Makalah
Produksi Ternak Gembala
by Made Sudarma
Prodi Ilmu Peternakan - Pps - Undana
Padang Penggembalaan Sapi di Sumba Timur |
Friday, 01 March 2013
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan
salah satu provinsi
di Indonesia yang memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah terutama dalam
pengembangan ternak di daerah tersebut. Ternak sapi merupakan salah satu ternak
potensial yang sedang dalam tahap pengembangan oleh pemerintah daerah yang mana
berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDRB) NTT mencapai Rp. 393 miliar
pada tahun 2009 yang berasal dari 58.392 ekor sapi yang diekspor dan 54051 ekor
ternak yang dipotong untuk konsumsi lokal (Statistik Peternakan 2009; dan 2010). Menurut hasil penelitian Jelantik dkk
(2007) dalam Mullik
dan Jelantik (2009) mencatat bahwa
sebagian besar ternak sapi Bali yang diekspor maupun dipotong untuk konsumsi lokal, bukan dihasilkan dari sistem peternakan yang produktif dan
efisien, melainkan dari sistem
peternakan tradisional dengan tingkat produktifitas yang rendah.
Ternak gembala merupakan aset
pemerintah daerah NTT yang potensial untuk dikembangkan selain dikarenakan
sebagian besar wilayah NTT yang merupakan lahan marginal dengan padang
penggembalaan yang sangat luas yakni 832,228 ha pada tahun 2010 (Statistik Peternakan, 2010) juga dikarenakan tidak
membutuhkan aplikasi teknologi yang susah diterapkan sehingga ternak gembala
sangat cocok diadopsi oleh masyarakat NTT. Salah satu ternak gembala yang banyak dipelihara di NTT
adalah sapi Bali. Menurut Mullik dan Jelantik (2009), terdapat beberapa faktor penting yang
menyebabkan penurunan produktifitas ternak sapi Bali di NTT.
1.2.
Rumusan
Masalah
Pernyataan Masalah :
Nusa Tenggara Timur memiliki aset yang sangat besar
berupa luas padang penggembalaan yang memungkinkan untuk pengembangan ternak
gembala seperti sapi Bali.
Namun, menurut Mullik dan
Jelantik (2009) terdapat faktor-faktor yang menyebabkan penurunan
produktifitas ternak sapi Bali di NTT.
Pertanyaan :
-
Faktor
– faktor apa saja yang mempengaruhi produktifitas ternak gembala seperti sapi
Bali di NTT ?
-
Bagaimana
teknik penanganan penurunan produktifitas ternak yang dapat dilakukan atau
disarankan di NTT ?
1.3.
Tujuan
-
Untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produktifitas ternak gembala seperti
sapi Bali di NTT.
- Untuk mengetahui teknik penanganan yang dapat
dilakukan/disarankan untuk menangani penurunan produktifitas ternak tersebut di
NTT.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Gambaran
Umum daya dukung dan kekurangan produksi ternak gembala di NTT
Ternak
Gembala termasuk dalam sistem peternakan ekstensif. Menurut Mullik dan Jelantik
(2009) mengatakan bahwa sistem peternakan ekstensif adalah teknik pemeliharaan
ternak (sapi Bali) yang digembalakan pada siang hari dan dikandangkan pada
malam hari, maupun yang dilepas bebas di padang atau di hutan dan hanya
dikumpulkan oleh pemiliknya pada saat tertentu saja. Walaupun demikian, ternak
gembala memegang peranan penting terutama dalam hal jumlah ternak yang
diproduksi yang mana sebagian besar berasal/dimiliki oleh peternak yang
mengadopsi sistem peternakan tradisional dengan tingkat produktifitas yang
rendah (Jelantik dkk, 2007 dalam Mullik dan Jelantik, 2009). Sehingga
dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak dalam menyusun suatu pedoman
pemeliharaan ternak gembala yang cocok dikembangkan di NTT.
Nusa
Tenggara Timur (NTT) merupakan daerah yang potensial dan lebih cocok diarahkan
ke sistem ternak gembala karena memiliki sejumlah padang penggembalaan yang
sangat luas yakni 832.228 ha yang dipimpin oleh kabupaten Sumba Timur (215.799
ha) diikuti oleh kabupaten Kupang, TTS, dan TTU berturut-turut 159.526 ha,
114.396 ha dan 86.339 ha (Statistik Peternakan, 2010). Namun data tersebut masih belum
menjamin produksi ternak gembala karena menurut laporan Team Undana (2007)
bahwa kapasitas tampung padang penggembalaan di NTT sangat minim rata-rata 0,3
UT/ha dimana kabupaten Kupang, Sumba Timur, dan TTU masing-masing memiliki
kapastitas tampung sebesar 0,26 UT/ha; 0,21 UT/ha; dan 0,46 UT/ha. Hal ini
mengakibatkan rendahnya produktifitas ternak terutama pada musim hujan yang
memiliki kualitas protein pakan yang sangat rendah bagi kebutuhan ternak
gembala di padang rumput. Menurut hasil penelitian Jelantik (2001) dalam Mullik
dan Jelantik (2009) menyatakan bahwa kandungan protein kasar hijauan cukup baik
selama periode November-April, namun menurun secara drastis dibawah kebutuhan
minimum untuk hidup pokok ternak selama periode Mei-Oktober dan ketersediaan
bahan kering juga ikut menjadi masalah utama selama bulan September hingga
Desember.
Nusa
Tenggara Timur memiliki curah hujan yang relatif tinggi intensitasnya namun
hanya berlangsung pada periode waktu yang pendek sehingga akan berpengaruh
terhadap fluktuasi ketersediaan pakan di padang penggembalaan. Menurut Hau dkk.
(2005) menyatakan
bahwa ketersediaan hijauan rumput alam di NTT pada musim hujan (3-4 bulan)
berada dalam jumlah cukup bahkan berlebihan dan sebaliknya pada musim kemarau
(8-9 bulan) ketersediaan rumput alam masih cukup namun kualitasnya menurun
drastis karena
tingginya kandungan dinding sel NDF (neutral detergent fiber). Menurut hasil
penelitian Jelantik (2001) dalam Hau
dkk.
(2005) menunjukkan bahwa rumput alam di NTT pada musim kemarau memiliki dinding
sel NDF sebesar 58%-80% dengan kandungan protein kasar sebesar 2-3% dan tingkat
kecernaan mendekati 42%. Menurut Van Soest (1982) dalam Hau dkk. (2005) menyatakan bahwa rumput
dengan kandungan NDF yang tinggi tersebut akan memnurunkan kecernaan dimana umumnya rumput di daerah tropis mengandung
kadar lignin yang cukup tinggi sehingga sulit terdegradasi oleh mikroba rumen.
Rumput dengan kecernaan yang rendah akan menggangu produksi ternak terutama
karena ketersediaan protein khususnya nitrogen bagi mikroba rumen menjadi
terbatas dan ketersediaan zat-zat gizi yang lain juga akan berkurang (Beberjee,
1982 dalam Hau dkk.,
2005).
Ketersediaan
kuantitas dan kualitas rumput di padang penggembalaan yang minim pada musim
kemarau juga diteliti oleh Mullik dan Jelantik (2009), yang menyatakan bahwa
fluktuasi curah hujan terutama pada bulan Mei hingga Oktober yang cukup riskan
menyebabkan fluktuasi kuantitas dan kualitas hijauan di padang menjadi cukup
besar sehingga performans produksi dan reproduksi ternak gembala tidak optimal
seperti tingkat mortalitas ternak tinggi, calving interval yang panjang hingga calf crop yang rendah akibat defisiensi
nutrisi. Hal ini menjadi nyata apabila kita mencoba membandingkan antara sistem
cut and carry yang pada umumnya selalu mendapat makanan akan lebih
memperlihatkan bobot badan yang lebih baik dibandingkan sistem peternakan ekstensif
yang digembalakan. Menurut Mullik dan Jelantik (2009), dalam jangka waktu 3
tahun ternak yang dipelihara secara intensif mencapai bobot hidup 493 kg
sedangkan yang dipelihara secara ekstensif hanya mencapai berat 311 kg. Hal ini
diperkirakan karena adanya penurunan bobot badan ternak selama musim kemarau
sehingga rata-rata pertambahan bobot badan ternak menjadi kecil setiap
tahunnya.
2.2.
Permasalahan
penurunan produktifitas ternak gembala di NTT
Produktifitas
ternak gembala dalam hal ini ternak sapi Bali yang dipelihara secara ekstensif
cukup rendah karena adanya berbagai faktor yang saling berinteraksi dalam
mempengaruhi produktifitas ternak gembala. Faktor tersebut misalnya seperti
nutrisi, lingkungan, tatalaksana maupun penyebaran penyakit ternak di padang
penggembalaan di NTT. Menurut Mullik dan Jelantik (2009) terdapat 3
permasalahan utama yang menyebabkan produktifitas ternak sapi Bali sangat
rendah di NTT yakni angka kelahiran yang rendah, angka kematian pedet yang
tinggi dan rata-rata pertambahan bobot hidup yang rendah.
2.2.1.
Angka
kelahiran rendah
Menurut Mullik dan Jelantik (2009) menyatakan bahwa angka
kelahiran ternak sapi Bali cukup rendah yang bervariasi antara 44,3% - 98,3%
(rata-rata 70,7%) dari jumlah betina umur produktif. Lebih lanjut dikemukakan
bahwa faktor penyebabnya adalah adanya kehadiran jantan pemacek yang tidak
mencukupi, jumlah ternak dalam satu kelompok (herd size), proporsi betina tidak produktif dalam kelompok, dan
faktor neuro-hormonal (fotoperiodik)
bukan nutrisi.
Kehadiran jantan pemacek di padang penggembalaan sangat
penting karena perkawinan ternak gembala dilakukan melalui kawin alam. Hal ini
bertolak belakang dengan sistem pemasaran ternak oleh peternak yang mana
menjual ternak jantan dewasa atau muda yang unggul karena harganya yang tinggi
dibandingkan dengan menjual ternak jantan atau betina tua (afkir) dari populasi
ternaknya. Selain itu, faktor kepemilikan ternak juga ikut mempengaruhi angka
kelahiran yang rendah dimana peternak yang hanya memiliki ternak sedikit (<5
ekor) tidak merasa harus untuk memelihara pejantan sehingga ternak betinanya
akan dibiarkan dikawinkan oleh kelompok sapi lainnya yang kemungkinan memiliki
tampilan produksi yang kurang baik atau memiliki calving interval yang panjang
akibat tidak dikawini oleh ternak jantan. Proporsi betina tidak produktif dalam
suatu populasi juga ikut menentukan persentase angka kalahiran dimana biasanya
peternak di NTT tidak memperhatikan umur dari ternak betina yang dimilikinya
dan lebih menyayangi ternaknya yang sudah lama dipelihara serta lebih mengarah
kepada sistem penjualan ternak jika membutuhkan biaya/uang secara tunai
sehingga tidak melakukan culling apabila ternak betina yang dipelihara sudah
tidak produktif.
Hal terakhir yang paling menonjol untuk dibahas adalah
adanya faktor neuro hormonal bukan
nutrisi dari ternak sapi Bali gembala yang cukup spesial di NTT. Hal ini
dikarenakan ternak sapi Bali tidak akan sembarangan kawin dan melahirkan tetapi
melalui suatu fenomena tertentu. Menurut hasil pengamatan Mullik dan Jelantik
(2009) bahwa ternak sapi Bali umumnya mwnunjukkan pola kelahiran yang selalu
sama setiap tahun dimana akan melahirkan pada musim kemarau (Juni-Agustus) yang
berarti sudah kawin pada awal musim hujan (September-November) yang kuantitas
dan kualitas pakannya belum memadai serta dikemukakan juga bahwa adanya
peningkatan aktifitas dan intensitas birahi ternak betina (>80%) dipagi
harinya apabila terjadi hujan atau rintik dimalam sebelumnya. Hal ini
menandakan adanya suatu pola tetap yang terjadi pada ternak sapi Bali gembala
yang diasumsikan apabila ternak yang menyusui kemudian anaknya mati karena
kekurangan pakan di musim kemarau pada bulan Desember, maka ternak tersebut
tidak kawin dibulan tersebut tetapi akan menunggu hingga bulan September-November
yang tentu saja akan menurunkan angka kelahiran ternak.
2.2.2.
Angka
kematian tinggi
Menurut Wirdahayati et.al. (1994) dalam Hau dkk. (2004) menyatakan bahwa terdapat kematian anak sapi selama
peiode bulan Juli sampai Desember yang mencapai 30-50%. Hal ini juga diikuti
oleh pernyataan Pohan (2004) yang menyatakan bahwa tingkat kematian anak sapi
pada musim kemarau (6,6%) lebih tinggi dibandingkan pada musim hujan (2,5%).
Namun hasil penelitian terbaru memperlihatkan adanya tingkat kematian pedet
sapi Bali yang dipelihara secara ekstensif di NTT yang mencapai 35% memiliki
keunikan tertentu yakni adanya pola kematian yang terjadi pada dua puncak yakni
pada bulan pertama setelah dilahirkan pada musim kemarau dan diawal musim hujan
terutama anak sapi yang tubuhnya kurang baik (Mullik dan Jelantik, 2009). Lebih
lanjut dikemukakan bahwa faktor penyebab kematian anak sapi disebabkan oleh
stress nutrisi akibat kekurangan air susu induk dan pakan berkualitas dan
minimnya perhatian peternak terhadap anak sapi yang dimilikinya serta serangan
penyakit dan parasit.
Kematian pedet yang cukup tinggi ini berdampak terhadap
kerugian ekonomi bagi NTT dimana diasumsikan populasi induk 40% (80% ternak
induk dari 50% jumlah betina dalam
populasi) dari total populasi sapi 778.633 ekor pada tahun 2011 (BPS NTT, 2012),
tingkat kelahiran 70,7% dari total induk dan
tingkat kematian pedet 35% (Mullik dan Jelantik, 2009), serta harga
bakalan sekarang ini sekitar Rp. 2.000.000 / ekor, maka akan diperoleh kerugian
ekonomi yang diderita oleh peternak sapi Bali di NTT sekitar 154,1 mililar
rupiah per tahun akibat kematian pedet.
Kematian pedet yang tinggi pada saat lahir dikarenakan
adanya kekurangan nutrisi oleh ternak pedet yang diakibatkan oleh rendahnya
produksi susu ternak induk karena masih berada pada musim kemarau yang
kuantitas dan kualitas hijauan sangat rendah. Selain itu, perhatian peternak
juga sangat minim terhadap kondisi pedet dan induknya juga menjadi perhatian
utama karena pedet yang sudah minim konsumsi nutrisi harus ikut berjalan
bersama-sama dengan induk mengembara mencari makanan. Faktor terakhir yang ikut
mempengaruhi angka kematian ternak adalah serangan penyakit dan parasit, dimana
pada awal musim hujan ditandai dengan tingginya parasit yang hidup dan
berkembang sehingga pedet yang masih belum memiliki kekebalan tubuh yang
optimum karena konsumsi susu induk yang rendah menyebabkan pedet mudah
terserang penyakit dan parasit kemudian mati.
2.2.3.
Rata-rata
pertambahan bobot hidup rendah
Menurut hasil penelitian Mullik dkk. (2004) dalam Mullik
dan Jelantik (2009) menyatakan bahwa ternak yang diikat atau diberi pakan (cut
and carry) memiliki laju pertambahan bobot badan yang lebih baik (rata-rata
250g/hari) dibandingkan dengan yang hanya digembalakan (rata-rata 120 g/hari) yang
diamati selama tiga tahun. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Rubinho
yang disitasi Ginting dan Belli (1994) dalam Hau, dkk. (2005), bahwa adanya penyusutan bobot badan
ternak sapi Bali sebesar 20-50 kg/ekor selama musim kemarau dan adanya penyusutan
bobot badan ternak pada bulan Juli sampai Desember yang mencapai 0,4-0,5
kg/ekor/hari (Wirdahayati et. al., 1994 dalam Hau dkk., 2004).
Hal ini diperkirakan karena adanya curah hujan di NTT
yang tinggi intensitasnya namun pendek lama periodenya sehingga ternak akan
memiliki pertambahan bobot badan yang tinggi namun akan menurun bahkan terjadi
penyusutan bobot badan ternak pada musim kemarau yang panjang sehingga
rata-rata pertambahan bobot badan ternak sapi Bali di NTT tidak melebihi 0,2
kg/hari/tahun. Selain itu, pola kelahiran ternak yang umum terjadi pada musim
kemarau menyebabkan adanya bobot lahir yang rendah dan stress nutrisi pada awal
hidup dan pada musim kemarau selama masa hidupnya menyebabkan penurunan potensi
ternak untuk bertumbuh secara maksimal.
2.3.
Strategi
penanganan penurunan produktifitas ternak gembala di NTT
Penurunan produktifitas ternak gembala perlu ditangani
secara dini dengan berbagai metode dan kerjasama pemberdayaan peternak, dinas
dan perguruan tinggi serta bank karena bagaimanapun juga para peternaklah yang
memiliki ternak, dinas yang memiliki kebijakan, perguruan tinggi yang memiliki
ilmu dan bank yang memiliki dana. Pemberdayaan peternak sangat penting dalam
hal ini selain karena mereka memiliki ternak juga dikarenakan merekalah yang
akan mengimplementasikan hasil pemikiran dan perguruan tinggi dan dinas
sehingga sangat penting dilakukan penyuluhan-penyuluhan berkaitan dengan
strategi pengembangan ternak gembala di NTT.
2.3.1.
Strategi
peningkatan angka kelahiran ternak
Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa angka
kelahiran ternak cukup rendah sehingga dibutuhkan strategi penanganan yang
tepat dan dapat dilakukan oleh peternak. Menurut Mullik dan Jelantik (2009), strategi
peningkatan angka kelahiran pada sistem peternakan ekstensif dapat dilakukan
dengan cara menjamin kecukupan jantan pemacek termasuk membuat kandang kolektif
untuk kelompok ternak yang kecil dan menyingkirkan ternak betina yang secara
reproduksi sudah tidak produktif.
Dengan menjamin kecukupan jantan pemacek pada kelompok
ternak gembala yang cukup besar maupun menggabungkan kelompok ternak yang kecil
dalam suatu kandang kelompok agar dapat diseleksi ternak jantan pemacek yang
produktif sehingga dapat meningkatkan angka kelahiran ternak dari populasi
tersebut. Selain itu, penyingkiran ternak betina yang sudah tidak produktif
secara reproduksi akan menurunkan jumlah pembilang ternak betina dalam populasi
sehingga akan meningkatkan angkat kelahiran ternak. Kedua hal ini tidak sulit
dilakukan oleh peternak dan tidak membutuhkan biaya yang besar dalam
pelaksanaanya, kecuali kerjasama diantara para peternak kecil dalam membentuk
suatu kelompok ternak dan mau mengubah pola pikir dengan mengganti menjual
ternak jantan dewasa manjadi menjual ternak betina maupun jantan yang tidak produktif
(afkir).
2.3.2.
Strategi
penurunan angka kematian ternak
Angka kematian yang tinggi pada pedet sapi Bali sangat
penting untuk ditangani sehingga angka kelahiran yang sudah diperoleh tinggi
tidak hancur begitu saja dikarenakan oleh angka kematian yang tinggi akibat
stress nutrisi, kelelahan maupun parasit. Menurut Mullik dan Jelantik (2009),
menyatakan bahwa strategi yang tepat dalam menangani kematian pedet sapi Bali
di NTT adalah dengan pemberian pakan suplemen bagi pedet yang diikuti dengan
pengandangan pedet pada siang hari ketika induk mencari makan di padang, yang mana
dapat menekan kematian pedet hingga 0%. Hal ini sangat penting dan strategis
untuk menekan kematian pedet karena pedet mendapatkan nutrisi tambahan yang
belum maksimal diperoleh dari susu induk, pedet terhindar dari kelelahan dan
ancaman binatang buas serta parasit dan induk dapat dengan bebas mencari makan tanpa
kuatir dengan keselamatan anaknya. Namun hal berikut yang paling penting adalah
bagaimana cara mengubah main set
peternak dalam mengubah pola pemeliharaan yang membiarkan pedet kekurangan
nutrisi bersama induknya di padang menjadi mulai mengandangkan pedet dan
memberi pakan suplemen agar keselamatan pedet dapat terjaga dengan baik.
2.3.3.
Strategi
peningkatan pertambahan bobot badan ternak
Pertambahan bobot badan ternak perlu dijaga kestabilannya
agar dapat diperoleh rata-rata pertambahan bobot badan ternak yang cukup tinggi
bagi ternak gembala di padang rumput. Menurut Mullik dan Jelantik (2009)
menyatakan bahwa stress nutrisi yang dialami pedet dan ternak sapi Bali semasa
hidupnya dapat di atasi dengan menggunakan dua macam strategic feeding yakni strategi pemberian suplemen pada pedet dan
strategi pemberian low cos suplement bagi
kelompok ternak.
Strategi pemberian pakan pada pedet sangat penting untuk
menjaga kelangsungan hidupnya dan meningkatkan pertambahan bobot badan dari
pedet itu sendiri sedangkan pemberian pakan alternatif yang murah kepada
kelompok ternak dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan hidup ternak pada musim
kemarau. Pemberian pakan suplementasi yang murah dapat berupa pakan alternatif
yang diintegrasikan dengan limbah tanaman pertanian dan perkebunan maupun
penggunaan leguminosa pohon seperti lamtoro yang tersedia sepanjang tahun
minimal untuk tetap menjaga kondisi tubuh ternak agar tidak menyusut secara
berlebihan. Namun, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya diperlukan
perubahan pola pikir masyarakat yang sangat ekstensif menjadi lebih fleksibel
dan tertuju pada penyelamatan ternak yang dimilikinya agar lebih produktif dan
bernilai jual tinggi.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Simpulan
Adapun simpulan yang dapat diambil berdasarkan pembahasan
diatas adalah sebagai berikut :
-
Ada
empat faktor yang mempengaruhi produktifitas ternak yang saling berinteraksi
yakni nutrisi, lingkungan, tatalaksana dan penyebaran penyakit yang mana akan
mempengaruhi faktor utama penurunan produktifitas ternak di NTT seperti tingkat
kelahiran yang rendah, tingkat kematian yang tinggi dan rata-rata pertambahan
bobot badan yang rendah.
-
Ada
banyak hal yang dapat dilakukan dalam mengatasi permasalahan yang ada di padang
penggembalaan seperti dengan cara penyediaan jantan pemacek, penyingkiran
betina tidak produktif, mengandangkan dan memberikan pakan suplemen bagi pedet
dan memberikan paka suplemen yang murah dengan cara integrasi dengan limbah
pertanian maupun penggunaan pakan leguminosa pohon bagi kelompok ternak pada
masa musim kemarau.
3.2.
Saran
- Dibutuhkan lebih banyak data untuk menggali model
pengembangan ternak gembala yang cocok dan dapat diterapkan terutama bagi
ternak sapi di daerah NTT.
- Dibutuhkan adanya partisipasi bagi mahasiswa dalam
membangun pola pikir masyarakat peternak yang masih belum memberikan kontribusi
yang layak dalam pengembangan ternaknya dibandingkan dengan apa yang dapat
mereka peroleh dari ternak tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Mulik Marthen dan I Gusti N.
Jelantik. 2009. Strategi Peningkatan Produktivitas Sapi Bali Pada Sistem
Pemeliharaan Ekstensif di Daerah Lahan Kering : Pengalaman Nusa Tenggara Timur. Disampaikan pada Seminar Nasional
Pengembangan Sapi Bali Berkelanjutan Dalam Sistem Peternakan Rakyat. Mataram.
Statistik Peternakan. 2009. Dinas Peternakan
Provinsi Nusa
Tenggara Timur 2010. Kupang.
Statistik Peternakan. 2010. Dinas Peternakan
Provinsi Nusa
Tenggara Timur 2011. Kupang.
Team Undana. 2007. The Genetics Qulity of Bali Cattle In East Nusa Tenggara.
Report of Research and Development Center of Bali Cattle. Undana. Kupang.
MAKALAH
PRODUKSI
TERNAK GEMBALA
‘Permasalahan
Produksi Ternak Gembala di NTT’
NAMA :
I MADE ADI SUDARMA
NIM :
1211010006
SEMESTER :
II (DUA)
PRODI :
ILMU PETERNAKAN
6
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar