MAKALAH
MANAJEMEN
SUMBER DAYA PETERNAKAN
(Pengembangan Agribisnis Sapi Potong Melalui Penerapan  IPTEK Terpadu Guna Mendukung Program Sistim
Inovasi Daerah Nusa Tenggara Timur)
Sapi Potong
OLEH
MATHILDA
M. SADIPUN
MADE SUDARMA
PROGRAM
STUDI ILMU PETERNAKAN
PROGRAM
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS
NUSA CENDANA
KUPANG
2012
download paper here
download presentation here
PENDAHULUAN
Latar Belakang 
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
sampai saat ini memiliki tingkat kemampuan pasokan produksi daging sapi
relatif  rendah  dibandingkan pertumbuhan  permintaan daging  sapi yang 
terus  meningkat. Hal  ini 
menyebabkan wilayah  Provinsi  NTT menjadi salah satu pasar daging sapi yang
sangat terbuka bagi wilayah lain. Kesenjangan antara  produksi 
dan  kebutuhan  daging 
sapi  di  Provinsi 
NTT merupakan  tantangan
sekaligus  peluang  yang 
cukup  besar  bagi 
subsektor  peternakan  sehingga 
mampu memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi di Provinsi NTT.
Potensi  wilayah  dan 
daya  dukung  lahan 
di  Provinsi  NTT 
sangat  mendukung  dalam pengembangan ternak  sapi 
potong. Data dari Dinas 
Peternakan  Provinsi NTT tahun 2011,
potensi wilayah dan daya dukung lahan di Provinsi NTT diperkirakan masih  dapat 
menampung ternak  sapi  sebanyak 
2.664.819  Satuan  Ternak 
(ST)  dan  baru dimanfaatkan  sebesar 
259.545  ST,  sehingga 
masih  terdapat  peluang pengembangan ternak sapi potong
sebesar 2.405.274 ST. Peluang lain dalam pengembangan sapi potong di Provinsi
NTT  diantaranya:  jumlah 
penduduk  ±  4.223.833 
jiwa  pada  tahun 
2011 merupakan konsumen yang besar dan masih tetap tumbuh sekitar 1,1%
per tahun, kondisi geografis  dan  sumber 
daya  alam  wilayah 
NTT  yang  mendukung 
usaha  dan  industry peternakan  serta 
meningkatnya  kesadaran  dan 
pengetahuan  masyarakat  tentang pentingnya gizi. 
Menurut Daryanto (2007),
permasalahan utama agribisnis sapi potong adalah penurunan  populasi 
yang  terus-menerus  setiap 
tahun.  Program  yang 
selama  ini  tidak 
memberikan dampak  yang  meyakinkan 
pada  penyelamatan ternak  potong. 
Permasalahan  penurunan
populasi  sapi  potong 
dimana jumlah pemotongan yang tinggi dan angka kelahiran yang rendah
Permasalahan lain yang  dihadapi 
dalam  pengembangan  ternak 
sapi  potong  di 
Provinsi NTT  adalah:  pemotongan 
sapi  betina  produktif, 
masyarakat  peternak  masih memposisikan  diri 
sebagai pemelihara, skala 
peternakan  sapi  potong 
yang masih  kecil dan  berpencar-pencar, peternak  masih 
cenderung  melakukan  pengembangbiakan  ternak sapi 
dengan  pola  tradisional 
(kawin  alam)  sehingga 
penggunaan  teknologi  Inseminasi Buatan (IB) serta teknologi
transfer embrio masih kurang optimal.
Konsep pembangunan agribisnis yang
berdaya saing dalam kaitan dengan otonomi daerah harus diwujudkan dalam bentuk
dukungan  kebijakan pemerintah  yang 
setidaknya mencakup  empat  hal 
berikut: (1)  menciptakan
iklim  kondusif  bagi 
pengembangan agribisnis; (2) 
menciptakan  peran  yang lebih 
tinggi  bagi  agribisnis 
dan  petani  kecil; (3) memperkuat  kelembagaan; dan  (4) 
melakukan  investasi  dalam 
infrastruktur publik dan sumber daya manusia (SDM) di bidang agribisnis (Tampubolon.,
2002). Ditinjau  dari sisi pembangunan
peternakan  sapi  potong 
di  Provinsi  NTT yang 
dilaksanakan  oleh  Dinas 
Peternakan  Provinsi  NTT 
sebagai  unsur  pelaksana pemerintah daerah  di 
bidang pembangunan peternakan 
dan  swasta  selama ini 
dirasakan  belum menunjukkan  kinerja 
yang  optimal.  Berdasarkan 
potensi,  peluang  dan 
permasalahan dalam pengembangan ternak sapi potong di Provinsi  NTT, 
maka dipandang perlu untuk merumuskan 
suatu  strategi agribisnis  yang 
tepat  dalam  pengembangan 
peternakan  sapi  potong 
di Provinsi NTT yang melibatkan peran serta dari peternak, perusahaan
swasta, perbankan, pemerintah 
daerah,  serta  kalangan 
perguruan  tinggi  secara 
berkesinambungan  dan
berkelanjutan. 
Tujuan 
Makalah ini dibuat untuk menyusun  alternatif 
strategi  Pengembangan
Agribisnis Sapi Potong Melalui Penerapan 
Iptek Terpadu Guna Mendukung Program Sistim Inovasi Daerah Nusa Tenggara
Timur
PEMBAHASAN
Potensi Daerah
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
Tabel 1: Populasi Ternak Sapi Bali di NTT
| 
   
Tahun 
 | 
  
   
Populasi
  Ternak Sapi Bali di NTT 
 | 
 
| 
   
2007 
 | 
  
   
555383 
 | 
 
| 
   
2008 
 | 
  
   
566464 
 | 
 
| 
   
2009 
 | 
  
   
577552 
 | 
 
| 
   
2010 
 | 
  
   
599279 
 | 
 
| 
   
2011 
 | 
  
   
778633 
 | 
 
BPS NTT, 2012
Grafik
1: Populasi Ternak Sapi
Bali di NTT
Tabel
2. Luasan padang penggembalaan pada setiap kabupaten di NTT
| 
   
No. 
 | 
  
   
Kabupaten 
 | 
  |
| 
   
1. 
 | 
  
   
Kupang 
 | 
  
   
227.400 
 | 
 
| 
   
2 
 | 
  
   
TTS 
 | 
  
   
 58.243 
 | 
 
| 
   
3 
 | 
  
   
TTU 
 | 
  
   
86.399 
 | 
 
| 
   
4 
 | 
  
   
Belu 
 | 
  
   
24.010 
 | 
 
| 
   
5 
 | 
  
   
Alor 
 | 
  
   
7.149 
 | 
 
| 
   
6 
 | 
  
   
Lembata 
 | 
  
   
23.255 
 | 
 
| 
   
7 
 | 
  
   
Flotim 
 | 
  
   
33.291 
 | 
 
| 
   
8 
 | 
  
   
Sikka 
 | 
  
   
19.389 
 | 
 
| 
   
9 
 | 
  
   
Ende 
 | 
  
   
910 
 | 
 
| 
   
10 
 | 
  
   
Ngada 
 | 
  
   
15.193 
 | 
 
| 
   
11 
 | 
  
   
Manggarai 
 | 
  
   
77.089 
 | 
 
| 
   
12 
 | 
  
   
Sumba Timur 
 | 
  
   
215.797 
 | 
 
| 
   
13 
 | 
  
   
Sumba Barat 
 | 
  
   
83.635 
 | 
 
| 
   
14 
 | 
  
   
Rote Ndao 
 | 
  
   
16.513 
 | 
 
| 
   | 
  
   
Total NTT 
 | 
  
   
888.273 
 | 
 
BPS NTT, 2012
Provinsi NTT mempunyai potensi yang sangat besar sebagai daerah
pengembangan ternak sapi dan ternak ruminansia lainnya. Hal ini tercermin dari
masih banyaknya lahan semak belukar/alang-alang dan rumput yang mencapai 888.273 ha. Jika luasan lahan tersebut dapat
dimanfaatkan secara efisien maka NTT dapat meningkatkan produktivitas ternak
dan kesejahteraan petani-peternak. 
Dengan potensi yang ada maka upaya yang akan dilakulan dalam pengembangannya
adalah dengan penerapan sistem agribisnis terpadu.
STRATEGI INOVASI IPTEK BERBASIS AGRIBISNIS DALAM PENGEMBAGAN PETERNAKAN
DI NTT:
Gambar Ilustrasi 1. Desain Pengembangan
Agribisnis peternakan  sapi   berbasis Inovasi IPTEK di NTT (Jelantik.
I.G.N 2007)
Gambar Ilustrasi 1. Desain pengelolaan padang penggembalaan dan
pengolahan pakan berbasis agribisnis inovasi IPTEK di NTT (Jelantik.
I.G.N 2007)
a)        
Strategi pengembangan usaha ternak sapi
potong  melalui penerapan kawasan
peternakan terpadu (cluster) yang ditunjang oleh tersedianya
subsistem-subsistem dalam agribisnis peternakan sapi potong dari subsistem hulu
hingga hilir serta jasa penunjang. 
Perumusan  strategi ini didasarkan pada potensi daerah
yang terdapat di Provinsi NTT untuk memanfaatkan peluang yang ada dalam  pengembangan 
ternak  sapi  potong 
berwawasan  agribisnis  di 
Provinsi NTT (Parimartha, dkk. 2002). Pengembangan dan  peningkatan 
kawasan peternakan terpadu sapi 
potong ini dilakukan secara bertahap 
dan berkesinambungan, sehingga 
mengarah  kepada
wilayah/daerah  yang  berkembang, mandiri dan  memiliki nilai ekonomis. (Rangkuti,  F. 
2005)
Penerapan strategi ini di Provinsi  NTT dapat dilakukan dengan penerapan sistem agribisnis
sebagai berikut:
a.     
SUBSISTEM HULU
Pengembangan agribisnis subsistem
hulu merupakan subsistem  agribisnis yang
melakukan kegiatan ekonomi untuk menghasilkan dan memperdagangkan sarana
produksi ternak (sapronak), jenis usaha pembibitan (dengan pemanfaatan
teknologi rerpoduksi yaitu Inseminasi Buatan (IB), industri pakan ( pengelolaan
padang penggembalaan, pengolahan pakan dalam bentuk Hay, silase dan amoniasi
serta pemanfatan limbah pertanian sebagai pakan dengan metode fermentasi),
industri obat-obatan, dan industri penyedia peralatan ternak. 
Pengembangan agribisnis subsistem
hulu dalam inovasi IPTEK penerapan 
kawasan  peternakan terpadu sapi
potong (cluster) adalah:
1.     
Village Breeding Center (VBC);
Pengembangan Village  Breeding Center (VBC) dapat dilakukan  di 
Provinsi NTT  karena  didukung 
oleh  sumber daya alam yang  baik, 
sumber  air  serta tersedianya  sumber 
pakan  dan  lahan (Gafar, S. 2003). Hal ini  ditunjang 
oleh  luasnya  lahan perkebunan di Provinsi  NTT sebesar 
888.273  Ha  pada 
tahun  2011  (BPS, 2011). Kebijakan pengembangan  usaha 
pembibitan  sapi  potong diarahkan pada suatu  kawasan dengan penerapan system reproduksi
secara Inseminasi Buatan (IB) dan Embrio Transfer, baik kawasan khusus  maupun 
terintegrasi dengan komoditi lainnya 
serta terkonsentrasi di suatu 
wilayah  untuk mempermudah
pembinaan, bimbingan, dan  pengawasan
dalam pengembangan usaha pembibitan sapi potong yang baik (Good breeding
practice). 
2.     
Pembangunan pastura dan pengolahan pakan di
kawasan pembibitan dan penggemukan sapi potong.
Pembangunan  pastura 
di  kawasan  pembibitan 
dan  penggemukan  sapi 
potong bertujuan untuk pengembangan 
potensi  sumber  hijauan 
dalam  mendukung penyediaan
pakan  hijauan  dengan penerapan teknologi sederhana seperti
pembuatan Hay, Silase dan amoniasi untuk 
pengembangan kawasan  terpadu  ternak 
sapi potong (Jelantik. I.G.N., 2007)
3.     
Pembangunan sarana dan prasarana pada kawasan
pembibitan dan penggemukan.
Pembangunan sarana  dan 
prasarana  pada  kawasan 
pembibitan  dan penggemukan  seperti: pembangunan puskeswan, laboratorium Inseminasi
Buatan  (IB) dan Transfer Embrio,  kandang, 
jalan  dan  peralatan 
pendukung  lainnya,  bertujuan 
untuk mendukung  kegiatan
pengembangan kawasan tersebut.
b.     
SUBSISTEM USAHA BUDI DAYA
Program  pengembangan 
usaha budi  daya  ternak 
sapi  potong  di Provinsi 
NTT melalui  penerapan  kawasan 
peternakan  terpadu  dimaksudkan untuk   mendukung perkembangan  usaha 
peternakan  sapi  potong 
yang  sudah ada  serta menumbuhkembangkan  usaha 
baru  yang  bergerak 
di  hulu  dari agribisnis peternakan sapi potong.
Pengembangan agribisnis subsistem usaha budi daya kawasan peternakan sapi
terpadu adalah sebagai berikut: 
1.     
Pengembangan kawasan khusus penggemukan sapi
potong;
Pengembangan  Pengembangan 
kawasan  khusus  ini bertujuan 
meningkatkan produktivitas 
dan  kualitas  dari 
hasil  ternak  sapi 
potong  yang  digemukkan, dengan penerapan system integrasi
agroforestri yang dimana disediakan pakan suplemen guna mempersingkat waktu
penggemukan dan penggemukan system feedlot (Jelantik. I.G.N., 2007). Dengan  pengembangan 
kawasan  khusus  sapi 
potong  diharapkan  dapat 
memenuhi  permintaan  daging 
sapi  di  Provinsi 
NTT  dan  bahkan 
dapat memenuhi permintaan ekspor dari negara-negara tetangga. 
2.     
Pengembangan kawasan peternakan sapi
terintegrasi dengan tanaman; 
Integrasi  hewan 
ternak  dan  tanaman 
dimaksudkan  untuk  memperoleh   
hasil usaha yang optimal, dan dalam rangka memperbaiki kondisi kesuburan
tanah. Interaksi  antara  ternak 
dan  tanaman  haruslah saling  melengkapi, 
mendukung dan  saling  menguntungkan,  sehingga 
dapat  mendorong  peningkatan 
efisiensi produksi dan meningkatkan keuntungan hasil usaha taninya. 
c.      
SUBSISTEM HILIR 
Program  pengembangan 
agribisnis  subsistem  hilir 
kawasan  peternakan  sapi terpadu 
ini  dimaksudkan  untuk 
mengolah  hasil  peternakan 
sapi  potong  agar sesuai 
dengan  kebutuhan  konsumen 
sekaligus  membuka  kesempatan 
berusaha dan  bekerja  pada 
agribisnis  hilir  peternakan 
sapi  potong. Dalam  pengembangan 
agribisnis  subsistem  hilir 
kawasan peternakan sapi terpadu adalah sebagai berikut:
1.     
Pengembangan kawasan sentra produksi olahan
hasil ternak sapi potong;
Pengembangan  industri 
pengolahan  daging  sapi 
di  Provinsi  NTT 
dapat dilakukan dengan  membentuk
kawasan sentra-sentra penghasil olahan daging (se’i sapi, dendeng  sapi, 
kerupuk  kulit  sapi, 
kerajinan  kulit,  dan 
sebagainya). Pengembangan 
industri  rumah  tangga 
berbasis  daging  melalui 
kelompok  merupakan salah satu
cara pengembangan industri olehan dari daging sapi dan ikutannya.
2.     
Pengembangan Rumah Potong Hewan (RPH);
Pengembangan
Rumah  Potong  Hewan 
(RPH)  merupakan  faktor 
terpenting dalam  pengembangan
usaha agribisnis hilir dari ternak sapi 
potong. Dengan kondisi dan pelayanan RPH yang baik diharapkan dapat
menghasilkan daging sapi yang memenuhi standar aman, sehat, utuh dan halal
(ASUH). 
d.     
SUBSISTEM JASA PENUNJANG
Program  pengembangan 
agribisnis  jasa  penunjang 
kawasan  peternakan  sapi terpadu dimaksudkan untuk  menfasilitasi berkembangnya usaha-usaha
agribisnis ternak  sapi  potong 
baik di  hulu, budi  daya maupun 
hilir.  Program  dan 
kegiatan yang dapat dilakukan dalam program ini adalah: 
1.     
Penguatan SDM Peternakan;
Program ini dimaksudkan untuk
meningkatkan  kualitas  SDM 
agribisnis peternakan seperti peternak, vaksinator, inseminator,
penyuluh dan aparat pengelola 
pembangunan  peternakan.  Tujuan 
dari  program  dan 
kegiatan  ini adalah peningkatan
kemampuan manajerial peternak, keterampilan inseminasi bagi inseminator,
keterampilan vaksinasi bagi vaksinator, kemampuan penyuluh  peternakan, kemampuan promosi dan fasilitator
bagi aparat pengelola pengembangan agribisnis ternak sapi potong. 
2.     
Penguatan kelembagaan peternakan;
Penguatan 
kelembagaan  peternakan  dapat 
dilakukan  melalui eksistensi  Dinas Peternakan Provinsi dan Kabupaten/kota.
Tujuan peningkatan  kelembagaan
peternakan untuk memperjelas  tugas  dan 
fungsi  dari  dinas 
teknis  yang membidangi
peternakan. Dinas  Peternakan  Provinsi 
dan Kota/Kabupaten berfungsi sebagai motivator, fasilitator dan  regulator di 
subsektor peternakan. 
3.     
Distribusi dan transportasi;
Tujuan program distribusi dan transportasi
dalam pengembangan  agribisnis kawasan
peternakan ternak sapi potong adalah peningkatan pelayanan distribusi dan
transportasi peternakan sapi. 
b)       
Strategi Peningkatan  Koordinasi 
Dengan  Semua  Pihak 
Yang  Terkait (Stakeholders) Dalam
Memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA), Perkembangan Teknologi  Dan Informasi 
Dan  Jumlah  Rumah 
Tangga Yang  Banyak Untuk
Meningkatkan Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong.
Perumusan  strategi ini didasarkan pada  mengatasi 
kelemahan  yang  dimiliki 
masyarakat petani-peternak, 
swasta dan Dinas Peternakan Provinsi NTT untuk memanfaatkan peluang yang
ada  dalam pengembangan ternak  sapi 
potong  berwawasan agribisnis  di 
Provinsi NTT. Stakeholders 
yang  terlibat  dalam pembangunan  peternakan 
sapi  potong  tersebut 
harus  memiliki  peran 
yang  jelas dalam  pembangunan 
peternakan  sapi  potong 
tersebut. Stakeholders yang 
terkait dan berperan penting adalah: Dinas Peternakan Provinsi dan
Kabupaten/kota, Dinas Perindustrian 
dan  Perdagangan,  Badan 
Promosi  dan  Investasi, 
Dewan  Legislatif (DPRA  Tingkat 
I  dan  II), 
Perguruan  Tinggi,  Lembaga 
permodalan  dan peternak/swasta. 
Dinas  Peternakan Provinsi  dan Kabupaten/Kota  di  NTT
memiliki  peran  dalam 
pengembangan  usaha  ternak 
sapi  potong  sebagai 
insulator sekaligus  sebagai  regulator, oleh  karena 
itu  fungsi  dan 
kontribusinya  adalah
pembangunan  kebijakan  sektoral 
dan    penyedian  dana 
pengembangan.  Dinas
Perindustrian  dan  Perdagangan 
lebih  memiliki  peran 
pada  subsistem  hilir, 
yaitu pengembangan  industri  hasil 
olahan  daging  sapi 
dan  ikutannya  dan 
system perdagangan  dalam  maupun 
luar  negeri.  Badan 
Promosi  dan  Investasi 
berperan dalam  mempromosikan  peluang 
usaha  pengembangan  sapi 
potong  dan  produk-produk 
daging  sapi  dan 
olahan  lokal  dalam 
rangka  menarik  investor 
untuk menanamkan  modalnya  di 
usaha  ternak  sapi 
potong  di  Provinsi 
NTT. Dewan Legislatif  (DPRA  Tingkat 
I  dan  II) 
berperan  sebagai  pendukung 
dan  pengawasan dalam  kegiatan pengembangan usaha ternak sapi
tersebut. Perguruan Tinggi seperti Universitas Nusa Cendana yang berperan
sebagai konduktor oleh karena itu Perguruan Tinggi  harus 
mampu  menjadi  mitra 
inovatif  bagi  lembaga 
lain.  Pemberian  bantuan kredit  merupakan 
peran  yang  diemban 
oleh  lembaga  permodalan 
serta swasta/peternak 
berperan  sebagai  pelaku 
usaha  dalam  pengembangan 
ternak  sapi  potong di Provinsi NTT.
c)        
Strategi peningkatan  Sumber 
Daya  Manusia  peternakan 
(peternak,  penyuluh, inseminator,  paramedis) 
melalu  pola  pembinaan 
kelompok  peternak,  pelatihan- pelatihan,  magang 
dan  studi  banding 
dalam  upaya  meningkatkan 
motivasi, kemampuan penguasaan teknologi tepat guna dan manajerial dari
sdm peternakan. 
Perumusan  strategi ini didasarkan pada pengelolaan
kekuatan  yang  dimiliki masyarakat petani-peternak,  swasta dan 
dinas Peternakan  Provinsi  NTT 
untuk  mengantisipasi  ancaman yang 
ada  dalam  pengembangan 
ternak  sapi  potong 
berwawasan  agribisnis  di Provinsi NTT  Peningkatan 
Sumber  Daya  Manusia 
(SDM) Peternakan  khususnya  peternak, 
dilakukan  dengan  memberi 
penyuluhan-penyuluhan, 
pembinaan  intensif  kepada 
peternak,  pelatihan  dan 
peningkatan pengetahuan 
manajerial  dan  kelembagaan. 
Peningkatan  SDM  peternak, 
diharapkan agar  peternak  dapat 
mengelola  kelompok  atau 
koperasi  dengan  baik 
dan  lebih berperan  aktif 
dalam  menerima  penyuluhan 
yang  berhubungan  dengan pengembangan  permodalan, 
manajemen  usaha  ternak 
sapi  potong,  distribusi 
dan pemasaran  hasil,  serta 
mempunyai  daya  saing 
dalam  memasuki  era 
pasar  bebas. 
Peningkatan  penguasaan 
manajerial  dan  teknologi 
dapat  dilakukan  dengan 
cara mengadakan  pelatihan  teknologi 
tepat  guna  dan 
melaksanakan  magang  ke kelompok-kelompok ternak yang sudah maju
atau perusahaan peternakan. Peningkatan pengetahuan dari Tenaga Pelayanan
Peternakan (penyuluh, inseminator, paramedis) 
dan  mempersiapkan  kader-kader 
peternakan  tetap  perlu 
dilakukan, dikarenakan  pengetahuan  dan 
teknologi  di  bidang 
peternakan  akan  terus berkembang.  Peningkatan 
pengetahuan  Tenaga  Pelayanan 
Peternakan  (penyuluh,
inseminator,  paramedis)  dapat 
dilakukan  melalui  pendidikan 
formal  maupun  non formal. Sehubungan dengan kegiatan
agribisnis sapi potong diperlukan pengetahuan dan keterampilan tentang teknis
peternakan yang mencakup pemilihan lokasi, seleksi bibit,  pemeliharaan, 
pencegahan  penyakit,  penanganan 
pasca  panen  dan 
distribusi serta pemasaran.
d)       
Strategi  Penerapan  Pola 
Kemitraan  Usaha  Peternakan 
Sapi  Potong  Yang Berkesinambungan  Yang 
Dikontrol  Dengan  Baik 
Oleh  Dinas  Peternakan Provinsi Ntt Dan Kabupaten/Kota.
Perumusan  strategi ini 
didasarkan pada  mengatasi  kelemahan 
yang  dimiliki  masyarakat petani-peternak,  swasta dan 
Peternakan  Provinsi  NTT 
untuk  mengantisipasi  ancaman yang 
ada  dalam  pengembangan 
ternak  sapi  potong 
berwawasan  agribisnis  di Provinsi NTT  Kemitraan adalah kerjasama usaha antara
usaha  kecil  dan 
usaha  menengah  atau 
besar  yang  disertai 
dengan  pembinaan  oleh usaha menengah atau usaha besar
tersebut. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip  saling 
memerlukan,  saling  memperkuat 
dan  saling menguntungkan. Secara  ekonomi 
kemitraan  hendaknya  harus 
dapat  dijelaskan  dengan 
pemahaman berikut,  bahwa  esensi 
kemitraan  terletak  pada 
kontribusi  bersama,  baik 
berupa tenaga  (labour)  maupun 
benda  (proverty)  atau 
keduanya  untuk  tujuan 
kegiatan ekonomi.  Kemitraan  usaha  ditujukan  untuk 
menumbuhkan,  meningkatkan kemampuan
dan peranan usaha kecil dalam perekonomian nasional khususnya dalam
mewujudkan  usaha  kecil 
sebagai  usaha  yang 
tangguh  dan  mandiri 
yang  mampu menjadi  tulang 
punggung  dan  mampu 
memperkokoh  struktur  perekonomian 
daerah yang berbasis pada komoditi peternakan. 
Model kemitraan usaha ternak sapi
potong di Provinsi NTT harus melibatkan usaha besar  (inti), 
usaha  kecil  (plasma) 
dengan  melibatkan  bank 
sebagai  pemberi  kredit dalam 
suatu  ikatan  kerja 
sama  yang  dituangkan 
dalam  nota  kesepakatan. 
Hal  ini bertujuan  untuk 
meningkatkan  kelayakan  plasma, 
meningkatkan  keterkaitan  dan kerjasama yang saling menguntungkan
antara inti dan plasma, serta membantu bank dalam  meningkatkan 
kredit  usaha  kecil secara 
lebih  aman  dan 
efisien. Kemitraan dilaksanakan 
dengan  disertai  pembinaan 
oleh  perusahaan  inti, 
dimulai  dari penyediaan sarana produksi,
bimbingan teknis dan pemasaran hasil produksi. 
INOVASI TEKNOLOGI  BERBASIS SUMBER
DAYA LOKAL 
1.    Teknologi Reproduksi
Dewasa
ini, seiring dengan semakin berkembangnya teknologi, telah tersedia banyak
piilihan teknologi reproduksi yang dapat diterapkan pada ternak, seperti
intensifikasi kawin alam (INKA), inseminasi buatan (IB), fertilisasi in
vitro (FIV), transfer embrio (TE), clonning, transfer gen, dan
lainlain. Pemilihan teknologi reproduksi yang akan diterapkan harus
memperhatikan kondisi  obyektif peternak,
karena hal ini terkait dengan efektivitas dan efisiensi yang ditimbulkan akibat
penerapan teknologi tersebut. Melihat kondisi obyektif peternakan  tradisional kita di Nusa Tenggara Timur, maka
untuk saat ini teknologi IB dan INKA adalah pilihan yang tepat dibandingkan
dengan teknologi reproduksi lain. Penerapan teknologi reproduksi yang lebih
mutakhir belum mendesak karena di samping tingkat keberhasilan yang masih
rendah pada tingkat lapang, juga memerlukan tambahan biaya yang besar.
Sinkronisasi
(penyerentakan) estrus merupakan salah satu teknologi reproduksi yang sering
diterapkan untuk mendukung keberhasilan program IB. Dengan teknologi ini
sekelompok ternak yang memperoleh perlakuan khusus akan  emperlihatkan gejalagejala estrus dalam waktu
relatif serentak sekitar dua hari setelah perlakuan.Sekelompok ternak betina
yang estrus serentak akan memudahkan pelaksanaan IB yang pada akhirnya akan
meningkatkan efektifitas dan efisiensi manajemen peternakan secara keseluruhan.
Penerapan teknologi sinkronisasi estrus dan IB secara simultan terhadap ternak
dalam jumlah banyak akan meningkatkan efisiensi peternakan. Hal ini karena
dalam waktu bersamaan peternak akan 
memiliki sekelompok ternak bunting, melahirkan, dan umur anak yang
relatif seragam, sehingga memudahkan dalam proses pemeliharaan. Dengan demikian
peternak juga dapat mengatur waktu yang tepat kapan melakukan proses
perkawinan, terkait dengan permintaan pasar dan musim dimana ketersediaan pakan
hijauan yang cukup saat melahirkan dan menyusui anaknya, sehingga diharapkan
angka kematian pedet dapat dikurangi.
2.     
Sistim Integrasi Tanaman - Ternak. 
Sistem
Integrasi Tanaman-Ternak (SITT) dalam sistem usaha pertanian di Daerah Nusa
Tenggara Timur merupakan ilmu rancang bangun dan rekayasa sumber daya pertanian
yang tuntas. SITT pada dasarnya tidak terlepa sdari kaidah-kaidah ilmu usaha
tani yang berkembang lebih lanjut. Ilmu usaha tani itu sendiri merupakan suatu
proses produksi biologis yang memanfaatkan sumber daya alam, sumber daya
manusia, modal, dan manajemen yang jumlahnya terbatas. Karena sumber daya
tersebut jumlahnya terbatas maka penerapan SITT dalam proses produksi pertanian
tidak terlepas dari prinsip dan teori ekonomi. 
Berikut
ini hasil-hasil penelitian dan pengembangan dalam upaya meningkatkan pendapatan
petani melalui SITT dalam sistem usaha pertanian di beberapa daerah di Nusa
Tenggara Timur.
Dengan pola
usaha tani tanaman ternak petani mampu mengolah lahan 1,5-2,0 ha, yang biasanya
hanya mampu 0,7 ha. Di samping itu, pendapatan petani meningkat hampir dua kali
lipat. Bahkan kontribusi ternak terhadap pendapatan rumah tangga petani
menggeser tanaman pangan menjadi urutan kedua setelah karet (Gafar,  S. 
2003).
Model
usaha tani introduksi ini telahberkembang ke erdaerah-daerah , seperti
kabupaten Saai.ini telah dikembangkansistem usaha tani terpadu yang melibatkanternak,
baik sebagai komponen utama maupun penunjang di lahan marginaldengan tujuan
untuk meningkatkan pendapatan petani melalui inovasi teknologi (Marawali,  H.H. 2002)
Program
Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI) telah mampu meningkatkan
fungsi dan peran ternak secara signifikan dalam penyediaan pupuk, pemanfaatan
sisa/limbah pertanian, dan sumber pendapatan. Sistem integrasi tanaman-ternak
di lahan marginal, di  Nusa Tenggara
Timur, kini berkembang hampir di setiap kabupaten lokasi kegiatan P4MI (Whirdayati.,
et al  2001). Dengan demikian,lahan dan
teknologi usaha sapi potong sudah tersedia, tinggal bagaimana sebenarnya
kondisi, prospek, dan arah pengembangan sapi potong di Indonesia.
3.       
Inovasi teknologi Pengolahan
Pakan
Inovasi
teknologi pakan sudah banyak dihasilkan, terutama terkait dengan pengembangan
lumbung pakan (feed bank), strategi pemberian pakan yang ekomnomis(feedind
strategy), pengkayaan pakan (feed enrichments), pengembangan legume tree, atau
yang terkait dengan model tiga strata dan food feed system. Namun pengembangan
inovasi ini belum member dampak yang memadai, karena impor bahan pakan(unggas)
justru makin besar, terutama bungkil kedelei, jagung, tepung, ikan.
Bahan
pakan sumber serat juga banyak yang terbuang seperti jerami padi. Potensi pakan
ini harus dimanfaatkan sebagai basis pengembngan ternak, baik melalui suatu
inovasi teknologi, strategi pengembangan, atau kebijakan yang lebih berpihak
dalam menguatkan industri peternakan yang tangguh berbasis sumberdaya lokal.Pengembangan
inovasi teknologi berbasis bibit dan pakan lokal diharapkan mampu meningkatkan
daya saing produk peternakan, karena kontribusi pakan dan bibit dalam biaya
produksi sekitar 70-80%.
4.      Inovasi Teknologi Pengolahan Limbah Ternak.
Pengembangan
peternakan sapi potong akan terus meningkat sehingga alternative inovasi
teknologi pengolahan limbah ternak sapi sangat besar manfaatnya dalam
memperbaiki efisiensi penggunaan  energy
rumah tangga. Pada gilirannya, inovasi 
ini akan berdampak pada : 1). Efisiensi dalam n daya saing produk
2).keberlnjutan terkait dengan masalah kesuburan, 3).dampak lingkungan dalam
proses pengolahan limbah, 4).aspek social ekonomi yang berhubungan dengan
penyediaan biogas sebagai energy rumah tangga. Inovasi teknologi pengolahan
limbah ternak dapat menjadi benang merah dari hulu sampai ke hilir, yaitu :
1).petani termotivasi untuk  
mempertahankan kesuburan lahan pertanian dengan cara memperbaiki pola
budidaya dan mempertahankan kandungan bahan organik; 2). Penggunaan pupuk kima
dilakukan secara benar dan diimbangi dengan penambahan bahan organic (kompos
dari kotoran ternak sapi) yang mampu meningkatkan efisiensi  penggunaan pupuk dan menurunkan biaya
produksi; 3). Penggunan kompos membuka peluang pasar baru dan mendorong masyarakat
pedesaan untuk mengembangkan industry kompos dengan memelihara sapi; 4).usaha
pengolahan limbah ternak dapat dipandang sebagai usaha investasi yang tidak
terkena invlasi, mampu menciptakan lapangan kerja baru di pedesaan.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari Hasil analisis dengan
menggunakan matriks SWOT, diidentifikasi alternatif  strategi yang dapat diterapkan dalam  pengembangan agribisnis sapi potong melalui penerapan iptek
terpadu guna mendukung program sistim inovasi daerah nusa tenggara timur ,
yaitu:
(a)      
Pengembangan  usaha 
ternak  sapi  potong 
melalui  penerapan  kawasan 
peternakan terpadu  (cluster)  yang 
ditunjang  oleh  tersedianya 
subsistem-subsistem  dalam  agribisnis peternakan  sapi 
potong  dari  subsistem 
hulu  hingga  hilir 
serta  jasa  penunjang; 
(b)      
peningkatan  koordinasi 
dengan  semua  pihak 
yang  terkait  (stakeholders)  dalam memanfaatkan  Sumber Daya Alam (SDA),  perkembangan 
teknologi  dan  informasi 
dan jumlah  rumah  tangga 
peternak  yang  banyak 
untuk  meningkatkan  daya 
saing  usaha peternakan  sapi 
potong;  
(c)      
Peningkatan  Sumber 
Daya  Manusia  Peternakan 
(peternak, penyuluh,  inseminator,  paramedis) 
melalui  pola  pembinaan 
kelompok  peternak,
pelatihan-pelatihan,  magang  dan 
studi  banding  dalam 
upaya  meningkatkan  motivasi, kemampuan penguasaan teknologi
tepat  guna  dan 
manajerial  dari SDM peternakan;
dan 
(d)     
Penerapan pola
kemitraan usaha peternakan sapi potong yang berkesinambungan yang
dikontrol  dengan  baik 
oleh  Dinas  Kesehatan 
Hewan  dan  Peternakan 
Provinsi  NTT  dan kabupaten/kota.
Penentuan
prioritas strategi yang dilakukan dengan analisis QSPM, didapat strategi yang menjadi
prioritas utama yang dapat diimplementasikan dalam pengembangan ternak sapi
potong  berwawasan  agribisnis yaitu;  pengembangan 
usaha  ternak  sapi 
potong  melalui penerapan  kawasan 
peternakan  terpadu  (cluster) 
yang  ditunjang  oleh 
tersedianya subsistem-subsistem dalam agribisnis peternakan sapi potong
dari subsistem hulu hingga hilir serta jasa penunjang.
(e)      
Inovasi teknologi 
berbasis sumber daya lokal 
·        
Teknologi Reproduksi
·        
Sistim Integraasi Tanaman- Ternak. 
·        
Inovasi teknologi Pengolahan Pakan
·        
Inovasi Teknologi Pengolahan
Limbah Ternak.
Saran
Dalam  rangka 
pengembangan  ternak  sapi 
potong  berwawasan  agribisnis 
di  Provinsi NTT, lebih lanjut  disarankan adalah sebagai berikut:
1.     
Pengembangan  kawasan 
terpadu  peternakan  sapi 
potong  di  Provinsi 
NTT  harus dilakukan  secara 
bertahap  dan  berkesinambungan,  sehingga 
mengarah  kepada wilayah/daerah
yang berkembang, mandiri dan memiliki nilai ekonomis.
2.     
Pengidentifikasian
daerah pengembangan pembibitan maupun 
penggemukan  sapi potong dengan
memperhatikan ketersediaan pakan.

http://powerschool-reog.wix.com/powerschoolband
BalasHapusnot interested,,
Hapus