur Upas (Upasia salmonicolor). Oleh karena itu teknis budidaya dan penanganan yang tepat terhadap hama dan penyakit yang menyerang tanaman kakao mutlak diperlukan untuk tanaman kakao agar tumbuh berkembang dengan baik (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. 2004)
Buah kakao yang telah siap panen yaitu buah yang dipetik pada umur 5,5 – 6 bulan dari berbunga, warna kuning atau merah. Buah yang telah dipetik dikumpulkan kemudian dimasukkan ke dalam karung.. Pemetikan dilakukan pada pagi hari dan pemecahan biji dan kulit dilakukan pada siang hari. Pemecahan buah dilakukan dengan memukulkan buah kakao pada batu hingga pecah. Kemudian biji dikeluarkan dan dimasukkan dalam wadah yang telah disediakan, sedangkan kulit dari kakao dimasukkan dalam karung. (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. 2004)
Menurut Puastuti (2008) kulit buah kakao   belum   banyak dimanfaatkan   sebagai   bahan   pakan   kecuali sebagai  pupuk.  Namun  demikian,  penempatan kulit buah kakao di sekitar kebun lebih banyak mengotori lingkungan  perkebunan  bahkan  menimbulkan banyak masalah terhadap tanaman perkebunan dibandingkan dengan manfaatnya sebagai pupuk.   Menumpuknya kulit buah kakao menimbulkan pembusukan karena kelembaban dan temperatur yang tinggi, bahkan cendawan mikotoksin Phytopthora palmivora (Butler) dapat berkembang dengan baik. Cendawan ini dilaporkan  dapat  menjadi  hama  dan  penyakit busuk  buah,  hawar  daun  dan  kanker  batang pada tanaman kakao (LOPEZ et al., 1984 dalam Puastuti, 2008). Oleh karena itu, untuk memanfaatkan kulit buah kakao sebaiknya  dikeluarkan  dari  lokasi  perkebunan agar  tanaman  kakao  terhindar  dari  penyakit tersebut.
Menurut Priyanto (2004) kasus penanganan limbah pertanian dan perkebunan sampai saat ini masih merupakan kendala dalam program penanganan limbah di tingkat petani. Masalah ini di antaranya adalah keterbatasan waktu, tenaga kerja, maupun keterbatasan areal pembuangan. Di samping itu limbah pertanian dan perkebunan belum banyak dimanfaatkan walaupun dalam beberapa kondisi memiliki potensi sebagai bahan pakan ternak maupun bahan baku pembuatan kompos, sehingga perlu dilakukan pengamatan dalam mendukung program pemanfaatan limbah potensial terutama limbah potensial yang dihasilkan oleh tanaman kakao yaitu limbah kulit kakao.
Tanaman kakao banyak dikenal sebagai tanaman yang dapat menghasilkan cokelat. Akan teapi selain bijinya yang dapat diproses menjadi cokelat ternyata  kulit dari buah kakao yang selama ini menjadi limbah  dari industri cokelat juga mempunyai nilai jual yang tinggi. Kulit buah kakao (shel fod husk) adalah merupakan limbah agroindustri yang dihasilkan tanaman kakao. Berdasarkan penelitian, kulit kakao atau biasa kita sebut kulit cokelat mempunyai kandungan gizi yaitu 22% protein, 3–9% lemak, bahan kering (BK) 88%, protein kasar (PK) 8%, serat kasar (SK) 40,15, dan TDN 50,8%, metabolisme energi (K.kal) 2,1, dan pH 6,8 (Priyanto, 2004).
Tabel 2. Luas Areal dan Produksi Tanaman Perkebunan Cokelat/Kakao di Indonesia, 1995 -  2010
No
Tahun
Luas Areal (0000 Ha)
Produksi (Ton)
Laju Produksi (%)
1
1995
125.4
46,4

2
1996
129.6
46,8
0,86
3
1997
146.3
65,889
40,79
4
1998
151.3
60,925
-7,53
5
1999
154.6
58,914
-3,30
6
2000
157.8
57,725
-2,02
7
2001
158.6
57,86
0,23
8
2002
145.8
48,245
-16,62
9
2003
145.7
56,632
17,38
10
2004
87.7
54,921
-3,02
11
2005
85.9
55,127
0,38
12
2006
101.2
67,2
21,90
13
2007
106.5
68,6
2,08
14
2008
98.4
62,913
-8,29
15
2009
95.3
67,602
7,45
16
2010*
95.9
70,919
4,91
Ket: * angka sementara
Sumber : BPS Indonesia 2012
Tanaman kakao (Theobroma cacao L.)  merupakan tanaman perkebunan yang cukup banyak dikembangkan di Indonesia. Indonesia memiliki areal perkebunan yang sangat luas. Luas areal perkebunan di Indonesia sekitar  hektar. Salah satunya adalah perkebunan kakao yang mencapai 959.000 ha (BPS Indonesia, 2011). Selama lima belas tahun terakhir ini produksi kakao terus meningkat mencapai 70.919 ton pada tahun 2010 (BPS Indonesia, 2012). Jika proporsi limbah mencapai 75 % dari produksi, maka limbah kulit buah kakao mencapai 53.190 ton per tahun. Hal ini merupakan suatu potensi yang sangat besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak (Tabel 2).
Tabel 3. Luas Areal dan Produksi Tanaman Perkebunan Cokelat/Kakao Menurut Kabupaten/Kota, 2011
Kabupaten/Kota
Jumlah Luas Areal
Jumlah Produksi
Produksi Limbah
Produksi Pod BK
(ha)
(ton)
(ton)
(Kg)
Sumba Barat
641
39
29,25
25740
Sumba Timur
491
6
4,5
3960
Kupang
259
19
14,25
12540
Timor Tengah Selatan
319
11
8,25
7260
Timor Tengah Utara
313
46
34,5
30360
Belu
548
32
24
21120
Alor
1 051
14
10,5
9240
Lembata
829
80
60
52800
Flores Timur
4 312
698
523,5
460680
Sikka
21 661
7 158
5368,5
4724280
Ende
5 962
2 513
1884,75
1658580
Ngada
931
189
141,75
124740
Manggarai
1 836
123
92,25
81180
Rote Ndao
-
-
-
-
Manggarai Barat
3 432
323
242,25
213180
Sumba Tengah
327
18
13,5
11880
Sumba Barat Daya
1 378
156
117
102960
Nagekeo
1 653
253
189,75
166980
Manggarai Timur
2 478
251
188,25
165660
Sabu Raijua
-
-
-
-
Kota Kupang
-
-
-
-
Jumlah
48 421
11 929
8946,75
7873140
2010
46 447
12 978
9733,5
8565480
2009
45 129
12 247
9185,25
8083020
Sumber : BPS NTT 2012          
Pod kakao merupakan bagian terbesar limbah kakao yaitu mencapai 70-75.67% (Wong et al., 1986 dan Darwis et al. 1988 dalam Hartati, 2012). Satu buah kakao  yang  dipanen  diperoleh  biji  sebanyak  29%  dan  71%  limbah  tanaman  terutama pod  kakao  yaitu  kulit  buah  yang  bertekstur  tebal  dan  keras  (Siregar  dkk.,  1992). Produksi bahan kering di daerah padat sapi potong yaitu Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur sebesar 351.713,96 ton/tahun. Jika diasumsikan bahwa pod kakao dapat menggantikan 50% dari hijauan dengan ratio hijauan:konsentrat 60:40, maka dapat menampung sebanyak 120.038,80 ST. (Angraeny dan Umiyasih, 2008 dalam Hartati, 2012). Akan tetapi pod kakao belum dimanfaatkan secara optimal karena mengandung protein rendah (7,17-9,36%), serat kasar tinggi (30,16-47,87%) dan lignin tinggi (27,95-38,78%) (Amiroenas, 1990 dan Laconi, 1998, Guntoro, et al. 2004, Anggraeny dan Umiyasih, 2008 dalam Hartati, 2012) dan menurut Islamiyati (2010), pod kakao memiliki kandungan gizi yang rendah yaitu protein 5-8%, serat kasar 19-40% dengan kecernaan bahan kering 31,1%.
Di Nusa Tengggara Timur sendiri, luas areal perkebunan Kakao mencapai 48.421 ha dengan jumlah produksi 11.929 ton/ tahun dengan produksi limbah kulit kakao sebanyak 75 % yakni 8.950 ton atau sekitar 7.873 ton BK/tahun. Apabila diasumsikan bahwa kulit buah kakao cukup menggantikan 50% jumlah kebutuhan hijauan ternak ruminansia yakni sebesar 3 % bahan kering dari bobot badan ternak (300 kg / ST) maka kulit buah kakao dapat menampung sebanyak 4.793 Satuan Ternak atau 2.397 ST apabila diberikan 100% hijauan dari kulit buah kakao. Pada ternak kambing dengan asumsi pemberian 40 % dari total hijauan yakni 3 % bahan kering dari bobot badan ternak (70 kg/ST) maka kulit buah kakao dapat menampung sebanyak  13.121.900 ekor ternak kambing/domba atau sekitar 1.837.066 satuan ternak kambing /domba di NTT. Selain itu, pod kakao juga dapat diberikan pada unggas dan babi dengan jumlah maksimal 40 % mengganti kebutuhan jagung dan dedak dalam ransum yang ada. Pada ternak babi, dengan asumsi kebutuhan ransum 2,5 kg/satuan ternak babi dewasa (bobot badan 75kg) dan kebutuhan jagung / dedak 50 % maka dapat memberi makan 15.746.280 ekor ternak babi atau sekitar 6.298.512 satuan ternak babi di NTT. Untuk ternak unggas, dengan asumsi kebutuhan jagung 50% dalam berat total ransum sekitar 150 gram/ekor maka pod kakao dapat memberi makan 1.049.752 satuan ternak unggas di NTT.

D.           Inovasi Teknologi Kulit Kakao (Pod) Sebagai Pakan Ternak
Usaha  peningkatan  produktivitas  di  bidang  peternakan  terus  diupayakan seiring  dengan  meningkatnya  permintaan  produk  peternakan.  Namun  usaha  untuk meningkatkan  produktivitas  ternak,  khususnya  ternak  ruminansia  dihadapkan  pada kendala  makin  menyempitnya  lahan  sumber  pakan  oleh  pengguna  lahan  untuk kebutuhan lain yang dinilai lebih menguntungkan. Salah satu usaha untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan melakukan eksplorasi  sumber bahan makanan baru yang  lebih  murah  dengan  ketersediaan  lebih  besar  dan  berkesinambungan,  tetapi tidak   bersaing   dengan   kebutuhan   manusia.   Tampak bahwa limbah pertanian/perkebunan memenuhi kriteria tersebut.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, limbah perkebunan seperti kulit buah kakao memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Namun, tingginya kandungan serat kasar yang dimiliki kulit kakao mencapai 40% yang mempengaruhi daya cerna, kandungan protein kasar yang rendah yakni 6%, adanya senyawa theobromin sebanyak 0,17-0,22% yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba rumen serta diare apabila dikonsumsi > 300 mg/BB. Selain itu, kulit bauh kakao juga mengandung kafein sebanyak 1,8-2,1% dan tannin sebanyak 0,84% dimana kafein mempunyai efek diuretic sedangkan tannin dapat mengendapkan protein dan karbohidrat sehingga mempengaruhi ketersediaan nutrient dalam kulit buah kakao. Dengan daya cerna yang rendah yakni 29,27%, biomassa kulit buah kakao juga bersifat tidak tahan lama bila disimpan dalam keadaan segar sehingga perlu penanganan tersendiri bila digunakan sebagai pakan ternak karena apabila kulit buah kakao disimpan lebih dari 24 jam akan menjadi berjamur di bawah kondisi lembab sehingga menjadi tidak palatable (Puastuti, 2008). Hal inilah yang  membuat kulit buah kakao ini masih belum dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin.
Untuk  menjadikan  kulit  buah  kakao  sebagai alternatif pakan ternak yang memiliki nilai nutrisi tinggi dapat dilakukan dengan cara  a) teknologi fisik,  yaitu dilakukan dengan cara  pencacahan, perendaman,  pengeringan,  penghalusan,  dan pelleting;  b)  teknologi  kimia,  yaitu  dilakukan dengan cara amoniasi; dan c) teknologi biologi berupa fermentasi.
Upaya meningkatkan nilai nutrisi kulit buah kakao dan mengatasi berlimpahnya  produksi kulit buah kakao perlu dilakukan pengolahan seperti amoniasi. Amoniasi merupakan pengolahan secara alkali dengan  penambahan urea. Urea sering digunakan    untuk meningkatkan kecernaan pakan serat melalui proses amoniasi (Van Soest, 2006 dalam Puastuti, 2008). Proses amoniasi dengan menggunakan urea lebih mudah, murah dan lebih aman dibandingkan proses alkali lainnya dan dapat meningkatkan kadar N (nitrogen). Meningkatnya kadar N asal urea dapat mensuplai kebutuhan N bagi mikroba rumen. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Laconi (1998) dimana teknologi amoniasi dengan 1,5 % urea pada kulit buah kakao lebih efektif dan efisien untuk diaplikasikan pada tingkat peternak maupun industri pakan ternak.
Agar ternak dapat memanfaatkan secara optimal bahan pakan yang memiliki kecernaan rendah, maka penambahan sejumlah mineral perlu dilakukan. Penambahan mineral Zn-metionin dalam pakan dapat meningkatkan kecernaan komponen serat kasar tinggi (Haryanto   et al., 2002, dalam Puastuti, 2008). Meningkatnya kecernaan mengindikasikan adanya peningkatan aktivitas fermentasi mikroba rumen, dimana unsur seng berfungsi untuk menstimulasi pertumbuhan mikroba rumen.
Menurut hasil penelitian Puastuti (2008), menyatakan bahwa penggunaan biomasa kulit buah kakao sebagai pengganti rumput menghasilkan kecernaan bahan kering in  vitro  ransum  yang lebih rendah. Melalui proses amoniasi pada kulit buah kakao dan suplementasi Zn organik belum meningkatkan kecernaan BK ransum. Secara umum ransum berbasis rumput dan kulit buah kakao baik yang diamoniasi maupun kulit buah kakao asli, baik yang   disuplementasi Zn organik maupun tidak menghasilkan aktivitas bioproses di  dalam  rumen  yang  tidak  berbeda  sehingga diperoleh produk VFA yang serupa.
Perendaman dengan basa kuat terhadap bahan pakan yang mengandung lignoselulosik sering digunakan dengan tujuan untuk melarutkan kristal silika dan memecah ikatan lignoselulosa. Namun demikian hasilnya kurang memuaskan, antara lain bahan organik sebagian terbuang  (larut), kurang tersedia di pedesaan dan merupakan sumber pencemaran lingkungan. Untuk itu para peneliti sudah berupaya mencari  teknik  pengolahan  lain  dengan  menggunakan  bahan-bahan yang terdapat  di pedesaan yang merupakan sumber basa murah, diantaranya abu sekam padi, abu tempurung kelapa dan abu kulit buah kakao.
Menurut hasil penelitian Islamiyati (2010), bahwa semakin lama perendaman, terjadi penurunan kecernaan bahan kering in vitro kulit buah kakao, sedangkan sumber  larutan  basa  yang  memberikan  kecernaan  bahan  kering  in vitro terbaik adalah abu kulit buah kakao  dan  memberikan  hasil yang sama dengan  yang direndam  larutan  NaOH 6%.
Salah satu cara pengawetan pakan agar tidak cepat rusak dan dapat disimpan relatif lama  adalah dengan proses ensilase biasanya dilakukan dalam silo (dalam lubang tanah), atau  wadah  lain yang prinsipnya  anaerob (hampa udara), agar mikroba anaerob dapat   melakukan reaksi fermentasi (Sapienza dan Bolsen, 1993 dalam Sianipar, 2009)
Keberhasilan lain dalam pembuatan silase selain mempertahankan kandungan nutrisi adalah adanya perkembangan bakteri pembentuk asam laktat yang meningkat selama proses  fermentasi sehingga terjadi penurunan kandungan asam (pH) pada silase berkisar 4 – 6 (Khan et al., 2004, dalam Sianipar, 2009. Namun demikian teknik ensilase ini sering menimbulkan permasalahan lain  yakni  efek  kurang  disukai ternak karena silase rasanya asam akibat pH relatif rendah. Untuk meningkatkan konsumsi dan menetralisir tingkat keasaman cairan rumen sebagai  akibat mengkonsumsi silase maka perlu dilakukan penambahan  pakan  tertentu (Farhan   dan Thomas, 1978 dalam Sianipar, 2009. Salah satunya adalah dengan mencampur silase dengan pakan   tambahan yang disukai ternak.
Menurut hasil penelitian Sianipar (2009), menyatakan bahwa pemberian silase sampai 30% dalam pakan menurunkan tingkat konsumsi dan kecernaan pakan. Pemberian silase kulit  buah kakao diatas 30% dalam pakan, mengakibatkan penurunan pertambahan bobot hidup harian sebesar 1,43 gram tiap kenaikan 1% silase dalam pakan. Silase kulit buah kakao dapat  digunakan sebagai pakan penguat sumber protein dan penggunaannya direkomendasikan sampai 20% dalam pakan kambing potong.
Hasil ini juga didukung oleh penelitian Hartati (1998) yang menyatakan bahwa kualitas kulit buah kakao dapat diperbaiki melalui proses ensiling dan penambahan urea dimana kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik silase kulit buah kakao meningkat dengan penambahan urea hingga 1 % masing-masing 40,17% dan 35,08%.
Selain teknik tersebut diatas, juga terdapat teknik pengolahan dengan pemanfaatan teknologi fermentasi dengan bantuan jamur Trichoderma sp. Jamur ini merupakan salah satu jamur penghasil enzim selulase yang sangat efisien untuk mendegradasi unsur selulosa jika dibandingkan dengan jamur perombak serat lainnya (Irwani, 2000; ismujianto, 1996, dalam syahrir, 2005)
Menurut hasil penelitian Syahrir (2005) menyatakan bahwa faktor dosis trichoderma sp. dan lama fermentasi tidak menunjukkan adanya interaksi antara kedua perlakuan tersebut terhadap kandungan zat-zat makanan kulit buah kakao fermentasi. Faktor dosis trichoderma sp. memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kandungan bahan kering kulit buah kakao fermentasi dan begitu juga dengan faktor lama fermentasi. Faktor lama fermentasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan abu, lemak kasar, protein kasar dan serat kasar. Waktu fermentasi yang lebih singkat dapat meningkatkan kualitas kulit buah kakao fermentasi, terutama peningkatan kandungan protein kasar dan penurunan serat kasar.
Respon pertumbuhan domba yang mendapat ransum berbasis KBK tanpa amoniasi dengan suplementasi Zn organik   menghasilkan   PBHH   yang   setara   dengan ransum  berbasis  rumput.  Pertumbuhan  ini  didukung oleh  konsumsi  dan  kecernaan  nutrien,  retensi  N  dan parameter fermentasi yang baik (Puastuti dkk, 2010).
Tape KBK dapat digunakan sebagai pakan ternak kambing yang sedang tumbuh sampai level 40% dengan PBB minimal 77 gr/ekor/hari. Peningkatan level pemberian tape kbk pada ternak kambing akan menurunkan konsumsi dan PBB ternak (Hesti, 2008)
Menurut Sari (2012), Kulit buah kakao dapat dijadikan sebagai bahan pakan ternak ruminansia maupun ternak unggas dengan pemberian dalam bentuk segar maupun dalam bentuk kulit buah kakao fermentasi. Pemberian dalam bentuk segar sangat terbatas dikarenakan adanya zat antinutrisi berupa theobromin yang dapat menyebabkan penurunan produktivitas pada ternak. Kulit buah kakao yang difermentasi dengan Aspergillus niger mampu meningkatkan PK dari 10% menjadi 16,60 % dan menurunkan SK menjadi 10,15 %. Pemberian kulit buah kakao fermentasi kepada ternak mampu meningkatkan produksi dan produktivitas ternak ruminansia dan unggas. Kulit buah kakao berpotensi sebagai bahan pakan pengganti konsentrat karena harga yang relatif murah dan jumlah yang banyak. Pemberian kulit buah kakao fermentasi 10 % dalam ransum itik tidak menunjukkan pengaruh negatif terhadap konsumsi ransum. 22 % pemberian dalam ransum ayam broiler mampu meningkatkan produktivitas broiler dan pemberian pada taraf 20-40 % dari total ransum mampu menurunkan kadar kolesterol daging broiler.
Penggunaan  kulit  buah  kakao  sebagai  bahan pakan   sebaiknya   dilakukan   secara   bersama-sama dengan penambahan hijauan/pakan tambahan lain seperti rumput atau leguminosa. Pemberian  15% dari konsentrat Ternak domba,  dapat  menambah  bobot  badan sebanyak 80,52 g/ekor/hari. Ternak  sapi  dan  kambing  dapat  diberikan sebanyak 0,7-1,0 %   BB,   bisa   diberikan sebagai pengganti dedak.  Pada   ayam   pemberian   limbah   kulit   buah kakao  sebagai  pengganti  dedak  hingga  36% dari total pakan dapat meningkatkan produksi telur. Pada babi dapat diberikan sebagai pengganti dedak sekitar 35-40% dalam pakan. Penggunaan  35%  sebagai  substitusi  jagung dapat     menghemat     penggunaan     jagung sebanyak 20%. Penggunaan  40%  kulit  buah  kakao  sebagai substitusi  bungkil  kelapa  dapat  menghemat penggunaan bungkil kelapa sebanyak 5% (Dirjen PKH, 2012)
Tabel 4. Kandungan gizi Pod Kakao segar dan fermentasi
Nutrisi, Energy, KBK, dan KBO
Kulit Buah Kakao Segar
Kulit Buah Kakao Fermentasi
Bahan Kering %
14,5
18,4
Abu %
15,4
12,7
Protein Kasar %
9,15
12,9
Lemak %
1,25
1,32
Serat Kasar %
32,7
24,7
BETN %
41,2
47,1
TDN %
50,3
63,2
ME, MJ/kg Bahan kering
7,60
9,20
Kecernaan Bahan Kering (KBK)
76,3
38,3
Kecernaan Bahan Organik (KBO)
25,4
42,4
Ca
0,29
0,21
P
0,19
0,13
Sumber: Dirjen PKH, 2012


BAB III
PENUTUP

A.           Simpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa tanaman kakao memiliki potensi yang besar dari segi kuantitas produksi limbah di Indonesia pada umumnya dan NTT khususnya, namun limbah kakao ini masih belum termanfaatkan oleh petani peternak sehingga dibutuhkan sentuhan teknologi sederhana seperti silase maupun fermentasi untuk meningkatkan kualitas pod kakao sebagai pakan ternak ruminansia, babi dan unggas.

B.            Saran
Dibutuhkan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat petani peternak maupun pengusaha ternak dalam memanfaatkan potensi limbah kakao yang melimpah di daerahnya masing – masing.














DAFTAR PUSTAKA


Abdoellah, S.  1996.  Bahan Organik, Peranannya  Bagi  Perkebunan    Kopi  Dan    Kakao.    Warta  Pusat Penelitian  Kopi Dan Kakao Indonesia, 12  (2) : 70 – 78.
Angkapradipta,    P.,    T.    Warsito,  M.S.  Nurdin.    1988.   Tanggap  Tanaman  Kakao  Lindak  Upper  Amazon Hybrid    Terhadap    Pemupukan    N,  P  Dan  K  Pada Tanah Latosol.  Menara Perkebunan, 56 (1) : 2 - 8.
BPS Indonesia 2012 (www.bps.go.id)
BPS NTT 2012 (www.ntt.bps.go.id)
Budiarti Tati Dan Yulmiarti. 1997. Pengaruh Dosis Fungisida Dan Periode Penyimpanan Terhadap Viabilitas Benih Kakao. Bul. Agron. 25 (3) : 7 – 14.
Chairani Hanum. 2008. Teknik Budidaya Tanaman. Buku Ajar. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta.
Dirjen PKH. 2012. Limbah Kakao Sebagai Alternative Pakan Ternak. Leaflet. Direktorat Pakan Ternak. Direktur Jenderal Peternakan Dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian.
Hartati Erna. 1998. Suplementasi Minyak Lemuru Dan Seng Ke Dalam Ransum Sapi Yang Mengandung Silase Pod Kakao Dan Urea Untuk Memacu Pertumbuhan Sapi Holstein Jantan. Disertasi. Program pasca sarjana. Ipb. Bogor.
Hesti Wahyuni Tri, Iskandar Sembiring, Dan Wina J. Sihombing. 2008. Tape Kulit Buah Kakao Sebagai Pakan Kambing Boerka. Jurnal Agribisnis Peternakan 4 (2) : 65 – 68.
Islamiyati R. 2010. Kecernaan Bahan Kering In Vitro Kulit Buah Kakao Yang Direndam Dengan Larutan Basa Yang Berbeda. JITP 1 (1) : 43-47
Kurniawati Ani, Ade Wachjar, Dan Anita Th. Sinaga. 1998. Pengaruh Pupuk Boron (B) Dan Seng (Zn) Terhadap Layu Pentil Dan Buah Kakao Yang Dapat Dipanen. Bul. Agron. 26 (3) : 8 – 12.
Laconi Erika Budiarti. 1998. Peningkatan Mutu Pod Kakao Malalui Amoniasi Dengan Urea Dan Biofermentasi Dengan Phanerochaete Sheysosporium Serta Penjabarannya Ke Dalam Formulasi Ransum Ruminansia. Disertasi. Program pasca sarjana. Ipb. bogor
Limbongan Jermia. 2011. Kesiapan Penerapan Teknologi Sambung Samping Untuk Mendukung Program Rehabilitasi Tanaman Kakao. Jurnal  Litbang  Pertanian,  30 (4) : 156 – 163.
Lingga,  P.  1999.Petunjuk Penggunaan  Pupuk.  Penebar Swadaya.  Jakarta.
Priyanto, D., A. Priyanti dan I. Inonu. 2004. Potensi Dan Peluang Pola Integrasi Ternak Kambing Dan Perkebunan Kakao Rakyat. Pemda Lampung.
Puastuti Wisri; D. Yulistiani dan Supriyati. 2008. Ransum Berbasis Kulit Buah Kakao Diperkaya Mineral : Tinjauan Pada Kecernaan Dan Fermentasi Rumen In Vitro. Seminar Nasional teknologi Peternakan dan Veteriner. hal 442-448
Puastuti Wisri, Dwi Yulistiani, I Wayan Mathius, Fransiscus Giyai, Dan Elis Dihansih. 2010. Ransum Berbasis Kulit Buah Kakao Yang Disuplementasi Zn Organik: Respon Pertumbuhan Pada Domba. Jitv 15 (4) : 269-277
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. 2004. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Sari Ria Puspita. 2012. Pemanfaatan Kulit Buah Kakao Sebagai Pakan ternak. Skripsi. Univeritas Bengkulu. Bengkulu
Sianipar Junjungan dan K. Simanhuruk. 2009. Performans Kambing Sedang Tumbuh Yang Mendapat Pakan Tambahan Mengandung Silase Kulit Buah Kakao. Seminar nasional teknologi peternakan dan veteriner. hal 435-441
Syahrir dan Maleka Abdeli. 2005. Analisis Kandungan Zat-Zat Makanan Kulitbuah Kakao Yang Difermentasi Dengan Trichoderm Sp. Sebagai Pakan Ternak Ruminansia. Journal Agrisains 6 (3) : 157-165.
Wachjar Ade dan Luga Kadarisman. 2007. Pengaruh Kombinasi Pupuk Organik Cair dan Pupuk Anorganik serta Frekuensi Aplikasinya terhadap Pertumbuhan Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) Belum Menghasilkan. Bul. Agron. Bul. Agron. 35 (3) : 212 – 216.


2 komentar:

  1. panjang bangat gak kuat bacanya. hanya sampai di bab II aja

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaa,, yang penting sudah ada kemauan baca,, :)

      Hapus