download pdf below
MAKALAH
MANAJEMEN
SUMBER DAYA PETERNAKAN
‘Pengelolaan Kulit Kakao Sebagai
Sumber Pakan Alternatif 
Berkualitas’
gambar kulit kakao 
by
Made Sudarma
Ilmu Peternakan - Pps Undana
BAB
I
PENDAHULUAN
A.          
Latar
Belakang
Untuk meningkatkan produksi daging
ternak dalam upaya mencukupi kebutuhan protein hewani secara nasional,
disamping kualitas yang baik juga diperlukan kuantitas dan kontinuitas
ketersediaan pakan sepanjang tahun. Namun, pada saat ini ketersediaan pakan
hijauan semakin berkurang karena semakin berkurangnya lahan pertanian serta
rendahnya mutu hijauan dan rerumputan sehingga diperlukan usaha pengadaan pakan
alternative yang ketersediaannya cukup banyak, terkonsentrasi di wilayah
tertentu dan belum dimanfatkan oleh para peternak.
Kulit buah kakao merupakan salah
satu limbah tanaman perkebunan yang cukup potensial untuk dimanfaatkan sebagai
sumber pakan serat bagi ternak ruminansia. Hal ini dikarenakan jumlah produksi
kakao yang begitu besar di Indonesia dengan tingginya persentasi limbah dari
buah kakao tersebut yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia
diseluruh Indonesia. Berdasarkan penelitian Amirroenas (1990) dalam Hartati (2008), dilaporkan bahwa
pertumbuhan sapi yang mengkonsumsi ransum mengandung 30% kulit buah kakao lebih
baik dibandingkan dengan yang mengandung 30 % rumput gajah (0,980 vs 0,750
kg/hari)
Akan tetapi kulit buah kakao yang
cukup potensial tersebut belum termanfaatkan secara optimal, karena mengandung
lignin tinggi dan serat kasar tinggi serta protein kasar yang rendah. Oleh
karena itu dibutuhkan suatu teknik atau cara dalam pemanfaatannya sebagai pakan
ternak dalam jumlah besar dengan teknologi pakan yang sudah berkembang saat
ini.
B.           
Tujuan
Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi limbah kakao di
Indonesia secara umum dan NTT khususnya sebagai pakan ternak berkualitas
tinggi.
C.          
Metode
Pengambilan Data
Metode
yang digunakan adalah pengumpulan referensi dari berbagai sumber terkait.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.          
Pakan
Ternak 
Dalam usaha pengembangan ternak
pakan merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan baik kualitas,
kuantitas maupun kontinyuitas ketersediaanya. Kenyataan memperlihatkan bahwa
ketersediaan bahan pakan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor iklim tetapi juga
oleh daya saing bahan makanan. Hal ini karena sebagian besar bahan penyusun
konsentrat sebagai pakan utama ternak non ruminansia dan sebagai pakan tambahan
ternak ruminansia seperti jagung masih bersaing dengan kebutuhan manusia.
Kondisi demikian, menyebabkan usaha peternakan di Indonesia pada saat ini masih
dalam tahap pengembangan, serta sering dibatasi oleh masalah pakan yang
harganya relatif mahal. 
Ketersediaan pakan hijauan sangat
berfluktuasi, berlimpah pada musim hujan dan terjadi kekurangan saat kemarau.
Kondisi ini sangat dirasakan terutama pada daerah padat ternak. Selain itu,
ketersediaan pakan hijauan semakin berkurang seirama dengan menyusutnya luas
lahan pertanian dan padang penggembalaan karena sudah beralih fungsi menjadi
kawasan pemukiman, perkantoran dan industri. Untuk mengatasi kendala tersebut,
perlu di cari pakan alternatif yang ketersediaannya cukup banyak dan belum
dimanfaatkan. 
Pakan alternatif yang paling cocok
dikembangakan adalah pakan yang berasal dari daerah tersebut. Oleh karena itu,
penggunaan bahan pakan lokal yang berpotensi sebagai pakan alternatif untuk menjamin
ketersediaannya secara kontinyu dan harganya relatif murah sangat dibutuhkan. Salah
satu pakan lokal alternatif yang sudah mulai dikembangkan saat ini adalah pakan
yang berasal dari limbah maupun hasil samping industri pertanian, perkebunan
maupun kehutanan. Pakan tersebut umumnya berupa pakan tinggi serat yang banyak
digunakan sebagai pakan utama dalam sistem pemeliharaan ternak ruminansia di
Indonesia.
Limbah tanaman perkebunan mempunyai
keunggulan praktis dibanding limbah lainnya yaitu ketersediaannya pada satu
tempat dalam jumlah banyak sehingga biaya untuk mengumpulkannya lebih rendah. Salah
satu pakan  alternatif limbah perkebunan yang
cukup potensial adalah tanaman kakao ( Theobroma
cacao ) antara lain kulit buah kakao atau dikenal dengan nama pod kakao.
B.           
Budidaya
Cacao
Tanaman
kakao merupakan tanaman perkebunaan berprospek menjanjikan. Tetapi jika  faktor tanah yang semakin keras dan miskin
unsur hara terutama unsur hara mikro dan hormon alami, faktor iklim dan cuaca,
faktor hama dan penyakit tanaman, serta faktor pemeliharaan lainnya tidak diperhatikan
maka tingkat produksi dan kualitas akan rendah (Chairani, 2008). Berikut
beberapa hal mengenai teknik budidaya cacao yang diringkas dari hasil
penelitian Chairani (2008).
Syarat
Tumbuh
Sejumlah faktor iklim dan tanah
menjadi kendala bagi pertumbuhan. Lingkungan alami tanaman kakao adalah hutan
tropis. Dengan demikian curah  hujan, suhu
udara dan sinar matahari menjadi bagian dari 
faktor iklim yang menentukan. Demikian juga dengan faktor fisik dan
kimia tanah yang erat kaitannya dengan daya tembus (penetrasi) dan kemampuan akar
menyerap hara. Ditinjau dari wilayah penanamannya kakao ditanam pada
daerah-daerah yang berada pada 10o LU sampai dengan 10o
LS. Walaupun demikian penyebaran pertanaman kakao secara umum berada diantara 7o
LU sampai 18o LS. Hal ini erat kaitannya dengan distribusi curah
hujan dan jumlah penyinaran matahari sepanjang tahun. Kakao juga masih toleran
pada daerah 20o LU sampai 20o LS. Dengan demikian
Indonesia yang berada pada 5o LU sampai dengan 10o LS
masih sesuai untuk pertanaman kakao.
Ketinggian
Tempat
Ketinggian tempat di Indonesia yang
ideal untuk penanaman kakao adalah tidak lebih tinggi dari 800 m dari permukaan
laut.
Curah
Hujan
Curah hujan yang  berhubungan dengan pertanaman dan produksi
kakao ialah distribusinya sepanjang tahun. Hal tersebut berkaitan dengan masa
pembentukan tunas muda dan produksi. Areal penanaman kakao yang ideal adalah
daerah-daerah dengan curah hujan 1.100-3.000 mm per tahun. Curah hujan yang
melebihi 4.500 mm per tahun tampakya berkaitan erat dengan serangan penyakit
busuk buah (blask pods). Di tinjau dari tipe iklimnya, kakao sangat ideal
ditanam pada daerah-daerah yang tipenya iklim A (menurut Koppen) atau B
(menurut Scmidt dan Fergusson). Di daerah-daerah yang tipe iklimnya C menurut (Scmidt
dan Fergusson) kurang baik untuk penanaman kakao karena bulan keringnya yang panjang.
Dengan membandingkan curah hujan diatas dengan curah hujan tipe Asia, Ekuator
dan Jawa maka secara umum areal penanaman kakao di Indonesia masih potensial
untuk dikembangkan. Adanya pola penyebab curah hujan yang tetap akan mengakibatkan
pola panen yang tetap pula.
Temperatur
Pengaruh temperatur terhadap kakao erat
kaitannya dengan ketersedian air, sinar matahari dan kelembaban. Faktor-faktor
tersebut dapat dikelola melalui pemangkasan, penataan tanaman pelindung dan
irigasi. Temperatur sangat berpengaruh terhadap pembentukan flush, pembungaan,
serta kerusakan daun. Menurut hasil penelitian, temperatur ideal bagi tanaman kakao
adalah 300 C - 320 C (maksimum) dan 180 C - 210
C (minimum). Berdasarkan keadaan iklim di Indonesia temperatur 250 -
260 C merupakan temperatur rata-rata tahunan tanpa faktor terbatas. Karena
itu daerah-daerah tersebut sangat cocok jika ditanami kakao. 
Sinar
Matahari 
Lingkungan hidup alami tanaman
kakao ialah hutan hujan tropis yang didalam pertumbuhanya membutuhkan naungan
untuk mengurangi pencahayaan penuh. Cahaya matahari yang terlalu banyak
menyoroti tanaman kakao akan mengakibatkan lilit batang kecil, daun sempit, dan
batang relatif pendek. Pemanfaatan cahaya matahari semaksimal mungkin dimaksudkan
untuk mendapatkan intersepsi cahaya dan pencapain indeks luas daun optimum. 
Air
dan Hara
Air dan hara merupakan faktor
penentu bila mana kakao akan ditanam dengan sistem tanpa tanaman pelindung
sehingga terus menerus mendapat sinar matahari secara penuh.
Naungan
Pembibitan kakao membutuhkan
naungan, karena benih kakao akan lebih lambat pertumbuhannya pada pencahayaan sinar
matahari penuh. Penanaman kakao tanpa pelindung saat ini giat diteliti dan
diamati karena berhubungan dengan biaya penanaman maupun pemeliharaan.
Penanaman dilakukan dipagi hari pada musim hujan tenyata lebih baik hasilnya
kalau sore/malam harinya hujan turun dibandingkan dengan jika hujan yang turun
2 hari kemudian. Dengan demikian, air dan hara memang merupakan faktor penentu bila
mana cahaya matahari dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi pertanaman kakao.
Tanah
Kakao dapat tumbuh pada berbagai
jenis tanah, asalkan persyaratan kimia dan fisik yang berperan dalam pertumbuhan
dan produksi tanaman kakao terpenuhi. Kemasaman tanah, kadar zat organik, unsur
hara, kapasitas adsorbsi, dan kejenuhan basa merupakan sifat kimia yang perlu
diperhatikan, sementara faktor fisiknya adalah kedalaman efektif, tinggi permukan
air tanah, drainse, struktur dan konsesntensi tanah. Selain itu kemiringan
lahan juga merupakan sifat fisik yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi
kakao.
Pohon
Pelindung
Penanaman pohon pelindung sebelum
penanaman kakao bertujuan  mengurangi intesnsitas
sinar matahari langsung.  Bukan  berarti 
bahwa pohon pelindung tidak menimbulkan masalah yang menyangkut biaya,
sanitasi kebun, kemungkinan serangan hama dan penyakit, atau kompetisi hara dan
air. Karena itu, jumlah pemeliharaan untuk meniadakan pohon pelindung  pada 
areal  penanaman kakao saat ini
sedang dilakukan. Penanaman pohon kakao secara rapat  atau 
pengurangan  pohon pelindung secara
bertahap, misalnya,  merupakan upaya meniadakan  pohon pelindung itu.
Manfaat
Pohon Pelindung
Melindungi daun. Pohon pelindung sangat berpengaruh terhadap
kadar gula pada batang dan cabang kakao. Pengaruh itu mengisyaratkan  perlunya 
pohon pelindung pada areal penanaman yang sebagai faktor yang secara
tidak langsung mempengaruhi proses fisiologis. Ditinjau       dari kemampuan menyerap sinar matahari sebagai  sumber 
energi,  kakao masuk kedalam   tanaman C3, yaitu tanaman yang mampu berfotosintesis
pada suhu daun rendah. Tanaman yang tergolong C3 membutuhkan temperatur optimum
10-25o C. Dengan demikian dengan adanya pohon pelidung terutama akan
mempengaruhi kemampuan daun kakao melakukan proses fisiologis.
Menciptakan iklim mikro. Pohon pelindung terutama
pada areal yang belum menghasilkan 
memainkan peranan   penting   pula  
dalam menciptakan   iklim   mikro  
yang lembab.
Menghindari pencucian hara. Pohon pelidung  juga 
berperan dalam memperbaiki unsur tanah, mengembalikan hara tercuci, dan  menahan terpaan angin terutama pada kakao
yang belum menghasilkan. 
Memperbaiki struktur tanah. Peranannya sebagai memperbaiki
struktur tanah dikarenakan   sistem
perakaran pohon pelindung umunya dalam. Pengembalian hara yang tercuci bisa terjadi    karena adanya guguran daun tanaman pelindung
yang akan melapuk membentuk senyawa organik.
Kerugian
Pohon Pelindung
Pohon  pelindung juga dapat memberikan pengaruh yang merugikan.
Kerugian itu berkaitan dengan perbandingan biaya penanaman dan pemeliharaan dengan
peranannya sebagai peningkatan produksi, terutama bagi tanaman  yang menghasilkan. Hasil dari beberapa
penelitian telah dibuktikan  bahwa  tanpa 
pohon pelindung kakao akan menghasilkan buah lebih banyak dari pada
kakao yang ada pohon pelindungnya. Kerugian  
lainya dari adanya pohon pelindung adalah timbulnya persaingan dalam mendapatkan
air dan hara antara tanaman pelindung dengan kakao tersebut.  Kerugian bisa juga timbul mengingat pohon
pelindung punya kemungkinan menjadi inang hama Helopeltis sp, seperti tanaman
pelindung Accasia decurens  dan  Albissia chinensis.
Pedoman
Budidaya
Pembersihan
Areal
Pembersihan areal dilaksanakan
mulai dari tahap survai/pengukuran sampai tahap pengendalian ilalang. Pelaksanaan
survai/ pengukuran biasanya  berlangsung
selama satu bulan. Pada tahap ini, 
pelaksanaan pekerjaan meliputi pemetaan topografi, penyebaran jenis tanah,   serta 
penetapan batas areal  yang  akan 
ditanami.  Tahap selanjutnya dari pembersihan
areal adalah tebas/babat. Pelaksanaan pekerjaan pada tahap ini adalah dengan
membersihkan semak belukar dan kayu-kayu kecil sedapat mungkin ditebas rata dengan
permukaan tanah, lama pekerjaan ini adalah 2-3 bulan baru kemudian dilanjutkan dengan
tahap tebang . Tahap berikut ini dilaksanakan selama 3-4 bulan, dan merupakan
tahap yang  paling lama dari semua tahap pembersihan
areal. Bila semua pohon telah tumbang tumbangan itu biarkan selama 1- 1,5    bulan   
agar    daun    kayu mengering. Areal   yang  
telah   bebas   dari semak 
belukar,  kayu-kayu kecil,
dan  pohon  besar, 
apalagi  bila baru   dibakar,  
biasanya   cepat sekali    menumbuhkan    ilalang. Seperti diketahui, ilalang merupakan
gulma utama dari areal pertanian. Karena itu, pengendaliannya harus dilaksanakan
sesegera mungkin, sehingga sedapat mungkin areal telah   bebas  
dari   ilalang   saat penanaman pohon pelindung. Tahap  pengendalian ilalang ini dapat   dilasanakan selama 2-3 bulan.
Persiapan
areal 
Pembersihan  areal 
sering  juga diakhiri dengan tahap
pengolahan tanah. Pengolaan tanah   
biasanya    dilaksanakan secara
mekenis. Pengolahan  tanah  selain 
dinilai 
mahal, juga dapat mempercepat pengikisan lapisan
tanah atas.
Penanaman   tanaman  
penutup tanah
Untuk 
mempertahankan  lapisan atas    tanah   
dan    menambah kesuburan  tanah, 
pembersihan areal  terkadang  diikuti 
dengan tahap penanaman tanaman penutup tanah. Tanaman penutup tanah biasanya
adalah jenis kacang-kacangan  antara lain
Centrosema  pubescens, Colopogonium
mucunoides, Puerarai javanica atau Pologonium caeruleum. Biji dapat ditanam
menurut cara larikan  atau  tugal, 
bergantung pada   
ketersediaan    biji    dan tenaga kerja. Jarak   tanam  
kacang-kacangan biasanya  
disesuaikan   dengan jarak
tanam  kakao yang hendak ditanam. 
Jarak tanam
Jarak   tanam  
yang   ideal   bagi kakao 
adalah  jarak  yang 
sesuai dengan   perkembangan
bagian tajuk    tanaman    serta   
cukup tersedianya ruang bagi perkembangan akar. Pemilihan jarak  tanam erat kaitannya dengan sifat pertumbuhan  tanaman, 
sumber bahan   tanam,   dan  
kesuburan tanah. Jarak  tanam tergantung
dari luasan tajuk yang akan dibentuk tanaman. 
Tabel   1.
Jarak tanam dan jumlah pohon per hektar
Jarak Tanam (mxm) 
 | 
  
Jumlah Pohon per Ha 
 | 
 
2,4x2,4 
 | 
  
1680 
 | 
 
3x3 
 | 
  
1100 
 | 
 
4x4 
 | 
  
625 
 | 
 
5x5 
 | 
  
400 
 | 
 
3,96x1,83 
 | 
  
1380 
 | 
 
2,5x3 
 | 
  
1333 
 | 
 
4x2 
 | 
  
1250 
 | 
 
3x2 
 | 
  
1250 
 | 
 
Pola Tanam
Kakao  dapat 
ditanam  dibarisan kelapa,  kelapa 
sawit,  atau  juga karet sebagai tanaman intercropping. Kakao    juga   
dapat    ditanam diantara   barisan  
pisang   atau singkong  yang 
berfungsi  sebagi pohon    pelindung sementara. Pola   tanam  
yang   diterapkan pada  areal 
demikian  umumnya menyesuaikan
pola tanam terdahulu. Untuk mendapatkan areal penanaman kakao  yang 
sebaik-baiknya dianjurkan untuk menetapkan pola tanam terlebih dahulu. 
Pola tanam erat
kaitannya dengan: keoptimuman jumlah pohon per ha; keoptimuman pohon pelindung;
dan meminimumkan kerugian yang timbul pada  
nilai kesuburan tanah.
Ada  tiga  pola 
yang  dianjurkan adalah: Pola  tanam 
kakao  segi empat,  pohon 
pelindung segi empat; Pola tanam kakao berpagar   ganda,  
pohon pelindung segi tiga; dan Pola tanam       kakao berpagar   ganda,  
pohon pelindung segi empat.
Penanaman
dan pemeliharaan
Bila jarak tanam dan pola tanam
telah   ditetapkan   dan  
keadaan pohon    pelindung    tetap   
telah memenuhi syarat sebagi penaung, dan bibit dalam polybag telah
berumur 4-6 bulan dan  tidak  dalam keadaab flush, maka  penanaman 
sudah  dapat dilaksanakan. Rencana  penanaman hendaknya diiringi  pula 
dengan rencana  pemeliharaan  sehingga bibit yang    ditanam   
tumbuh dengan baik untuk jangka waktu yang cukup lama.
Penanaman
Dua minggu sebelum penanaman. Lebih dahulu disiapkan
lubang tanah berukuran  40cm  x 
40cm  x40cm atau  60cm 
x  60cm,  bergantung pada  ukuran 
polybag.  Lubang kemudian  ditaburi 
1  kg  pupuk Agrophos dan ditutupi lagi dengan
serasah. Pemberian pupuk tersebut   
dimaksudkan untuk   menyediakan  
hara bagi bibit yang akan ditanam beberapa minggu    kemudian. Berikan   pupuk  
kandang   yang dicampur   dengan  
tanah   (1:1) ditambah  pupuk 
TSP  1-5  gram per lubang. Bibit    yang   
hendak    ditanam sebaiknya   tidak  
terlalu   sering dipindahkan  dari 
suatu  tempat ketempat lain. Untuk
itu diperlukan  tempat  pengumpulan polybag,  misalnya 
untuk  setiap 50 lubang disediakan
suatu tempat pengumpulan bibit. 
Pemangkasan
Selama  masa
tanaman  belum menghasilkan, pemeliharaan
ditunjukkan  kepada pembentukan      cabang yang seimbang dan pertumbuhan vegetatif  yang 
baik.  Disamping itu,
pemangkasan       pohon pelindung tetap
juga dilaksanakan  agar  percabangan dan dedaunnya tumbuh   tinggi dan  
baik. Sedangkan   pohon pelindung  sementara 
dipangkas dan  akhirnya  dimusnahkan sejalan    dengan pertumbuhan kakao. Pohon pelindung sementara  yang 
dibiarkan  akan membatasi
pertumbuhan kakao, karena menghalangi sinar matahari serta menimbulkan persaingan    dengan   
tanaman utama dalam mendapatkan air dan hara.
Pengendalian
Hama & Penyakit
Hama
v Ulat
Kilan (Hyposidea infixaria; Famili : Geometridae ). Menyerang pada umur 2-4
bulan.         Serangan berat
mengakibatkan daun muda tinggal urat daunnya saja. Pengendalian dengan   Pestona dosis 5-10cc/liter.
v Ulat
Jaran / Kuda ( Dasychira inclusa, Familia : Limanthriidae ). Ulat ini ada
bulu-bulu gatal pada bagian   
dorsalnya    menyerupai bentuk
bulu (rambut) pada leher kuda,  terdapat  pada 
marke  4 dan 5 berwarna putih atau
hitam, sedang ulatnya coklat atau coklat kehitam-hitaman. Pengendalian: dengan
musuh alami predator Apanteles mendosa dan Carcelia spp, atau dengan bahan
kimia. 
v Parasa  lepida 
dan  Ploneta diducta (Ulat
Srengenge). Serangan  dilakukan silih
berganti  karena  kedua 
species ini  agak  berbeda 
siklus  hidup maupun cara
meletakkan kokonnya,      sehingga masa
berkembangnya akan saling bergantian. Serangan tertinggi pada daun muda,  kuncup 
yang  merupakan pusat    kehidupan   
dan    bunga yang masih muda. Siklus  hidup 
Ploneta  diducta  1 bulan,    
Parasa     lepida     lebih panjang    dari   
pada    Ploneta diducta.
v Kutu
- kutuan (Pseudococcus lilacinus). Kutu 
berwarna  putih. Simbiosis dengan
semut hitam. Gejala serangan: infeksi 
pada  pangkal  buah 
di tempat yang terlindung, selanjutnya perusakan ke bagian buah   yang  
masih   kecil,   buah terhambat dan akhirnya mengering lalu
mati. Pengendalian: tanaman   terserang
dipangkas lalu dibakar, dengan musuh alami   
predator; Scymus sp, Semut hitam, parasit Coccophagus pseudococci  atau mempergunakan bahan kimia.
v Helopeltis
antonii. Hama ini menusukkan ovipositor untuk meletakkan telurnya   ke dalam 
buah  yang  masih 
muda, jika  tidak  ada 
buah  muda  hama menyerang   tunas  
dan   pucuk daun  muda. 
Serangga  dewasa berwarna hitam,
sedang dadanya merah, bagian menyerupai     
tanduk tampak lurus. Ciri serangan: kulit buah ada bercak-bercak
hitam  dan  kering, 
pertumbuhan buah  terhambat,  buah 
kaku  dan sangat keras serta jelek
bentuknya dan buah kecil kering lalu mati. Pengendalian: pengendalian  dilakukan dengan bahan kimia dan  sanitasi lahan, dan   pembuangan  
buah   yang terserang.
v Kakao  Mot  (Ngengat  Buah), Acrocercops  cranerella 
(Famili; Lithocolletidae). Buah  
muda   terserang   hebat, warna 
kuning  pucat,  biji 
dalam buah  tidak  dapat 
mengembang dan lengket. Pengendalian: Sanitasi lingkungan kebun,
menyelubungi buah coklat dengan  
kantong   plastik   yang bagian 
bawahnya  tetap  terbuka (kondomisasi), pelepasan musuh alami
semut hitam dan jamur antagonis Beauveria bassiana (BVR) dengan cara
disemprotkan.
Penyakit
v Penyakit
Busuk Buah (Phytopthora palmivora). Gejala serangan: dari  ujung 
buah  atau  pangkal buah 
nampak  kecoklatan  pada buah yang telah besar dan buah kecil
akan langsung mati. Pengendalian: membuang 
buah  terserang  dan dibakar,  
pemangkasan   teratur.
v Jamur
Upas (Upasia salmonicolor). Penyakit 
ini  menyerang  batang dan cabang. Pengendaliannya:
kerok   dan   olesi  
batang   atau cabang terserang
dengan pestisida    nabati   
atau kimia, pemangkasan 
teratur,  serangan yang
berkelanjutan  dipotong lalu dibakar.
Catatan : Jika pengendalian hama penyakit dengan
menggunakan   pestisida   alami belum        mengatasi dapat masalah dapat dipergunakan
pestisida kimia yang dianjurkan. Agar penyemprotan pestisida kimia lebih merata
dan  tidak  mudah hilang oleh air hujan tambahkan
surfaktan.
Panen
Saat petik persiapkan rorak-rorak
dan koordinasi  pemetikan. Pemetikan
dilakukan   terhadap buah  yang 
masak  tetapi  jangan terlalu masak. Potong   tangkai  
buah   dengan menyisakan  1/3 
bagian  tangkai buah. Pemetikan
sampai pangkal buah akan   merusak bantalan       bunga sehingga pembentukan  bunga 
terganggu dan  jika  hal 
ini  dilakukan  terus menerus,  maka 
produksi  buah akan menurun.
Buah  yang  dipetik 
umur  5,5  - 6 bulan   
dari    berbunga,    warna kuning  atau 
merah.  Buah  yang telah 
dipetik  dimasukkan  dalam karung 
dan  dikumpulkan  dekat rorak. Pemetikan  dilakukan 
pada  pagi hari  dan 
pemecahan  siang  hari. Pemecahan buah dengan memukulkan  pada 
batu  hingga pecah. Kemudian biji
dikeluarkan dan  dimasukkan  dalam 
karung, sedang  kulit  dimasukkan 
dalam rorak yang tersedia.
Pengolahan
Hasil
v Fermentasi
Tahap
awal pengolahan biji kakao. Bertujuan mempermudah menghilangkan pulp,
menghilangkan daya tumbuh biji, merubah warna biji dan mendapatkan aroma dan cita
rasa yang enak.
v Pengeringan
Pengeringan
biji   kakao   yang telah  
difermentasi   dikeringkan agar    tidak   
terserang    jamur dengan sinar matahari
langsung (7-9  hari)  atau 
dengan  kompor pemanas suhu
60-700C (60-100 jam). Kadar air yang baik kurang dari 6%.
v Sortasi
Untuk     mendapatkan     ukuran tertentu  dari 
biji  kakao  sesuai permintaan.   Syarat  
mutu   biji kakao adalah tidak terfermentasi
maksimal 3 %, kadar air maksimal 7%, serangan 
hama penyakit maksimal 3 % dan bebas kotoran.
Hasil
Penelitian dalam meningkatkan produksi Kakao
Penggunaan
Fungisida dalam Pengawetan benih Kakao
Penggunaan fungisida (berbahan
aktif mankozeb + karbendazim) dengan dosis 2 – 6 g/kg benih dapat menekan
perkembangan cendawan selama penyimpanan benih kakao hingga 9 minggu. Benih
yang disimpan tanpa fungisida, pada periode simpan 1 minggu terserang cendawan
hingga 90,67% dan daya berkecambahnya 57,33%, setelah satu minggu serangan
cendawan 100 % dan benih kehilangan viabilitas dan vigornya. Viabilitas dan
vigor benih kakao dapat dipertahankan tetap tinggi hingga periode 9 minggu
dengan perlakuan fungisida. Perlakuan dosis fungisida 6 g/kg benih cenderung
menurunkan viabilitas dan vigor benih, sedangkan pada dosis 2 g/kg benih belum
sepenuhnya dapat menekan serangan cendawan. Dosis fungisida terbaik adalah 4,21
g/kg benih. Benih kakao dengan perlakuan fungisida masih mempunyai viabilitas
dan vigor yang tinggi hingga periode simpan 9 minggu, yaitu daya berkecambahnya
sekitar 90%, kecepatan tumbuh, tinggi bibit dan jumlah dauunya tidak berbeda
dengan yang disimpan 1 minggu (Budiarti, 1997)
Pupuk
Organik Cair
Hasil penelitian Angkapradipta et
al. (1988) menunjukkan  bahwa  pemberian 
pupuk  Urea  dan 
TSP berpengaruh    terhadap    pertumbuhan 
kakao  lindak tanaman  belum 
menghasilkan  pada  tanah 
latosol  yang ditunjukkan oleh
pertumbuhan panjang  dan lilit batang
kakao. Akan   tetapi   menurut  
Abdoellah   (1996)   pemberian pupuk anorganik saja bukanlah    jaminan   
untuk memperoleh  hasil  maksimal 
tanpa  diimbangi  pupukorganik, karena pupuk organik mampu   berperan 
terhadap perbaikan sifat fisik, kimia 
dan biologi  tanah, yang pada
akhirnya terhadap produksi kakao. Pupuk organik dalam bentuk cair dapat
meningkatkan suplai unsur hara pada tanaman dibandingkan dengan pupuk
anorganik  (Lingga, 1999).  Pemupukan 
melalui  daun  dapat 
mengurangi  kerusakan akibat  pemberian 
pupuk  melalui  tanah. 
Beberapa  jenis pupuk organik cair
(POC) termasuk POC Bioton selain memiliki unsur hara (makro dan mikro) yang
dibutuhkan  oleh  tanaman 
juga  mengandung  hormon yang  
sangat   berperan   dalam  
pertumbuhan   vegetatif
tanaman.   Pemberian  kombinasi 
pupuk  organik  cair 
(POC) Bioton   dan   pupuk  
anorganik   hanya   berpengaruh terhadap  diameter 
batang  dan  panjang 
cabang  primer. Frekuensi pemberian  POC 
4  minggu  sekali 
cukup  efektif  dalam mendukung pertumbuhan kakao (Wachjar,
2007)
Teknik
Sambung Samping
Biasanya tanaman kakao yang berumur
25 tahun produktivitasnya akan menurun 50% dari potensi produksinya. Penggunaan
entres lokal untuk mendukung program rehabilitasi  melalui 
sambung  samping, selain dapat
meningkatkan produktivitas juga 
dapat  mencegah  penyebaran 
hama penyakit dari satu daerah ke daerah lain, mengurangi  biaya 
transportasi  entres, memperkecil
risiko kerusakan entres akibat pengangkutan jarak jauh, dan klon unggul lokal  tahan 
terhadap  hama/penyakit tertentu.  Menurut hasil penelitian Limbongan (2011),
menyatakan bahwa kesiapan  teknologi  sambung 
samping didukung oleh tersedianya berbagai klon unggul introduksi maupun
klon lokal di beberapa  daerah  pengembangan 
yang dapat  dijadikan  sebagai 
sumber  entres pada program
rehabilitasi tanaman kakao. Pembangunan kebun entres sebagai kebun koleksi dan
sumber entres berbagai jenis klon unggul sebaiknya dilakukan di setiap daerah
pengembangan. Hal ini bertujuan untuk menjamin ketersediaan entres, baik kuantitas
maupun kualitasnya, dan mencegah penyebaran hama/penyakit tanaman dari satu
daerah ke daerah yang lain. Tingkat 
keberhasilan  sambungan dipengaruhi  oleh 
jenis  entres  yang 
digunakan, umur entres, tersedianya entres dalam  jumlah 
yang  memadai  dan 
dekat lokasi  pengembangan,  kemampuan 
dan keterampilan petani melakukan penyambungan,  serta 
kondisi  cuaca.  Sambung samping  merupakan 
teknologi  yang murah, mudah
diterapkan, dan dapat meningkatkan 
pendapatan  petani  sehingga dapat  menjadi 
salah  satu  pilihan 
dalam program rehabilitasi tanaman kakao.
Pemberian
Boron dan Seng dalam mengatasi Layu Pentil
Tanaman kakao dapat berbunga
sepanjang tahun dengan jumlah bunga hingga 5000 – 10000 bunga/pohon/tahun,
namun hanya sekitar 1 – 5% buah yang dapat mencapai matang. Salah satu
penyebabnya adalah adanya layu pentil pada puncak pertama sekitar 58 hari
setelah penyerbukan dan meningkat pada puncak kedua 70 hari setelah
penyerbukan. Mekanisme layu pentil diawali dengan adanya pertumbuhan pentil
yang terhenti dan selanjutnya terjadi perubahan warna kulit menjadi kuning
kemudian kehitaman dan mengerut. Penyebab terjadinya layu pentil adalah
kompetisi antara buah muda dan buah yang lebih tua dan pertumbuhan vegetative
atau pembentukan flush, dimana pembentukan flush dengan intensitas tinggi dan
serempak merupakan pemakai asimilat yang dominan dan berakibat pada
ketersediaan asimilat bagi buah yang menjadi berkurang. Hal ini mengakibatkan
adanya persaingan yang tidak seimbang antara pentil kakao dan flush dalam
penggunaan asimilat sehingga terjadi kelayuan pentil. Kelayuan pentil kakao
dapat ditekan dengan pemberian multimikro (B, Cu, Mn, Mo, dan Zn) dan NAA, sehingga
pembentukan buah dapat meningkat. Menurut hasil penelitian Kurniawati (1998), pemberian
boron menurunkan secara nyata jumlah kumulatif pentil terbentuk, jumlah
kumulatif pentil kakao sehat, dan jumlah kakao dapat dipanen tetapi dapat
menekan jumlah pentil layu. Tanggap tanaman kakao terhadap boron dipengaruhi
oleh Zn pada peubah jumlah kumulatif pentil kakao terbentuk dan jumlah
kumulatif pentil kakao layu. Pemberian boron 3 350 ppm dan zn 2 500 ppm
meningkatkan jumlah pentil kakao terbentuk lebih besar 18,3% dibanding kontrol.
Kombinasi Boron 3 350 ppm dan Zn 3 750 ppm dapat menekan pentil layu hingga
86%.
C.          
Kakao
dan Potensi Yang Dimilikinya
Tanaman
kakao yang mempunyai nama latin Theobroma Cacao L atau biasa kita sebut dengan cokelat merupakan tanaman yang banyak
ditemukan tumbuh di daerah tropis. Kakao secara umum adalah tumbuhan menyerbuk
silang dan memiliki sistem inkompatibilitas sendiri. Buah tumbuh dari bunga
yang diserbuki. Ukuran buah jauh lebih besar dari bunganya, dan berbentuk bulat
hingga memanjang. Buah terdiri dari 5 daun buah  dan memiliki ruang serta
di dalamnya terdapat biji. Warna buah berubah-ubah. Sewaktu muda berwarna hijau
hingga ungu. Apabila masak kulit luar buah biasanya berwarna kuning (Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao. 2004)
Indonesia
merupakan penghasil kakao terbesar ketiga setelah dua negara di benua Afrika
yaitu Pantai Gading dan Ghana. Di Indonesia tanaman kakao sendiri tersebar
sebagian besar di beberapa pulau di seluruh wilayah Indonesia yaitu diantaranya
di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua. Di
Indonesia sendiri tanaman ini dapat tumbuh pada ketinggian kurang dari 800 m
dibawah permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 1100 – 3000 mm per tahun.
Suhu ideal bagi tanaman kakao untuk tumbuh adalah 30–32 derajat Celcius
(Maksimum) dan 18–21 derajat Celcius (Minimum). Tanaman kakao dapat tumbuh
dengan baik pada tanah yang memiliki bahan organik tanah yang tinggi masaman pH
6–7.5 tidak lebih tinggi dari 8 dan  tidak lebih rendah dari 6, kebutuhan
air dan hara yang cukup serta membutuhkan naungan dalam pertumbuhannnya (Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao. 2004)
Tanaman
kakao rentan terhadap hama dan penyakit. Beberapa jenis hama dan  penyakit
yang menyerang tanaman kakao antara lain adalah Ulat Kilan ( Hyposidea
infixaria; Famili : Geometridae ),
Ulat Jaran / Kuda ( Dasychira inclusa, Familia :
Limanthriidae
), ulat srengenge (Parasa lepida dan Ploneta diducta ), Kutu – kutuan ( Pseudococcus lilacinus ), Helopeltis antonii, Cacao Mot ( Ngengat Buah ) Acrocercops cranerella (Famili : Lithocolletidae), Penyakit Busuk Buah (Phytopthora palmivora), Jamur Upas (Upasia salmonicolor). Oleh karena itu teknis budidaya dan penanganan yang tepat terhadap
hama dan penyakit yang menyerang tanaman kakao mutlak diperlukan untuk tanaman
kakao agar tumbuh berkembang dengan baik (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao.
2004)
Buah
kakao yang telah siap panen yaitu buah yang dipetik pada umur 5,5 – 6 bulan
dari berbunga, warna kuning atau merah. Buah yang telah dipetik dikumpulkan
kemudian dimasukkan ke dalam karung.. Pemetikan dilakukan pada pagi hari dan
pemecahan biji dan kulit dilakukan pada siang hari. Pemecahan buah dilakukan
dengan memukulkan buah kakao pada batu hingga pecah. Kemudian biji dikeluarkan
dan dimasukkan dalam wadah yang telah disediakan, sedangkan kulit dari kakao
dimasukkan dalam karung. (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. 2004)
Menurut
Puastuti (2008) kulit buah kakao  
belum   banyak dimanfaatkan   sebagai  
bahan   pakan   kecuali sebagai  pupuk. 
Namun  demikian,  penempatan kulit buah kakao di sekitar kebun
lebih banyak mengotori lingkungan 
perkebunan  bahkan  menimbulkan banyak masalah terhadap tanaman
perkebunan dibandingkan dengan manfaatnya sebagai pupuk.   Menumpuknya kulit buah kakao menimbulkan
pembusukan karena kelembaban dan temperatur yang tinggi, bahkan cendawan
mikotoksin Phytopthora palmivora (Butler) dapat berkembang dengan baik.
Cendawan ini dilaporkan  dapat  menjadi 
hama  dan  penyakit busuk  buah, 
hawar  daun  dan 
kanker  batang pada tanaman kakao
(LOPEZ et al., 1984 dalam Puastuti, 2008). Oleh karena itu, untuk memanfaatkan kulit
buah kakao sebaiknya  dikeluarkan  dari 
lokasi  perkebunan agar  tanaman 
kakao  terhindar  dari 
penyakit tersebut.
Menurut
Priyanto (2004) kasus penanganan limbah pertanian dan perkebunan sampai saat
ini masih merupakan kendala dalam program penanganan limbah di tingkat petani.
Masalah ini di antaranya adalah keterbatasan waktu, tenaga kerja, maupun
keterbatasan areal pembuangan. Di samping itu limbah pertanian dan perkebunan
belum banyak dimanfaatkan walaupun dalam beberapa kondisi memiliki potensi
sebagai bahan pakan ternak maupun bahan baku pembuatan kompos, sehingga perlu
dilakukan pengamatan dalam mendukung program pemanfaatan limbah potensial
terutama limbah potensial yang dihasilkan oleh tanaman kakao yaitu limbah kulit
kakao.
Tanaman
kakao banyak dikenal sebagai tanaman yang dapat menghasilkan cokelat. Akan teapi
selain bijinya yang dapat diproses menjadi cokelat ternyata  kulit dari
buah kakao yang selama ini menjadi limbah  dari industri cokelat juga
mempunyai nilai jual yang tinggi. Kulit buah kakao (shel fod husk) adalah merupakan limbah agroindustri yang dihasilkan
tanaman kakao. Berdasarkan penelitian, kulit kakao atau biasa kita sebut kulit
cokelat mempunyai kandungan gizi yaitu 22% protein, 3–9% lemak, bahan kering
(BK) 88%, protein kasar (PK) 8%, serat kasar (SK) 40,15, dan TDN 50,8%,
metabolisme energi (K.kal) 2,1, dan pH 6,8 (Priyanto, 2004). 
Tabel 2. Luas Areal dan Produksi Tanaman Perkebunan Cokelat/Kakao di Indonesia, 1995 - 
2010
No 
 | 
  
Tahun 
 | 
  
Luas
  Areal (0000 Ha) 
 | 
  
Produksi
  (Ton) 
 | 
  
Laju
  Produksi (%) 
 | 
 
1 
 | 
  
1995 
 | 
  
125.4 
 | 
  
46,4 
 | 
  |
2 
 | 
  
1996 
 | 
  
129.6 
 | 
  
46,8 
 | 
  
0,86 
 | 
 
3 
 | 
  
1997 
 | 
  
146.3 
 | 
  
65,889 
 | 
  
40,79 
 | 
 
4 
 | 
  
1998 
 | 
  
151.3 
 | 
  
60,925 
 | 
  
-7,53 
 | 
 
5 
 | 
  
1999 
 | 
  
154.6 
 | 
  
58,914 
 | 
  
-3,30 
 | 
 
6 
 | 
  
2000 
 | 
  
157.8 
 | 
  
57,725 
 | 
  
-2,02 
 | 
 
7 
 | 
  
2001 
 | 
  
158.6 
 | 
  
57,86 
 | 
  
0,23 
 | 
 
8 
 | 
  
2002 
 | 
  
145.8 
 | 
  
48,245 
 | 
  
-16,62 
 | 
 
9 
 | 
  
2003 
 | 
  
145.7 
 | 
  
56,632 
 | 
  
17,38 
 | 
 
10 
 | 
  
2004 
 | 
  
87.7 
 | 
  
54,921 
 | 
  
-3,02 
 | 
 
11 
 | 
  
2005 
 | 
  
85.9 
 | 
  
55,127 
 | 
  
0,38 
 | 
 
12 
 | 
  
2006 
 | 
  
101.2 
 | 
  
67,2 
 | 
  
21,90 
 | 
 
13 
 | 
  
2007 
 | 
  
106.5 
 | 
  
68,6 
 | 
  
2,08 
 | 
 
14 
 | 
  
2008 
 | 
  
98.4 
 | 
  
62,913 
 | 
  
-8,29 
 | 
 
15 
 | 
  
2009 
 | 
  
95.3 
 | 
  
67,602 
 | 
  
7,45 
 | 
 
16 
 | 
  
2010* 
 | 
  
95.9 
 | 
  
70,919 
 | 
  
4,91 
 | 
 
Ket: * angka
sementara
Sumber : BPS Indonesia 2012
Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) 
merupakan tanaman perkebunan yang cukup banyak dikembangkan di
Indonesia. Indonesia memiliki areal perkebunan yang sangat luas. Luas areal
perkebunan di Indonesia sekitar  hektar.
Salah satunya adalah perkebunan kakao yang mencapai 959.000 ha (BPS Indonesia,
2011). Selama lima belas tahun terakhir ini produksi kakao terus meningkat
mencapai 70.919 ton pada tahun 2010 (BPS Indonesia, 2012). Jika proporsi limbah
mencapai 75 % dari produksi, maka limbah kulit buah kakao mencapai 53.190 ton
per tahun. Hal ini merupakan suatu potensi yang sangat besar untuk dimanfaatkan
sebagai bahan pakan ternak (Tabel 2).
Tabel 3. Luas Areal dan Produksi Tanaman Perkebunan Cokelat/Kakao
Menurut Kabupaten/Kota, 2011
Kabupaten/Kota 
 | 
  
Jumlah
  Luas Areal 
 | 
  
Jumlah
  Produksi 
 | 
  
Produksi
  Limbah 
 | 
  
Produksi
  Pod BK 
 | 
 
(ha) 
 | 
  
(ton) 
 | 
  
(ton) 
 | 
  
(Kg) 
 | 
 |
Sumba Barat 
 | 
  
641 
 | 
  
39 
 | 
  
29,25 
 | 
  
25740 
 | 
 
Sumba Timur 
 | 
  
491 
 | 
  
6 
 | 
  
4,5 
 | 
  
3960 
 | 
 
Kupang 
 | 
  
259 
 | 
  
19 
 | 
  
14,25 
 | 
  
12540 
 | 
 
Timor Tengah Selatan 
 | 
  
319 
 | 
  
11 
 | 
  
8,25 
 | 
  
7260 
 | 
 
Timor Tengah Utara 
 | 
  
313 
 | 
  
46 
 | 
  
34,5 
 | 
  
30360 
 | 
 
Belu 
 | 
  
548 
 | 
  
32 
 | 
  
24 
 | 
  
21120 
 | 
 
Alor 
 | 
  
1
  051 
 | 
  
14 
 | 
  
10,5 
 | 
  
9240 
 | 
 
Lembata 
 | 
  
829 
 | 
  
80 
 | 
  
60 
 | 
  
52800 
 | 
 
Flores Timur 
 | 
  
4
  312 
 | 
  
698 
 | 
  
523,5 
 | 
  
460680 
 | 
 
Sikka 
 | 
  
21
  661 
 | 
  
7 158 
 | 
  
5368,5 
 | 
  
4724280 
 | 
 
Ende 
 | 
  
5
  962 
 | 
  
2 513 
 | 
  
1884,75 
 | 
  
1658580 
 | 
 
Ngada 
 | 
  
931 
 | 
  
189 
 | 
  
141,75 
 | 
  
124740 
 | 
 
Manggarai 
 | 
  
1
  836 
 | 
  
123 
 | 
  
92,25 
 | 
  
81180 
 | 
 
Rote Ndao 
 | 
  
- 
 | 
  
- 
 | 
  
- 
 | 
  
- 
 | 
 
Manggarai Barat 
 | 
  
3
  432 
 | 
  
323 
 | 
  
242,25 
 | 
  
213180 
 | 
 
Sumba Tengah 
 | 
  
327 
 | 
  
18 
 | 
  
13,5 
 | 
  
11880 
 | 
 
Sumba Barat Daya 
 | 
  
1
  378 
 | 
  
156 
 | 
  
117 
 | 
  
102960 
 | 
 
Nagekeo 
 | 
  
1
  653 
 | 
  
253 
 | 
  
189,75 
 | 
  
166980 
 | 
 
Manggarai Timur 
 | 
  
2
  478 
 | 
  
251 
 | 
  
188,25 
 | 
  
165660 
 | 
 
Sabu Raijua 
 | 
  
- 
 | 
  
- 
 | 
  
- 
 | 
  
- 
 | 
 
Kota Kupang 
 | 
  
- 
 | 
  
- 
 | 
  
- 
 | 
  
- 
 | 
 
Jumlah 
 | 
  
48
  421 
 | 
  
11 929 
 | 
  
8946,75 
 | 
  
7873140 
 | 
 
2010 
 | 
  
46
  447 
 | 
  
12 978 
 | 
  
9733,5 
 | 
  
8565480 
 | 
 
2009 
 | 
  
45
  129 
 | 
  
12 247 
 | 
  
9185,25 
 | 
  
8083020 
 | 
 
Sumber : BPS NTT 2012           
Pod kakao merupakan bagian terbesar
limbah kakao yaitu mencapai 70-75.67% (Wong et al., 1986 dan Darwis et al. 1988
dalam Hartati, 2012). Satu buah
kakao  yang  dipanen 
diperoleh  biji  sebanyak 
29%  dan  71% 
limbah  tanaman  terutama pod 
kakao  yaitu  kulit 
buah  yang  bertekstur 
tebal  dan  keras 
(Siregar  dkk.,  1992). Produksi bahan kering di daerah padat
sapi potong yaitu Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur sebesar
351.713,96 ton/tahun. Jika diasumsikan bahwa pod kakao dapat menggantikan 50%
dari hijauan dengan ratio hijauan:konsentrat 60:40, maka dapat menampung
sebanyak 120.038,80 ST. (Angraeny dan Umiyasih, 2008 dalam Hartati, 2012). Akan
tetapi pod kakao belum dimanfaatkan secara optimal karena mengandung protein
rendah (7,17-9,36%), serat kasar tinggi (30,16-47,87%) dan lignin tinggi
(27,95-38,78%) (Amiroenas, 1990 dan Laconi, 1998, Guntoro, et al. 2004,
Anggraeny dan Umiyasih, 2008 dalam
Hartati, 2012) dan menurut Islamiyati (2010), pod kakao memiliki kandungan gizi
yang rendah yaitu protein 5-8%, serat kasar 19-40% dengan kecernaan bahan
kering 31,1%.
Di Nusa Tengggara Timur sendiri,
luas areal perkebunan Kakao mencapai 48.421 ha dengan jumlah produksi 11.929
ton/ tahun dengan produksi limbah kulit kakao sebanyak 75 % yakni 8.950 ton
atau sekitar 7.873 ton BK/tahun. Apabila diasumsikan bahwa kulit buah kakao
cukup menggantikan 50% jumlah kebutuhan hijauan ternak ruminansia yakni sebesar
3 % bahan kering dari bobot badan ternak (300 kg / ST) maka kulit buah kakao
dapat menampung sebanyak 4.793 Satuan Ternak atau 2.397 ST apabila diberikan
100% hijauan dari kulit buah kakao. Pada ternak kambing dengan asumsi pemberian
40 % dari total hijauan yakni 3 % bahan kering dari bobot badan ternak (70
kg/ST) maka kulit buah kakao dapat menampung sebanyak  13.121.900 ekor ternak kambing/domba atau
sekitar 1.837.066 satuan ternak kambing /domba di NTT. Selain itu, pod kakao
juga dapat diberikan pada unggas dan babi dengan jumlah maksimal 40 % mengganti
kebutuhan jagung dan dedak dalam ransum yang ada. Pada ternak babi, dengan
asumsi kebutuhan ransum 2,5 kg/satuan ternak babi dewasa (bobot badan 75kg) dan
kebutuhan jagung / dedak 50 % maka dapat memberi makan 15.746.280 ekor ternak
babi atau sekitar 6.298.512 satuan ternak babi di NTT. Untuk ternak unggas,
dengan asumsi kebutuhan jagung 50% dalam berat total ransum sekitar 150
gram/ekor maka pod kakao dapat memberi makan 1.049.752 satuan ternak unggas di
NTT.
D.          
Inovasi
Teknologi Kulit Kakao (Pod) Sebagai Pakan Ternak
Usaha  peningkatan 
produktivitas  di  bidang 
peternakan  terus  diupayakan seiring  dengan 
meningkatnya  permintaan  produk 
peternakan.  Namun  usaha  untuk
meningkatkan  produktivitas  ternak, 
khususnya  ternak  ruminansia 
dihadapkan  pada kendala  makin 
menyempitnya  lahan  sumber 
pakan  oleh  pengguna 
lahan  untuk kebutuhan lain yang
dinilai lebih menguntungkan. Salah satu usaha untuk mengatasi masalah tersebut
adalah dengan melakukan eksplorasi 
sumber bahan makanan baru yang 
lebih  murah  dengan 
ketersediaan  lebih  besar 
dan  berkesinambungan,  tetapi tidak  
bersaing   dengan   kebutuhan  
manusia.   Tampak bahwa limbah
pertanian/perkebunan memenuhi kriteria tersebut. 
Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, limbah perkebunan seperti kulit buah kakao memiliki potensi yang
sangat besar untuk dikembangkan. Namun, tingginya kandungan serat kasar yang
dimiliki kulit kakao mencapai 40% yang mempengaruhi daya cerna, kandungan
protein kasar yang rendah yakni 6%, adanya senyawa theobromin sebanyak
0,17-0,22% yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba rumen serta diare apabila
dikonsumsi > 300 mg/BB. Selain itu, kulit bauh kakao juga mengandung kafein
sebanyak 1,8-2,1% dan tannin sebanyak 0,84% dimana kafein mempunyai efek
diuretic sedangkan tannin dapat mengendapkan protein dan karbohidrat sehingga
mempengaruhi ketersediaan nutrient dalam kulit buah kakao. Dengan daya cerna
yang rendah yakni 29,27%, biomassa kulit buah kakao juga bersifat tidak tahan
lama bila disimpan dalam keadaan segar sehingga perlu penanganan tersendiri
bila digunakan sebagai pakan ternak karena apabila kulit buah kakao disimpan
lebih dari 24 jam akan menjadi berjamur di bawah kondisi lembab sehingga
menjadi tidak palatable (Puastuti,
2008). Hal inilah yang  membuat kulit
buah kakao ini masih belum dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. 
Untuk  menjadikan 
kulit  buah  kakao 
sebagai alternatif pakan ternak yang memiliki nilai nutrisi tinggi dapat
dilakukan dengan cara  a) teknologi
fisik,  yaitu dilakukan dengan cara  pencacahan, perendaman,  pengeringan, 
penghalusan,  dan pelleting;  b) 
teknologi  kimia,  yaitu 
dilakukan dengan cara amoniasi; dan c) teknologi biologi berupa fermentasi.
Upaya meningkatkan nilai nutrisi kulit
buah kakao dan mengatasi berlimpahnya 
produksi kulit buah kakao perlu dilakukan pengolahan seperti amoniasi.
Amoniasi merupakan pengolahan secara alkali dengan  penambahan urea. Urea sering digunakan    untuk meningkatkan kecernaan pakan serat
melalui proses amoniasi (Van Soest, 2006 dalam
Puastuti, 2008). Proses amoniasi dengan menggunakan urea lebih mudah, murah dan
lebih aman dibandingkan proses alkali lainnya dan dapat meningkatkan kadar N
(nitrogen). Meningkatnya kadar N asal urea dapat mensuplai kebutuhan N bagi
mikroba rumen. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Laconi (1998) dimana
teknologi amoniasi dengan 1,5 % urea pada kulit buah kakao lebih efektif dan
efisien untuk diaplikasikan pada tingkat peternak maupun industri pakan ternak.
Agar ternak dapat memanfaatkan
secara optimal bahan pakan yang memiliki kecernaan rendah, maka penambahan
sejumlah mineral perlu dilakukan. Penambahan mineral Zn-metionin dalam pakan
dapat meningkatkan kecernaan komponen serat kasar tinggi (Haryanto   et al., 2002, dalam Puastuti, 2008). Meningkatnya kecernaan mengindikasikan
adanya peningkatan aktivitas fermentasi mikroba rumen, dimana unsur seng
berfungsi untuk menstimulasi pertumbuhan mikroba rumen.
Menurut hasil penelitian Puastuti
(2008), menyatakan bahwa penggunaan biomasa kulit buah kakao sebagai pengganti rumput
menghasilkan kecernaan bahan kering in 
vitro  ransum  yang lebih rendah. Melalui proses amoniasi pada
kulit buah kakao dan suplementasi Zn organik belum meningkatkan kecernaan BK
ransum. Secara umum ransum berbasis rumput dan kulit buah kakao baik yang
diamoniasi maupun kulit buah kakao asli, baik yang   disuplementasi Zn organik maupun tidak
menghasilkan aktivitas bioproses di 
dalam  rumen  yang 
tidak  berbeda  sehingga diperoleh produk VFA yang serupa.
Perendaman dengan basa kuat
terhadap bahan pakan yang mengandung lignoselulosik sering digunakan dengan
tujuan untuk melarutkan kristal silika dan memecah ikatan lignoselulosa. Namun
demikian hasilnya kurang memuaskan, antara lain bahan organik sebagian
terbuang  (larut), kurang tersedia di
pedesaan dan merupakan sumber pencemaran lingkungan. Untuk itu para peneliti
sudah berupaya mencari  teknik  pengolahan 
lain  dengan  menggunakan 
bahan-bahan yang terdapat  di
pedesaan yang merupakan sumber basa murah, diantaranya abu sekam padi, abu
tempurung kelapa dan abu kulit buah kakao. 
Menurut hasil penelitian Islamiyati
(2010), bahwa semakin lama perendaman, terjadi penurunan kecernaan bahan kering
in vitro kulit buah kakao, sedangkan sumber 
larutan  basa  yang 
memberikan  kecernaan  bahan 
kering  in vitro terbaik adalah
abu kulit buah kakao  dan  memberikan 
hasil yang sama dengan  yang direndam  larutan 
NaOH 6%.
Salah satu cara pengawetan pakan
agar tidak cepat rusak dan dapat disimpan relatif lama  adalah dengan proses ensilase biasanya
dilakukan dalam silo (dalam lubang tanah), atau 
wadah  lain yang prinsipnya  anaerob (hampa udara), agar mikroba anaerob
dapat   melakukan reaksi fermentasi (Sapienza
dan Bolsen, 1993 dalam Sianipar, 2009)
Keberhasilan lain dalam pembuatan
silase selain mempertahankan kandungan nutrisi adalah adanya perkembangan
bakteri pembentuk asam laktat yang meningkat selama proses  fermentasi sehingga terjadi penurunan
kandungan asam (pH) pada silase berkisar 4 – 6 (Khan et al., 2004, dalam Sianipar, 2009. Namun demikian
teknik ensilase ini sering menimbulkan permasalahan lain  yakni 
efek  kurang  disukai ternak karena silase rasanya asam
akibat pH relatif rendah. Untuk meningkatkan konsumsi dan menetralisir tingkat
keasaman cairan rumen sebagai  akibat
mengkonsumsi silase maka perlu dilakukan penambahan  pakan 
tertentu (Farhan   dan Thomas,
1978 dalam Sianipar, 2009. Salah
satunya adalah dengan mencampur silase dengan pakan   tambahan yang disukai ternak.
Menurut hasil penelitian Sianipar
(2009), menyatakan bahwa pemberian silase sampai 30% dalam pakan menurunkan
tingkat konsumsi dan kecernaan pakan. Pemberian silase kulit  buah kakao diatas 30% dalam pakan,
mengakibatkan penurunan pertambahan bobot hidup harian sebesar 1,43 gram tiap
kenaikan 1% silase dalam pakan. Silase kulit buah kakao dapat  digunakan sebagai pakan penguat sumber
protein dan penggunaannya direkomendasikan sampai 20% dalam pakan kambing
potong.
Hasil ini juga didukung oleh
penelitian Hartati (1998) yang menyatakan bahwa kualitas kulit buah kakao dapat
diperbaiki melalui proses ensiling dan penambahan urea dimana kecernaan bahan
kering dan kecernaan bahan organik silase kulit buah kakao meningkat dengan
penambahan urea hingga 1 % masing-masing 40,17% dan 35,08%.
Selain teknik tersebut diatas, juga
terdapat teknik pengolahan dengan pemanfaatan teknologi fermentasi dengan
bantuan jamur Trichoderma sp. Jamur ini merupakan salah satu jamur penghasil
enzim selulase yang sangat efisien untuk mendegradasi unsur selulosa jika
dibandingkan dengan jamur perombak serat lainnya (Irwani, 2000; ismujianto,
1996, dalam syahrir, 2005)
Menurut hasil penelitian Syahrir
(2005) menyatakan bahwa faktor dosis trichoderma sp. dan lama fermentasi tidak
menunjukkan adanya interaksi antara kedua perlakuan tersebut terhadap kandungan
zat-zat makanan kulit buah kakao fermentasi. Faktor dosis trichoderma sp.
memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kandungan bahan kering kulit
buah kakao fermentasi dan begitu juga dengan faktor lama fermentasi. Faktor lama
fermentasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan abu, lemak kasar,
protein kasar dan serat kasar. Waktu fermentasi yang lebih singkat dapat
meningkatkan kualitas kulit buah kakao fermentasi, terutama peningkatan
kandungan protein kasar dan penurunan serat kasar.
Respon pertumbuhan domba yang
mendapat ransum berbasis KBK tanpa amoniasi dengan suplementasi Zn organik   menghasilkan   PBHH  
yang   setara   dengan ransum  berbasis 
rumput.  Pertumbuhan  ini 
didukung oleh  konsumsi  dan 
kecernaan  nutrien,  retensi 
N  dan parameter fermentasi yang
baik (Puastuti dkk, 2010).
Tape KBK dapat digunakan sebagai
pakan ternak kambing yang sedang tumbuh sampai level 40% dengan PBB minimal 77
gr/ekor/hari. Peningkatan level pemberian tape kbk pada ternak kambing akan
menurunkan konsumsi dan PBB ternak (Hesti, 2008)
Menurut Sari (2012), Kulit buah kakao dapat
dijadikan sebagai bahan pakan ternak ruminansia maupun ternak unggas dengan
pemberian dalam bentuk segar maupun dalam bentuk kulit buah kakao fermentasi.
Pemberian dalam bentuk segar sangat terbatas dikarenakan adanya zat antinutrisi
berupa theobromin yang dapat menyebabkan penurunan produktivitas pada ternak.
Kulit buah kakao yang difermentasi dengan Aspergillus niger mampu meningkatkan PK dari 10% menjadi 16,60 %
dan menurunkan SK menjadi 10,15 %. Pemberian kulit buah kakao fermentasi kepada
ternak mampu meningkatkan produksi dan produktivitas ternak ruminansia dan
unggas. Kulit buah kakao
berpotensi sebagai bahan pakan pengganti konsentrat karena harga yang relatif
murah dan jumlah yang banyak. Pemberian kulit buah kakao fermentasi 10 % dalam
ransum itik tidak menunjukkan pengaruh negatif terhadap konsumsi ransum. 22 %
pemberian dalam ransum ayam broiler mampu meningkatkan produktivitas broiler
dan pemberian pada taraf 20-40 % dari total ransum mampu menurunkan kadar
kolesterol daging broiler.
Penggunaan  kulit 
buah  kakao  sebagai 
bahan pakan   sebaiknya   dilakukan  
secara   bersama-sama dengan penambahan
hijauan/pakan tambahan lain seperti rumput atau leguminosa. Pemberian  15% dari konsentrat Ternak domba,  dapat 
menambah  bobot  badan sebanyak 80,52 g/ekor/hari. Ternak  sapi 
dan  kambing  dapat 
diberikan sebanyak 0,7-1,0 %  
BB,   bisa   diberikan sebagai pengganti dedak.  Pada  
ayam   pemberian   limbah  
kulit   buah kakao  sebagai 
pengganti  dedak  hingga 
36% dari total pakan dapat meningkatkan produksi telur. Pada babi dapat
diberikan sebagai pengganti dedak sekitar 35-40% dalam pakan. Penggunaan  35% 
sebagai  substitusi  jagung dapat     menghemat     penggunaan     jagung sebanyak 20%. Penggunaan  40% 
kulit  buah  kakao 
sebagai substitusi  bungkil  kelapa 
dapat  menghemat penggunaan
bungkil kelapa sebanyak 5% (Dirjen PKH, 2012)
Tabel 4.
Kandungan gizi Pod Kakao segar dan fermentasi
Nutrisi, Energy, KBK, dan KBO 
 | 
  
Kulit Buah Kakao Segar 
 | 
  
Kulit Buah Kakao Fermentasi 
 | 
 
Bahan
  Kering % 
 | 
  
14,5 
 | 
  
18,4 
 | 
 
Abu
  % 
 | 
  
15,4 
 | 
  
12,7 
 | 
 
Protein
  Kasar % 
 | 
  
9,15 
 | 
  
12,9 
 | 
 
Lemak
  % 
 | 
  
1,25 
 | 
  
1,32 
 | 
 
Serat
  Kasar % 
 | 
  
32,7 
 | 
  
24,7 
 | 
 
BETN
  % 
 | 
  
41,2 
 | 
  
47,1 
 | 
 
TDN
  % 
 | 
  
50,3 
 | 
  
63,2 
 | 
 
ME,
  MJ/kg Bahan kering 
 | 
  
7,60 
 | 
  
9,20 
 | 
 
Kecernaan
  Bahan Kering (KBK) 
 | 
  
76,3 
 | 
  
38,3 
 | 
 
Kecernaan
  Bahan Organik (KBO) 
 | 
  
25,4 
 | 
  
42,4 
 | 
 
Ca 
 | 
  
0,29 
 | 
  
0,21 
 | 
 
P 
 | 
  
0,19 
 | 
  
0,13 
 | 
 
Sumber: Dirjen PKH, 2012
BAB
III
PENUTUP
A.          
Simpulan
Berdasarkan
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa tanaman kakao memiliki potensi yang
besar dari segi kuantitas produksi limbah di Indonesia pada umumnya dan NTT
khususnya, namun limbah kakao ini masih belum termanfaatkan oleh petani
peternak sehingga dibutuhkan sentuhan teknologi sederhana seperti silase maupun
fermentasi untuk meningkatkan kualitas pod kakao sebagai pakan ternak
ruminansia, babi dan unggas.
B.           
Saran
Dibutuhkan sosialisasi dan
penyuluhan kepada masyarakat petani peternak maupun pengusaha ternak dalam
memanfaatkan potensi limbah kakao yang melimpah di daerahnya masing – masing.
DAFTAR PUSTAKA
Abdoellah,
S.  1996. 
Bahan Organik, Peranannya  Bagi 
Perkebunan    Kopi  Dan   
Kakao.    Warta  Pusat Penelitian  Kopi Dan Kakao Indonesia, 12  (2) : 70 – 78.
Angkapradipta,    P.,   
T.    Warsito,  M.S. 
Nurdin.    1988.   Tanggap  Tanaman 
Kakao  Lindak  Upper 
Amazon Hybrid    Terhadap    Pemupukan   
N,  P  Dan 
K  Pada Tanah Latosol.  Menara Perkebunan, 56 (1) : 2 - 8.
BPS Indonesia
2012 (www.bps.go.id) 
BPS NTT 2012
(www.ntt.bps.go.id)
Budiarti Tati
Dan Yulmiarti. 1997. Pengaruh Dosis
Fungisida Dan Periode Penyimpanan Terhadap Viabilitas Benih Kakao. Bul.
Agron. 25 (3) : 7 – 14.
Chairani Hanum.
2008. Teknik Budidaya Tanaman. Buku Ajar.
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta.
Dirjen PKH.
2012. Limbah Kakao Sebagai Alternative
Pakan Ternak. Leaflet. Direktorat Pakan Ternak. Direktur Jenderal
Peternakan Dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian.
Hartati Erna.
1998. Suplementasi Minyak Lemuru Dan Seng
Ke Dalam Ransum Sapi Yang Mengandung Silase Pod Kakao Dan Urea Untuk Memacu
Pertumbuhan Sapi Holstein Jantan. Disertasi. Program pasca sarjana. Ipb.
Bogor.
Hesti Wahyuni
Tri, Iskandar Sembiring, Dan Wina J. Sihombing. 2008. Tape Kulit Buah Kakao Sebagai Pakan Kambing Boerka. Jurnal
Agribisnis Peternakan 4 (2) : 65 – 68.
Islamiyati R.
2010. Kecernaan Bahan Kering In Vitro
Kulit Buah Kakao Yang Direndam Dengan Larutan Basa Yang Berbeda. JITP 1 (1)
: 43-47
Kurniawati Ani,
Ade Wachjar, Dan Anita Th. Sinaga. 1998. Pengaruh
Pupuk Boron (B) Dan Seng (Zn) Terhadap Layu Pentil Dan Buah Kakao Yang Dapat
Dipanen. Bul. Agron. 26 (3) : 8 – 12.
Laconi Erika
Budiarti. 1998. Peningkatan Mutu Pod
Kakao Malalui Amoniasi Dengan Urea Dan Biofermentasi Dengan Phanerochaete
Sheysosporium Serta Penjabarannya Ke Dalam Formulasi Ransum Ruminansia.
Disertasi. Program pasca sarjana. Ipb. bogor
Limbongan Jermia.
2011. Kesiapan Penerapan Teknologi
Sambung Samping Untuk Mendukung Program Rehabilitasi Tanaman Kakao. Jurnal  Litbang 
Pertanian,  30 (4) : 156 – 163.
Lingga,  P. 
1999.Petunjuk Penggunaan  Pupuk. 
Penebar Swadaya.  Jakarta.
Priyanto, D., A. Priyanti dan I. Inonu. 2004. Potensi Dan Peluang Pola Integrasi Ternak
Kambing Dan Perkebunan Kakao Rakyat. Pemda Lampung.
Puastuti Wisri; D. Yulistiani dan Supriyati. 2008. Ransum Berbasis Kulit Buah Kakao Diperkaya Mineral : Tinjauan Pada
Kecernaan Dan Fermentasi Rumen In Vitro. Seminar Nasional teknologi
Peternakan dan Veteriner. hal 442-448
Puastuti Wisri, Dwi
Yulistiani, I Wayan Mathius, Fransiscus Giyai, Dan Elis Dihansih. 2010. Ransum Berbasis Kulit Buah Kakao Yang
Disuplementasi Zn Organik: Respon Pertumbuhan Pada Domba. Jitv 15 (4) :
269-277
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. 2004. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Sari Ria Puspita. 2012. Pemanfaatan
Kulit Buah Kakao Sebagai Pakan ternak. Skripsi. Univeritas Bengkulu.
Bengkulu
Sianipar Junjungan
dan K. Simanhuruk. 2009. Performans
Kambing Sedang Tumbuh Yang Mendapat Pakan Tambahan Mengandung Silase Kulit Buah
Kakao. Seminar nasional teknologi peternakan dan veteriner. hal 435-441
Syahrir dan
Maleka Abdeli. 2005. Analisis Kandungan Zat-Zat
Makanan Kulitbuah Kakao Yang Difermentasi Dengan Trichoderm Sp. Sebagai Pakan
Ternak Ruminansia. Journal Agrisains 6 (3) : 157-165.
Wachjar Ade dan
Luga Kadarisman. 2007. Pengaruh Kombinasi
Pupuk Organik Cair dan Pupuk Anorganik serta Frekuensi Aplikasinya terhadap
Pertumbuhan Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) Belum Menghasilkan. Bul.
Agron. Bul. Agron. 35 (3) : 212 – 216. 

panjang bangat gak kuat bacanya. hanya sampai di bab II aja
BalasHapushahahaa,, yang penting sudah ada kemauan baca,, :)
Hapus