Jumat, 08 November 2013

MANAJEMEN SUMBER DAYA PETERNAKAN: Pengembangan Agribisnis Sapi Potong Melalui Penerapan IPTEK Terpadu Guna Mendukung Program Sistim Inovasi Daerah Nusa Tenggara Timur

AdiDharma17

MAKALAH
MANAJEMEN SUMBER DAYA PETERNAKAN

(Pengembangan Agribisnis Sapi Potong Melalui Penerapan  IPTEK Terpadu Guna Mendukung Program Sistim Inovasi Daerah Nusa Tenggara Timur)


Sapi Potong


OLEH
MATHILDA M. SADIPUN
MADE SUDARMA



PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2012



download paper here
download presentation here





PENDAHULUAN

Latar Belakang
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sampai saat ini memiliki tingkat kemampuan pasokan produksi daging sapi relatif  rendah  dibandingkan pertumbuhan  permintaan daging  sapi yang  terus  meningkat. Hal  ini  menyebabkan wilayah  Provinsi  NTT menjadi salah satu pasar daging sapi yang sangat terbuka bagi wilayah lain. Kesenjangan antara  produksi  dan  kebutuhan  daging  sapi  di  Provinsi  NTT merupakan  tantangan sekaligus  peluang  yang  cukup  besar  bagi  subsektor  peternakan  sehingga  mampu memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi di Provinsi NTT. Potensi  wilayah  dan  daya  dukung  lahan  di  Provinsi  NTT  sangat  mendukung  dalam pengembangan ternak  sapi  potong. Data dari Dinas  Peternakan  Provinsi NTT tahun 2011, potensi wilayah dan daya dukung lahan di Provinsi NTT diperkirakan masih  dapat  menampung ternak  sapi  sebanyak  2.664.819  Satuan  Ternak  (ST)  dan  baru dimanfaatkan  sebesar  259.545  ST,  sehingga  masih  terdapat  peluang pengembangan ternak sapi potong sebesar 2.405.274 ST. Peluang lain dalam pengembangan sapi potong di Provinsi NTT  diantaranya:  jumlah  penduduk  ±  4.223.833  jiwa  pada  tahun  2011 merupakan konsumen yang besar dan masih tetap tumbuh sekitar 1,1% per tahun, kondisi geografis  dan  sumber  daya  alam  wilayah  NTT  yang  mendukung  usaha  dan  industry peternakan  serta  meningkatnya  kesadaran  dan  pengetahuan  masyarakat  tentang pentingnya gizi.
Menurut Daryanto (2007), permasalahan utama agribisnis sapi potong adalah penurunan  populasi  yang  terus-menerus  setiap  tahun.  Program  yang  selama  ini  tidak  memberikan dampak  yang  meyakinkan  pada  penyelamatan ternak  potong.  Permasalahan  penurunan populasi  sapi  potong  dimana jumlah pemotongan yang tinggi dan angka kelahiran yang rendah
Permasalahan lain yang  dihadapi  dalam  pengembangan  ternak  sapi  potong  di  Provinsi NTT  adalah:  pemotongan  sapi  betina  produktif,  masyarakat  peternak  masih memposisikan  diri  sebagai pemelihara, skala  peternakan  sapi  potong  yang masih  kecil dan  berpencar-pencar, peternak  masih  cenderung  melakukan  pengembangbiakan  ternak sapi  dengan  pola  tradisional  (kawin  alam)  sehingga  penggunaan  teknologi  Inseminasi Buatan (IB) serta teknologi transfer embrio masih kurang optimal.
Konsep pembangunan agribisnis yang berdaya saing dalam kaitan dengan otonomi daerah harus diwujudkan dalam bentuk dukungan  kebijakan pemerintah  yang  setidaknya mencakup  empat  hal  berikut: (1)  menciptakan iklim  kondusif  bagi  pengembangan agribisnis; (2)  menciptakan  peran  yang lebih  tinggi  bagi  agribisnis  dan  petani  kecil; (3) memperkuat  kelembagaan; dan  (4)  melakukan  investasi  dalam  infrastruktur publik dan sumber daya manusia (SDM) di bidang agribisnis (Tampubolon., 2002). Ditinjau  dari sisi pembangunan peternakan  sapi  potong  di  Provinsi  NTT yang  dilaksanakan  oleh  Dinas  Peternakan  Provinsi  NTT  sebagai  unsur  pelaksana pemerintah daerah  di  bidang pembangunan peternakan  dan  swasta  selama ini  dirasakan  belum menunjukkan  kinerja  yang  optimal.  Berdasarkan  potensi,  peluang  dan  permasalahan dalam pengembangan ternak sapi potong di Provinsi  NTT,  maka dipandang perlu untuk merumuskan  suatu  strategi agribisnis  yang  tepat  dalam  pengembangan  peternakan  sapi  potong  di Provinsi NTT yang melibatkan peran serta dari peternak, perusahaan swasta, perbankan, pemerintah  daerah,  serta  kalangan  perguruan  tinggi  secara  berkesinambungan  dan berkelanjutan.

Tujuan
Makalah ini dibuat untuk menyusun  alternatif  strategi  Pengembangan Agribisnis Sapi Potong Melalui Penerapan  Iptek Terpadu Guna Mendukung Program Sistim Inovasi Daerah Nusa Tenggara Timur


PEMBAHASAN
Potensi Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
Tabel 1: Populasi Ternak Sapi Bali di NTT
Tahun
Populasi Ternak Sapi Bali di NTT
2007
555383
2008
566464
2009
577552
2010
599279
2011
778633
BPS NTT, 2012
Grafik 1: Populasi Ternak Sapi Bali di NTT
Tabel 2. Luasan padang penggembalaan pada setiap kabupaten di NTT
No.
Kabupaten
Luas (Ha)
1.
Kupang
227.400
2
TTS
 58.243
3
TTU
86.399
4
Belu
24.010
5
Alor
7.149
6
Lembata
23.255
7
Flotim
33.291
8
Sikka
19.389
9
Ende
910
10
Ngada
15.193
11
Manggarai
77.089
12
Sumba Timur
215.797
13
Sumba Barat
83.635
14
Rote Ndao
16.513

Total NTT
888.273
BPS NTT, 2012
Provinsi NTT mempunyai potensi yang sangat besar sebagai daerah pengembangan ternak sapi dan ternak ruminansia lainnya. Hal ini tercermin dari masih banyaknya lahan semak belukar/alang-alang dan rumput yang mencapai 888.273 ha. Jika luasan lahan tersebut dapat dimanfaatkan secara efisien maka NTT dapat meningkatkan produktivitas ternak dan kesejahteraan petani-peternak.  Dengan potensi yang ada maka upaya yang akan dilakulan dalam pengembangannya adalah dengan penerapan sistem agribisnis terpadu.
STRATEGI INOVASI IPTEK BERBASIS AGRIBISNIS DALAM PENGEMBAGAN PETERNAKAN DI NTT:
Gambar Ilustrasi 1. Desain Pengembangan Agribisnis peternakan  sapi   berbasis Inovasi IPTEK di NTT (Jelantik. I.G.N 2007)
Gambar Ilustrasi 1. Desain pengelolaan padang penggembalaan dan pengolahan pakan berbasis agribisnis inovasi IPTEK di NTT (Jelantik. I.G.N 2007)
a)         Strategi pengembangan usaha ternak sapi potong  melalui penerapan kawasan peternakan terpadu (cluster) yang ditunjang oleh tersedianya subsistem-subsistem dalam agribisnis peternakan sapi potong dari subsistem hulu hingga hilir serta jasa penunjang.
Perumusan  strategi ini didasarkan pada potensi daerah yang terdapat di Provinsi NTT untuk memanfaatkan peluang yang ada dalam  pengembangan  ternak  sapi  potong  berwawasan  agribisnis  di  Provinsi NTT (Parimartha, dkk. 2002). Pengembangan dan  peningkatan  kawasan peternakan terpadu sapi  potong ini dilakukan secara bertahap  dan berkesinambungan, sehingga  mengarah  kepada wilayah/daerah  yang  berkembang, mandiri dan  memiliki nilai ekonomis. (Rangkuti,  F.  2005)


Penerapan strategi ini di Provinsi  NTT dapat dilakukan dengan penerapan sistem agribisnis sebagai berikut:
a.      SUBSISTEM HULU
Pengembangan agribisnis subsistem hulu merupakan subsistem  agribisnis yang melakukan kegiatan ekonomi untuk menghasilkan dan memperdagangkan sarana produksi ternak (sapronak), jenis usaha pembibitan (dengan pemanfaatan teknologi rerpoduksi yaitu Inseminasi Buatan (IB), industri pakan ( pengelolaan padang penggembalaan, pengolahan pakan dalam bentuk Hay, silase dan amoniasi serta pemanfatan limbah pertanian sebagai pakan dengan metode fermentasi), industri obat-obatan, dan industri penyedia peralatan ternak.
Pengembangan agribisnis subsistem hulu dalam inovasi IPTEK penerapan  kawasan  peternakan terpadu sapi potong (cluster) adalah:
1.      Village Breeding Center (VBC);
Pengembangan Village  Breeding Center (VBC) dapat dilakukan  di  Provinsi NTT  karena  didukung  oleh  sumber daya alam yang  baik,  sumber  air  serta tersedianya  sumber  pakan  dan  lahan (Gafar, S. 2003). Hal ini  ditunjang  oleh  luasnya  lahan perkebunan di Provinsi  NTT sebesar  888.273  Ha  pada  tahun  2011  (BPS, 2011). Kebijakan pengembangan  usaha  pembibitan  sapi  potong diarahkan pada suatu  kawasan dengan penerapan system reproduksi secara Inseminasi Buatan (IB) dan Embrio Transfer, baik kawasan khusus  maupun  terintegrasi dengan komoditi lainnya  serta terkonsentrasi di suatu  wilayah  untuk mempermudah pembinaan, bimbingan, dan  pengawasan dalam pengembangan usaha pembibitan sapi potong yang baik (Good breeding practice).
2.      Pembangunan pastura dan pengolahan pakan di kawasan pembibitan dan penggemukan sapi potong.
Pembangunan  pastura  di  kawasan  pembibitan  dan  penggemukan  sapi  potong bertujuan untuk pengembangan  potensi  sumber  hijauan  dalam  mendukung penyediaan pakan  hijauan  dengan penerapan teknologi sederhana seperti pembuatan Hay, Silase dan amoniasi untuk  pengembangan kawasan  terpadu  ternak  sapi potong (Jelantik. I.G.N., 2007)
3.      Pembangunan sarana dan prasarana pada kawasan pembibitan dan penggemukan.
Pembangunan sarana  dan  prasarana  pada  kawasan  pembibitan  dan penggemukan  seperti: pembangunan puskeswan, laboratorium Inseminasi Buatan  (IB) dan Transfer Embrio,  kandang,  jalan  dan  peralatan  pendukung  lainnya,  bertujuan  untuk mendukung  kegiatan pengembangan kawasan tersebut.
b.      SUBSISTEM USAHA BUDI DAYA
Program  pengembangan  usaha budi  daya  ternak  sapi  potong  di Provinsi  NTT melalui  penerapan  kawasan  peternakan  terpadu  dimaksudkan untuk   mendukung perkembangan  usaha  peternakan  sapi  potong  yang  sudah ada  serta menumbuhkembangkan  usaha  baru  yang  bergerak  di  hulu  dari agribisnis peternakan sapi potong. Pengembangan agribisnis subsistem usaha budi daya kawasan peternakan sapi terpadu adalah sebagai berikut:
1.      Pengembangan kawasan khusus penggemukan sapi potong;
Pengembangan  Pengembangan  kawasan  khusus  ini bertujuan  meningkatkan produktivitas  dan  kualitas  dari  hasil  ternak  sapi  potong  yang  digemukkan, dengan penerapan system integrasi agroforestri yang dimana disediakan pakan suplemen guna mempersingkat waktu penggemukan dan penggemukan system feedlot (Jelantik. I.G.N., 2007). Dengan  pengembangan  kawasan  khusus  sapi  potong  diharapkan  dapat  memenuhi  permintaan  daging  sapi  di  Provinsi  NTT  dan  bahkan  dapat memenuhi permintaan ekspor dari negara-negara tetangga.
2.      Pengembangan kawasan peternakan sapi terintegrasi dengan tanaman;
Integrasi  hewan  ternak  dan  tanaman  dimaksudkan  untuk  memperoleh    hasil usaha yang optimal, dan dalam rangka memperbaiki kondisi kesuburan tanah. Interaksi  antara  ternak  dan  tanaman  haruslah saling  melengkapi,  mendukung dan  saling  menguntungkan,  sehingga  dapat  mendorong  peningkatan  efisiensi produksi dan meningkatkan keuntungan hasil usaha taninya.


c.       SUBSISTEM HILIR
Program  pengembangan  agribisnis  subsistem  hilir  kawasan  peternakan  sapi terpadu  ini  dimaksudkan  untuk  mengolah  hasil  peternakan  sapi  potong  agar sesuai  dengan  kebutuhan  konsumen  sekaligus  membuka  kesempatan  berusaha dan  bekerja  pada  agribisnis  hilir  peternakan  sapi  potong. Dalam  pengembangan  agribisnis  subsistem  hilir  kawasan peternakan sapi terpadu adalah sebagai berikut:
1.      Pengembangan kawasan sentra produksi olahan hasil ternak sapi potong;
Pengembangan  industri  pengolahan  daging  sapi  di  Provinsi  NTT  dapat dilakukan dengan  membentuk kawasan sentra-sentra penghasil olahan daging (se’i sapi, dendeng  sapi,  kerupuk  kulit  sapi,  kerajinan  kulit,  dan  sebagainya). Pengembangan  industri  rumah  tangga  berbasis  daging  melalui  kelompok  merupakan salah satu cara pengembangan industri olehan dari daging sapi dan ikutannya.
2.      Pengembangan Rumah Potong Hewan (RPH);
Pengembangan Rumah  Potong  Hewan  (RPH)  merupakan  faktor  terpenting dalam  pengembangan usaha agribisnis hilir dari ternak sapi  potong. Dengan kondisi dan pelayanan RPH yang baik diharapkan dapat menghasilkan daging sapi yang memenuhi standar aman, sehat, utuh dan halal (ASUH).
d.      SUBSISTEM JASA PENUNJANG
Program  pengembangan  agribisnis  jasa  penunjang  kawasan  peternakan  sapi terpadu dimaksudkan untuk  menfasilitasi berkembangnya usaha-usaha agribisnis ternak  sapi  potong  baik di  hulu, budi  daya maupun  hilir.  Program  dan  kegiatan yang dapat dilakukan dalam program ini adalah:
1.      Penguatan SDM Peternakan;
Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan  kualitas  SDM  agribisnis peternakan seperti peternak, vaksinator, inseminator, penyuluh dan aparat pengelola  pembangunan  peternakan.  Tujuan  dari  program  dan  kegiatan  ini adalah peningkatan kemampuan manajerial peternak, keterampilan inseminasi bagi inseminator, keterampilan vaksinasi bagi vaksinator, kemampuan penyuluh  peternakan, kemampuan promosi dan fasilitator bagi aparat pengelola pengembangan agribisnis ternak sapi potong.
2.      Penguatan kelembagaan peternakan;
Penguatan  kelembagaan  peternakan  dapat  dilakukan  melalui eksistensi  Dinas Peternakan Provinsi dan Kabupaten/kota. Tujuan peningkatan  kelembagaan peternakan untuk memperjelas  tugas  dan  fungsi  dari  dinas  teknis  yang membidangi peternakan. Dinas  Peternakan  Provinsi  dan Kota/Kabupaten berfungsi sebagai motivator, fasilitator dan  regulator di  subsektor peternakan.
3.      Distribusi dan transportasi;
Tujuan program distribusi dan transportasi dalam pengembangan  agribisnis kawasan peternakan ternak sapi potong adalah peningkatan pelayanan distribusi dan transportasi peternakan sapi.
b)        Strategi Peningkatan  Koordinasi  Dengan  Semua  Pihak  Yang  Terkait (Stakeholders) Dalam Memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA), Perkembangan Teknologi  Dan Informasi  Dan  Jumlah  Rumah  Tangga Yang  Banyak Untuk Meningkatkan Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong.
Perumusan  strategi ini didasarkan pada  mengatasi  kelemahan  yang  dimiliki  masyarakat petani-peternak,  swasta dan Dinas Peternakan Provinsi NTT untuk memanfaatkan peluang yang ada  dalam pengembangan ternak  sapi  potong  berwawasan agribisnis  di  Provinsi NTT. Stakeholders  yang  terlibat  dalam pembangunan  peternakan  sapi  potong  tersebut  harus  memiliki  peran  yang  jelas dalam  pembangunan  peternakan  sapi  potong  tersebut. Stakeholders yang  terkait dan berperan penting adalah: Dinas Peternakan Provinsi dan Kabupaten/kota, Dinas Perindustrian  dan  Perdagangan,  Badan  Promosi  dan  Investasi,  Dewan  Legislatif (DPRA  Tingkat  I  dan  II),  Perguruan  Tinggi,  Lembaga  permodalan  dan peternak/swasta.
Dinas  Peternakan Provinsi  dan Kabupaten/Kota  di  NTT memiliki  peran  dalam  pengembangan  usaha  ternak  sapi  potong  sebagai  insulator sekaligus  sebagai  regulator, oleh  karena  itu  fungsi  dan  kontribusinya  adalah pembangunan  kebijakan  sektoral  dan    penyedian  dana  pengembangan.  Dinas Perindustrian  dan  Perdagangan  lebih  memiliki  peran  pada  subsistem  hilir,  yaitu pengembangan  industri  hasil  olahan  daging  sapi  dan  ikutannya  dan  system perdagangan  dalam  maupun  luar  negeri.  Badan  Promosi  dan  Investasi  berperan dalam  mempromosikan  peluang  usaha  pengembangan  sapi  potong  dan  produk-produk  daging  sapi  dan  olahan  lokal  dalam  rangka  menarik  investor  untuk menanamkan  modalnya  di  usaha  ternak  sapi  potong  di  Provinsi  NTT. Dewan Legislatif  (DPRA  Tingkat  I  dan  II)  berperan  sebagai  pendukung  dan  pengawasan dalam  kegiatan pengembangan usaha ternak sapi tersebut. Perguruan Tinggi seperti Universitas Nusa Cendana yang berperan sebagai konduktor oleh karena itu Perguruan Tinggi  harus  mampu  menjadi  mitra  inovatif  bagi  lembaga  lain.  Pemberian  bantuan kredit  merupakan  peran  yang  diemban  oleh  lembaga  permodalan  serta swasta/peternak  berperan  sebagai  pelaku  usaha  dalam  pengembangan  ternak  sapi  potong di Provinsi NTT.
c)         Strategi peningkatan  Sumber  Daya  Manusia  peternakan  (peternak,  penyuluh, inseminator,  paramedis)  melalu  pola  pembinaan  kelompok  peternak,  pelatihan- pelatihan,  magang  dan  studi  banding  dalam  upaya  meningkatkan  motivasi, kemampuan penguasaan teknologi tepat guna dan manajerial dari sdm peternakan.

Perumusan  strategi ini didasarkan pada pengelolaan kekuatan  yang  dimiliki masyarakat petani-peternak,  swasta dan  dinas Peternakan  Provinsi  NTT  untuk  mengantisipasi  ancaman yang  ada  dalam  pengembangan  ternak  sapi  potong  berwawasan  agribisnis  di Provinsi NTT  Peningkatan  Sumber  Daya  Manusia  (SDM) Peternakan  khususnya  peternak,  dilakukan  dengan  memberi  penyuluhan-penyuluhan,  pembinaan  intensif  kepada  peternak,  pelatihan  dan  peningkatan pengetahuan  manajerial  dan  kelembagaan.  Peningkatan  SDM  peternak,  diharapkan agar  peternak  dapat  mengelola  kelompok  atau  koperasi  dengan  baik  dan  lebih berperan  aktif  dalam  menerima  penyuluhan  yang  berhubungan  dengan pengembangan  permodalan,  manajemen  usaha  ternak  sapi  potong,  distribusi  dan pemasaran  hasil,  serta  mempunyai  daya  saing  dalam  memasuki  era  pasar  bebas.
Peningkatan  penguasaan  manajerial  dan  teknologi  dapat  dilakukan  dengan  cara mengadakan  pelatihan  teknologi  tepat  guna  dan  melaksanakan  magang  ke kelompok-kelompok ternak yang sudah maju atau perusahaan peternakan. Peningkatan pengetahuan dari Tenaga Pelayanan Peternakan (penyuluh, inseminator, paramedis)  dan  mempersiapkan  kader-kader  peternakan  tetap  perlu  dilakukan, dikarenakan  pengetahuan  dan  teknologi  di  bidang  peternakan  akan  terus berkembang.  Peningkatan  pengetahuan  Tenaga  Pelayanan  Peternakan  (penyuluh, inseminator,  paramedis)  dapat  dilakukan  melalui  pendidikan  formal  maupun  non formal. Sehubungan dengan kegiatan agribisnis sapi potong diperlukan pengetahuan dan keterampilan tentang teknis peternakan yang mencakup pemilihan lokasi, seleksi bibit,  pemeliharaan,  pencegahan  penyakit,  penanganan  pasca  panen  dan  distribusi serta pemasaran.
d)        Strategi  Penerapan  Pola  Kemitraan  Usaha  Peternakan  Sapi  Potong  Yang Berkesinambungan  Yang  Dikontrol  Dengan  Baik  Oleh  Dinas  Peternakan Provinsi Ntt Dan Kabupaten/Kota.
Perumusan  strategi ini  didasarkan pada  mengatasi  kelemahan  yang  dimiliki  masyarakat petani-peternak,  swasta dan  Peternakan  Provinsi  NTT  untuk  mengantisipasi  ancaman yang  ada  dalam  pengembangan  ternak  sapi  potong  berwawasan  agribisnis  di Provinsi NTT  Kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha  kecil  dan  usaha  menengah  atau  besar  yang  disertai  dengan  pembinaan  oleh usaha menengah atau usaha besar tersebut. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip  saling  memerlukan,  saling  memperkuat  dan  saling menguntungkan. Secara  ekonomi  kemitraan  hendaknya  harus  dapat  dijelaskan  dengan  pemahaman berikut,  bahwa  esensi  kemitraan  terletak  pada  kontribusi  bersama,  baik  berupa tenaga  (labour)  maupun  benda  (proverty)  atau  keduanya  untuk  tujuan  kegiatan ekonomi.  Kemitraan  usaha  ditujukan  untuk  menumbuhkan,  meningkatkan kemampuan dan peranan usaha kecil dalam perekonomian nasional khususnya dalam mewujudkan  usaha  kecil  sebagai  usaha  yang  tangguh  dan  mandiri  yang  mampu menjadi  tulang  punggung  dan  mampu  memperkokoh  struktur  perekonomian  daerah yang berbasis pada komoditi peternakan.
Model kemitraan usaha ternak sapi potong di Provinsi NTT harus melibatkan usaha besar  (inti),  usaha  kecil  (plasma)  dengan  melibatkan  bank  sebagai  pemberi  kredit dalam  suatu  ikatan  kerja  sama  yang  dituangkan  dalam  nota  kesepakatan.  Hal  ini bertujuan  untuk  meningkatkan  kelayakan  plasma,  meningkatkan  keterkaitan  dan kerjasama yang saling menguntungkan antara inti dan plasma, serta membantu bank dalam  meningkatkan  kredit  usaha  kecil secara  lebih  aman  dan  efisien. Kemitraan dilaksanakan  dengan  disertai  pembinaan  oleh  perusahaan  inti,  dimulai  dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis dan pemasaran hasil produksi.
INOVASI TEKNOLOGI  BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL
1.    Teknologi Reproduksi
Dewasa ini, seiring dengan semakin berkembangnya teknologi, telah tersedia banyak piilihan teknologi reproduksi yang dapat diterapkan pada ternak, seperti intensifikasi kawin alam (INKA), inseminasi buatan (IB), fertilisasi in vitro (FIV), transfer embrio (TE), clonning, transfer gen, dan lainlain. Pemilihan teknologi reproduksi yang akan diterapkan harus memperhatikan kondisi  obyektif peternak, karena hal ini terkait dengan efektivitas dan efisiensi yang ditimbulkan akibat penerapan teknologi tersebut. Melihat kondisi obyektif peternakan  tradisional kita di Nusa Tenggara Timur, maka untuk saat ini teknologi IB dan INKA adalah pilihan yang tepat dibandingkan dengan teknologi reproduksi lain. Penerapan teknologi reproduksi yang lebih mutakhir belum mendesak karena di samping tingkat keberhasilan yang masih rendah pada tingkat lapang, juga memerlukan tambahan biaya yang besar.
Sinkronisasi (penyerentakan) estrus merupakan salah satu teknologi reproduksi yang sering diterapkan untuk mendukung keberhasilan program IB. Dengan teknologi ini sekelompok ternak yang memperoleh perlakuan khusus akan  emperlihatkan gejalagejala estrus dalam waktu relatif serentak sekitar dua hari setelah perlakuan.Sekelompok ternak betina yang estrus serentak akan memudahkan pelaksanaan IB yang pada akhirnya akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi manajemen peternakan secara keseluruhan. Penerapan teknologi sinkronisasi estrus dan IB secara simultan terhadap ternak dalam jumlah banyak akan meningkatkan efisiensi peternakan. Hal ini karena dalam waktu bersamaan peternak akan  memiliki sekelompok ternak bunting, melahirkan, dan umur anak yang relatif seragam, sehingga memudahkan dalam proses pemeliharaan. Dengan demikian peternak juga dapat mengatur waktu yang tepat kapan melakukan proses perkawinan, terkait dengan permintaan pasar dan musim dimana ketersediaan pakan hijauan yang cukup saat melahirkan dan menyusui anaknya, sehingga diharapkan angka kematian pedet dapat dikurangi.
2.      Sistim Integrasi Tanaman - Ternak.
Sistem Integrasi Tanaman-Ternak (SITT) dalam sistem usaha pertanian di Daerah Nusa Tenggara Timur merupakan ilmu rancang bangun dan rekayasa sumber daya pertanian yang tuntas. SITT pada dasarnya tidak terlepa sdari kaidah-kaidah ilmu usaha tani yang berkembang lebih lanjut. Ilmu usaha tani itu sendiri merupakan suatu proses produksi biologis yang memanfaatkan sumber daya alam, sumber daya manusia, modal, dan manajemen yang jumlahnya terbatas. Karena sumber daya tersebut jumlahnya terbatas maka penerapan SITT dalam proses produksi pertanian tidak terlepas dari prinsip dan teori ekonomi.
Berikut ini hasil-hasil penelitian dan pengembangan dalam upaya meningkatkan pendapatan petani melalui SITT dalam sistem usaha pertanian di beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur. Dengan pola usaha tani tanaman ternak petani mampu mengolah lahan 1,5-2,0 ha, yang biasanya hanya mampu 0,7 ha. Di samping itu, pendapatan petani meningkat hampir dua kali lipat. Bahkan kontribusi ternak terhadap pendapatan rumah tangga petani menggeser tanaman pangan menjadi urutan kedua setelah karet (Gafar,  S.  2003).
Model usaha tani introduksi ini telahberkembang ke erdaerah-daerah , seperti kabupaten Saai.ini telah dikembangkansistem usaha tani terpadu yang melibatkanternak, baik sebagai komponen utama maupun penunjang di lahan marginaldengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani melalui inovasi teknologi (Marawali,  H.H. 2002)
Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI) telah mampu meningkatkan fungsi dan peran ternak secara signifikan dalam penyediaan pupuk, pemanfaatan sisa/limbah pertanian, dan sumber pendapatan. Sistem integrasi tanaman-ternak di lahan marginal, di  Nusa Tenggara Timur, kini berkembang hampir di setiap kabupaten lokasi kegiatan P4MI (Whirdayati., et al  2001). Dengan demikian,lahan dan teknologi usaha sapi potong sudah tersedia, tinggal bagaimana sebenarnya kondisi, prospek, dan arah pengembangan sapi potong di Indonesia.
3.        Inovasi teknologi Pengolahan Pakan
Inovasi teknologi pakan sudah banyak dihasilkan, terutama terkait dengan pengembangan lumbung pakan (feed bank), strategi pemberian pakan yang ekomnomis(feedind strategy), pengkayaan pakan (feed enrichments), pengembangan legume tree, atau yang terkait dengan model tiga strata dan food feed system. Namun pengembangan inovasi ini belum member dampak yang memadai, karena impor bahan pakan(unggas) justru makin besar, terutama bungkil kedelei, jagung, tepung, ikan.
Bahan pakan sumber serat juga banyak yang terbuang seperti jerami padi. Potensi pakan ini harus dimanfaatkan sebagai basis pengembngan ternak, baik melalui suatu inovasi teknologi, strategi pengembangan, atau kebijakan yang lebih berpihak dalam menguatkan industri peternakan yang tangguh berbasis sumberdaya lokal.Pengembangan inovasi teknologi berbasis bibit dan pakan lokal diharapkan mampu meningkatkan daya saing produk peternakan, karena kontribusi pakan dan bibit dalam biaya produksi sekitar 70-80%.
4.      Inovasi Teknologi Pengolahan Limbah Ternak.
Pengembangan peternakan sapi potong akan terus meningkat sehingga alternative inovasi teknologi pengolahan limbah ternak sapi sangat besar manfaatnya dalam memperbaiki efisiensi penggunaan  energy rumah tangga. Pada gilirannya, inovasi  ini akan berdampak pada : 1). Efisiensi dalam n daya saing produk 2).keberlnjutan terkait dengan masalah kesuburan, 3).dampak lingkungan dalam proses pengolahan limbah, 4).aspek social ekonomi yang berhubungan dengan penyediaan biogas sebagai energy rumah tangga. Inovasi teknologi pengolahan limbah ternak dapat menjadi benang merah dari hulu sampai ke hilir, yaitu : 1).petani termotivasi untuk   mempertahankan kesuburan lahan pertanian dengan cara memperbaiki pola budidaya dan mempertahankan kandungan bahan organik; 2). Penggunaan pupuk kima dilakukan secara benar dan diimbangi dengan penambahan bahan organic (kompos dari kotoran ternak sapi) yang mampu meningkatkan efisiensi  penggunaan pupuk dan menurunkan biaya produksi; 3). Penggunan kompos membuka peluang pasar baru dan mendorong masyarakat pedesaan untuk mengembangkan industry kompos dengan memelihara sapi; 4).usaha pengolahan limbah ternak dapat dipandang sebagai usaha investasi yang tidak terkena invlasi, mampu menciptakan lapangan kerja baru di pedesaan.


PENUTUP

Kesimpulan
Dari Hasil analisis dengan menggunakan matriks SWOT, diidentifikasi alternatif  strategi yang dapat diterapkan dalam  pengembangan agribisnis sapi potong melalui penerapan iptek terpadu guna mendukung program sistim inovasi daerah nusa tenggara timur , yaitu:
(a)       Pengembangan  usaha  ternak  sapi  potong  melalui  penerapan  kawasan  peternakan terpadu  (cluster)  yang  ditunjang  oleh  tersedianya  subsistem-subsistem  dalam  agribisnis peternakan  sapi  potong  dari  subsistem  hulu  hingga  hilir  serta  jasa  penunjang; 
(b)       peningkatan  koordinasi  dengan  semua  pihak  yang  terkait  (stakeholders)  dalam memanfaatkan  Sumber Daya Alam (SDA),  perkembangan  teknologi  dan  informasi  dan jumlah  rumah  tangga  peternak  yang  banyak  untuk  meningkatkan  daya  saing  usaha peternakan  sapi  potong; 
(c)       Peningkatan  Sumber  Daya  Manusia  Peternakan  (peternak, penyuluh,  inseminator,  paramedis)  melalui  pola  pembinaan  kelompok  peternak, pelatihan-pelatihan,  magang  dan  studi  banding  dalam  upaya  meningkatkan  motivasi, kemampuan penguasaan teknologi tepat  guna  dan  manajerial  dari SDM peternakan; dan
(d)      Penerapan pola kemitraan usaha peternakan sapi potong yang berkesinambungan yang dikontrol  dengan  baik  oleh  Dinas  Kesehatan  Hewan  dan  Peternakan  Provinsi  NTT  dan kabupaten/kota.
Penentuan prioritas strategi yang dilakukan dengan analisis QSPM, didapat strategi yang menjadi prioritas utama yang dapat diimplementasikan dalam pengembangan ternak sapi potong  berwawasan  agribisnis yaitu;  pengembangan  usaha  ternak  sapi  potong  melalui penerapan  kawasan  peternakan  terpadu  (cluster)  yang  ditunjang  oleh  tersedianya subsistem-subsistem dalam agribisnis peternakan sapi potong dari subsistem hulu hingga hilir serta jasa penunjang.

(e)       Inovasi teknologi  berbasis sumber daya lokal
·         Teknologi Reproduksi
·         Sistim Integraasi Tanaman- Ternak.
·         Inovasi teknologi Pengolahan Pakan
·         Inovasi Teknologi Pengolahan Limbah Ternak.

Saran
Dalam  rangka  pengembangan  ternak  sapi  potong  berwawasan  agribisnis  di  Provinsi NTT, lebih lanjut  disarankan adalah sebagai berikut:
1.      Pengembangan  kawasan  terpadu  peternakan  sapi  potong  di  Provinsi  NTT  harus dilakukan  secara  bertahap  dan  berkesinambungan,  sehingga  mengarah  kepada wilayah/daerah yang berkembang, mandiri dan memiliki nilai ekonomis.
2.      Pengidentifikasian daerah pengembangan pembibitan maupun  penggemukan  sapi potong dengan memperhatikan ketersediaan pakan.






2 komentar: